Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kutipan & Album

Serangan Nyamuk Mesir

Laporan Tempo edisi 8 Januari 1977.

25 April 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Serangan Nyamuk Mesir/Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kasus demam berdarah pertama kali dilaporkan mewabah di Indonesia pada 1968.

  • Demam berdarah sering muncul di musim hujan.

  • Pada 1976, demam berdarah pernah mewabah dan menyebabkan kepanikan di sejumlah daerah.

DEMAM berdarah dengue kerap mewabah di musim hujan. Penyakit yang disebabkan oleh nyamuk Aedes aegypti itu pertama kali dilaporkan mewabah di Indonesia pada 1968 di Jakarta dan Surabaya. Saat itu, masyarakat lebih mengenal nyamuk hitam belang putih tersebut sebagai nyamuk Mesir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Majalah Tempo menurunkan artikel bertajuk “Darah di Awal Musim Hujan” pada 8 Januari 1977 yang mengulas maraknya wabah demam berdarah kala itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Musim hujan bukan hanya berarti ambang rezeki buat para petani, tapi sering pula diiringi bencana penyakit. Hujan membuat genangan air di mana-mana, yang lantas menjadi sumber berkembang biaknya nyamuk Aedes aegypti atau nyamuk Mesir. Diberi gelar begitu karena nyamuk ini pertama kali ditemukan di Mesir sebagai biang keladi penyebar penyakit demam berdarah.

Nyamuk ini punya sifat yang khas dalam cara hidupnya. Ia hanya akan berkembang biak di genangan air yang tidak mengalir, seperti di pot bunga dan di kaleng-kaleng yang tertelentang di pekarangan. Pokoknya dalam bejana-bejana yang terlempar sembarangan di halaman. Jawa Tengah tertimpa bencana demam berdarah lebih parah dibandingkan dengan daerah lain. Sepanjang 1976, tercatat 932 penderita dengan 36 meninggal. Angka penderita terbanyak adalah pada Januari, Februari, Maret, dan November.

Kota Semarang dan sekitarnya merupakan daerah terparah. Kota tersebut memang tak seberapa tinggi dari permukaan air laut, hingga sedikit saja hujan turun akan membuat genangan di mana-mana. Usaha pencegahan sebenarnya sudah dilakukan dengan seru. Pada permulaan Desember bahkan ada rencana penyemprotan obat pembasmi nyamuk, malathion, dari pesawat udara. Koran dan stasiun radio setempat berulang-ulang memberi tahu masyarakat mengenai penyemprotan itu supaya mereka bersiap membukakan pintu begitu kabut malathion disemprotkan dari udara. Tapi rencana itu keesokan harinya terpaksa dibatalkan karena cuaca mendung terus dan di sana-sini turun gerimis. Akhirnya penyemprotan dilakukan menggunakan mobil penyemprot.

Di Jawa Tengah sepanjang tahun selalu ada korban demam berdarah. Malahan di daerah seperti Klaten, Sragen Karanganyar, dan Blora jumlah penderita bertambah. Daerah Yogyakarta juga tidak luput dari serangan nyamuk Mesir. Di Bantul saja tercatat 22 orang meninggal akibat demam berdarah. Pada Oktober lalu, di daerah ini ditemukan 39 penderita dengan satu orang meninggal. Bulan berikutnya jumlah itu melonjak menjadi 305 penderita, sembilan di antaranya meninggal. Jumlah penderita terus naik menjadi 324 orang pada Desember.

Naiknya angka penderita demam berdarah menyebabkan masyarakat Bantul panik. Setiap ada anak yang panas, kontan orang tua mereka membawanya ke rumah sakit, meski belum tentu menderita demam berdarah. Ini tentu saja satu sikap yang baik, tapi rumah sakit di sana menjadi sesak. Seperti di Rumah Sakit Jebugan yang terpaksa menambah ruangan dengan mengkaryakan emper rumah sakit. Sedangkan Rumah Sakit Ganjuran menyulap ruangan pertemuan menjadi bangsal dan memanfaatkan meja jadi tempat tidur.

Menurut dokter Tuti Irawati Sadono dari Rumah Sakit Saneta Elizabeth di Ganjuran, sebagian besar pasien demam berdarah bisa disembuhkan. “Penderita yang telanjur meninggal itu umumnya karena datang terlambat. Biasanya sudah dalam keadaan shocked (tak sadarkan diri).”

Penderita diobati dengan memasukkan cairan lewat pembuluh darah. Penderita yang tertolong biasanya harus menjalani pengobatan selama sepuluh hari dan ongkosnya sekitar Rp 6.000. Orang-orang kecil di Bantul, yang terletak sekitar 10 kilometer dari Yogyakarta, tentu saja tak kuat memikul beban ini. Sampai-sampai ada yang menggadaikan sepedanya, meskipun ditolak oleh petugas rumah sakit. “Khusus untuk demam berdarah, sekitar 30 penderita bebas biaya,” kata seorang petugas di Rumah Sakit Ganjuran. Saat rumah sakit penuh pasien, dinas kesehatan setempat juga bekerja keras membasmi nyamuk. Mereka melakukan penyemprotan di permukiman warga, menghabiskan 1.700 liter malathion.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus