Saya, seorang pegawai dari instansi pemerintah. Karena berkaitan dengan tugas, saya sering melakukan perjalanan dinas ke daerah-daerah sampai ke pelosok-pelosoknya. Dari situ, saya banyak tahu tentang susahnya kehidupan rakyat yang jauh dari keramaian. Sejak tiga setengah tahun lalu, saya belajar di Australia. Tiba-tiba saya tersentak ketika membaca "Kerlingan Gemerlapan Memikat Ibu-Ibu" (TEMPO, 1 Desember 1990, Gaya Hidup), yang isinya menceritakan perhiasan bermerk Chopard, Bulgari, dan lain-lain. Di situ dikisahkan bahwa pembelian barang-barang ratusan juta atau milyaran rupiah ini sudah menggejala di kalangan ibu-ibu di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya. Di balik keterkejutan itu, ada kegembiraan saya. Karena hal ini dapat dijadikan suatu indikasi bahwa tanah airku tercinta sudah menjadi suatu negara yang betul-betul "wah" daya beli rakyatnya. Sungguh tidak saya duga, hanya dalam waktu tiga setengah tahun. Kalau ibu-ibu di Ibu Kota dan beberapa kota lainnya sudah mampu memborong perhiasan-perhiasan kelas kakap, tentu setidaknya ibu-ibu di pelosok pedesaan sana -- tempat saya sering bertugas -- sekarang tidak perlu lagi ke ladang dari pagi sampai petang untuk membantu suaminya mencukupkan keperluan makan esok harinya. Akhirnya, saya menjadi tak sabar lagi menunggu berakhirnya tugas belajar saya yang enam bulan lagi. Karena saya ingin ikut menikmati suasana makmur tersebut. Paling tidak, nantinya, dengan gaji bulanan saya yang tentu sudah banyak meningkat, bisa mengambil rumah BTN -- tempat saya berteduh bersama anak dan istri. Maklumlah, sampai saya berangkat ke Australia, gaji saya sebagai Golongan III B hanya pas-pasan untuk makan seharihari saja. Nama dan alamat ada pada Redaksi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini