Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Dimana-mana orang berziarah

Orang-orang yang berziarah ke makam yang dianggap keramat al: di lereng gunung kawi (makam mbah djoego & mbah kromoredjo), makam sunan gunung jati di cirebon, makam raden patah di demak. (ils)

28 Juni 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BULAN Ruwah menjelang bulan puasa adalah hari-hari baik untuk berziarah. Ke kuburan keluarga atau lebih-lebih lagi ke makam-makam keramat -- bagi mereka yang percaya. Jumat Kliwon 13 Juni misalnya seorang ibu berpakaian putih-putih menuruni tangga di luar gapura makam di lereng Gunung Kawi yang dikeramatkan orang itu. Bersama dua orang wanira lain, ia masuk ke sebuah ruangan, sekitar 10 meter sebelah kanan gapura. Itu adalah ruang ciamsi, tempat meramal nasib menurut kepercayaan orang Cina. Kemudian ia mengocok keras-keras tabung kayu berisi nomor-nomor ciamsi. 'Wah, nasib saya baik," kata wanita berpakaian putih-putih tadi setelah memugut nomor ciamsi yang jatuh dan mencocokkannya dengan isi ramalan yang tertulis. Ia adalah Nyonya Rahmi, janda Almarhum Bung Hatta. Ia mampir ke sana dalam perjalanan pulang dari menziarahi makam Bung Karno di Blitar Dua wanita, yang menemaninya adalah adik Rahmi yaitu Nyonya Subiyakto, istri bekas KSAL Laksamana Subiyakto seorang lagi Nyonya Masagung, istri Masagung, pimpinan penerbit dan toko buku Gunung Agung, Jakarta. Mereka juga berdoa di depan makam Mbah Djoego dan Mbah Kromoredjo, dua makam yang dikeramatkan di situ. Setelah itu mereka menerima bungkusan kecil dari R. Asim Nitiredjo, jurukunci. "Apa ini?" tanya Nyonya Subiyakto. "Itu bunga yang sudah layu, untuk dibawa pulang," kata Nyonya Rahmi yang sebelumnya pernah pula berziarah ke sana. Makam keramat itu terletak di Dukuh Wonosari, Desa Kebobang, Kecamatan Ngujum, sekitar 45 km barat daya Malang. Untuk mencapai kompleks makam di lereng Gunung Kawi pada ketinggian 800 meter dari permukaan laut itu, orang harus mendaki tangga semen sepanjang 750 meter dengan kemiringan sekirar 45O. Hawanya dingin. Pemandangan pertama di tangga itu ialah sebarisan pengemis tua Tak kurang dari 100 orang, mereka berkelompok rapi, menunggu belas kasihan penziarah dengan sabar. Beberapa meter lagi tampak beberapa toko dan rumah makan. Lebih ke atas lagi toko semakin banyak, terutama menjual perabot untuk upacara sembahyang menurut tradisi kepercayaan Cina. Tak lama kemudian tampak gapura pertama yang antik, tanda bahwa telah sampai di makam dan pesanggerahan yang luasnya sekitar 10 ha itu. Di sebelah kanan gapura itulah dianggap sebagai bekas pesanggerahan Mbah Kromoredjo. Sebuah papan dengan jelas memuat tulisan fanya Tuhan YME patut disembab. Mohonlah kepada Allah Tuhan YME. Nasib saudara di tangan Allah Tuhan YME. Di sini berjejer puluhan penjual kembang dan kemenyan. Juga penjual ubi kayu dan jagung, mentah dan matang. Masuk lagi beberapa langkah, tampak ruang persembahyangan Cina Tri Dharma, lengkap dengan ciamsi-nya. Masuk lagi sekitar 10 meter, sampailah ke gapura kedua menuju kompleks makam seluas 1 ha yang dikelilingi tembok. Di sebelah kiri gapura ada ruangan khusus buat pergelaran wayang kulit, orang Jawa banyak yang membayar nadar dengan nanggap wayang kulit semalam suntuk. Di Gunung Kawi ongkosnya Rp 45.000. Ada pula loket untuk memesan kenduri. Tarifnya Rp 2.500 (nasi ayam) dan Rp 3.000 bila dengan daging kambing Jurukunci Nitiredjo (71 tahun) membuka pintu makam. Setelah membakar kemenyan, bersama beberapa pembantunya ia berdoa, sementara para penziarah duduk di serambi. Tak lama kemudian kelambu makam dibuka, dan para penziarah maju satu-persatu menyerahkan dua bungkus kembang dan kemenyan. SETELAH itu mereka boleh mengundurkan diri sembari menerima kembang yang sudah layu lantaran lama ditaruh di makam. Setelah melakukan upacara kenduri, yaitu duduk melingkari besek-besek berisi nasi dengan lauk pauk, mereka pun boleh pulang sambil masing-masing membawa sebuah besek. Boleh dimakan bersama keluarga, boleh disimpan sebaai azimat -- meski sampai busuk. Di tengah malam, tak sedikit penziarah yang bersujud di depan pintu malam. Bahkan ada pula yang matanya berkaca-kaca. Terlihat pula orang-orang keturunan Cina mengelilingi makam (seperti halnya jemaah haji bertawaf mengelilingi Ka'bah) 3 kali sampai 12 kali putaran sambil mengayunkan tangan ke arah 8 penjuru angin!. Menurut cerita, makam ini sudah adasejak tahun 1871. Siapa sebenarnya Mbah Djoego dan Mbah Kromoredjo? Menurut jurukunci Nitiredjo, nama kecil Mbah Djoego adalah Zakaria, salah seorang panglima Pangeran Diponegoro. Konon ia buyut Paku suwono I yang lari dari Keraton Kartasura (sebelah barat Sala, Ja-Teng) dan bergabung dengan Diponegoro di Gua Selarong, Yogya. Ketika Diponegoro ditangkap, Zakaria lari ke arah timur sampai ke Desa Sanan, Kecamatan Kesamben, slitar. Untuk menghilangkan jejak, ia lalu berganti nama, Djoego. Di desa itulah ia dikenal sebagai kiai yang sakti dan disegani. Yang juga sampai di Desa Sanan adalah Imam Soedjono, buyut Hamengku Buwono I (Mataram, Yogya). Mengubah namanya menjadi Kromoredjo, ia juga wanti-wanti berpesan kepada Zakaria agar pura-pura tidak saling mengenal. Keduanya lantas berpisah, Kromoredjo membabat hutan di lereng Gunung Kawi. Tapi Djoego berpesan, kelak bila meninggal agar dimakamkan pula di Kawi. Yang menarik, banyak keturunan Cina berziarah ke sana. Mereka menyebut Djoego sebagai Twa Lo Soe (guru besar I) dan Kromoredjo sebagai Djie Lo Soe (guru besar II). Kata sahibul hikayat adalah Tan Kie Yam, orang Cina pertama yang berkunjung ke Kawi pada 1926 untuk berobat. Ia sembuh, lanras menetap di sana. Orang Cina kedua yang mendaki lereng Kawi adalah Ong Hok Liong dari Malang, famili Kie Yam. Sembari menjenguk saudaranya itu, ia menjual tembakau. Mandi di sungai sebelah makam si embah, Hok Liong melihar seseorang menjual semacam buah ralas yang disebut bentul. Membeli bentul beberapa biji, lantas dibawa ke makam. Terlintas di benaknya kelak kalau ketiban rezeki ia akan mendirikan pabrik rokok. Menurut cerita jurukunci, Hok Liong lantas melempar uang logam ke atas mendirikan pabrik atau tidak. Koin yang jatuh ke tanah memang "mengisyararkan" agar Hok Liong mendirikan pabrik rokok dengan merk yang kemudian terkenal itu. Benarkah, Hok Liong sendiri sekarang sudah meninggal. Bukan hanya kepada penziarah "nonpri". Makam di Gunung Kawi katanya juga bermurah hati kepada para "pribumi' yang misalnya ingin cepat dapat jodoh, dagangannya laris atau minta keselamatan. Misalnya Nyonya Musijem, 30 tahun, ibu dari 3 anak asal Kediri. Ketika masih gadis belasan tahun ia ingin mendapat suami ABRI. Semalam sunruk, pada 1962 ia berdoa di Gunung Kawi Dan 3 tahun kemudian gadis manis ini pun dipinang anggota Marinir di Surabaya. Tapi setelah beranak pinak, sang Marinir tergoda gadis lain. Musijem kembali ke Kawi. Pulangnya, "tanpa saya minta suami saya berjanji tetap setia," tutur Musijem. Ia juga pernah bermohon agar dagangannya laris. Dan 12 Juni kemarin Musijem bernadar karena anaknya berhasil masuk SMP. Letda SA, 43 tahun, dari Jember juga berkali-kali ke Kawi. Hal itu dilakukannya karena ia selamat dalam tugas di Trikora di Irian Jaya, Dwikora di Kalimantan sarat dan di Timor Timur. Makam Sunan Gunung Jati di Cirebon Jawa Barat juga dikeramatkan. Nama asli Sunan Gunung Jati adalah Syarif Hidayatullah, salah seorang dari 9 ulama besar penyebar agama Islam di Jawa, terkenal dengan Wali Songo. Letak makamnya di puncak Bukit Sembung di Desa Astana, Kecamatan Cirebon Utara. Yang boleh masuk hanyalah Sultan Kasepuhan atau Kanoman dari Cirebon beserta keluarganya atau para alim ulama, kata Harun, 46 tahun, jeneng atau kepala jurukunci makam tersebut. Di puncak bukit Sembung itu sesungguhnya terdapat 18 makam. Sebab selain Sunan Gunung Jati dan anak istrinya, juga dimakamkan Pangeran Cakrabuwana (pendiri kota Cirebon) serta para sultan Cirebon yang sezaman dengan sang sunan. SETIAP malam Jumat, terutama Jumat Kliwon, puluhan ribu penziarah berjubel di sana, serbagai jenis kendaraan parkir di sepanjang jalan raya, sementara jalan menuju makam padat dengan para pedagang kembang, makanan dan pakaian. Ketika itulah para pencopet dengan leluasa beraksi. Selain itu, ratusan penduduk Astana tiba-tiba beralih profesi sebagai pengemis. Mereka dengan berani mencolek penziarah, menarik pakaian bahkan menggelantung di lengan -- minta sedekah. Maksud para penziarah umumnya sama saja: mohon selamat, gampang cari jodoh, murah rezeki atau bernadar karena sembuh dari penyakit. Banyak pula di antara mereka terdapat para pejabat tinggi dari Jakarta, atau keluarganya. Harun menyebur beberapa nama pejabat tinggi di Jakarta yang rajin berziarah ke kompleks makam ini secara tetap, terutama malam Jumat Kliwon. Banyak pula orang Cina berziarah ke makam Sunan Gunung Jati. Sebab di sini juga terkubur jasad Ong Tien Nio, putri jelita Kaisar Yung Lo dari Dinasti Ming dan salah seorang istri sang sunan. Orang-orang dari Jakarta juga banyak berziarah ke dataran tinggi Dieng di Wonosobo, Jawa Tengah. "Mereka biasanya dengan mobil, dan selalu datang tengah malan ' tutur Armosuwito, Carik Dieng. Ia juga menyebut beberapa nama. Membawa segumpal kemenyan dan kembang, para penziarah Dieng umumnya suka bersepi diri sampai pagi di Gua Semar setelah mandi di belik (mata air) Bima Lukar. Gua ini terletak di bawah bukit batu diapit dua telaga: Telaga warna dan Telaga Pengilon. Lubang masuknya sempit, di dalam terdapat rongga yang tenang sejuk, cocok buat bersemedi. Di zaman Mataram Hindu, konon guaini tempat bersemedi raja-raja dari Wangsa Sanjaya yang membangun candi-candi di kawasan Dieng. Terletak pada ketinggian 2.150 meter di atas permukaan laut, dataran ini hijau dan dingin, selalu berselimut kabut Tari Kiai Semar, tokoh punakawan para pendawa dalam pewayangan itu, tidak selalu muncul di Dieng. Kiai berwajah buruk, pengejawantahan seorang dewa dan tumpuan segala pinta bagi yang percaya ini, konon juga sering menampakkan diri di Gua Srandil, Kroya, masih di Ja-Teng. Sebab, begitu dikisahkan, kedua gua itu memang saling berhubungan secara batiniah. Tapi makam Raden Patah, pendiri Kerajaan Islam di Demak tak kalah ramai didatangi para penziarah dari berbagai pelosok. "Mereka baru saja dari sini,' ujar Kiai Mohamad Kasri, juru kuncinya. Ia menyebut beberapa nama yang rupanya sudah ia hafal benar, begitu juga jumlah sumbangan yang mereka berikan. Makam Raden Patah terletak dalam kompleks masjid Demak yang didirikannya. Di Kadilangu, Kabupaten Demak, juga ada makam Sultan Kalijogo alias Raden Sahid, juga salah seorang dari wali Songo. Sulahi, wakil jurukunci ini juga menderetkan beberapa nama sebagai pengunjung tetap makam -- barangkali juga untuk mengecapkan kehebatannya. Tapi ia rupanya masih ingat benar, Almarhum Bung Karno semasa hilupnya 4 kali berkunjung ke sini. "Terlahir pada 1965," kata Sulahi. Tapi Kartodirono tak mau kalah. Jurukunci makam Sunan Muria di Desa ColO, Kecamatan Dawe, Kudus, ini juga menderetkan nama-nama terkenal pengunjung makam yang dijaganya. "seberapa di antara mereka paling dulu sebelum kemari," kata Kartodirono. Di bulan Suro alias bulan Muharam tarikh Hijriah, juga di malam Jumat Pahing, makam Sunan Muria dibuka 2 jam Jalan menuju makarn itu kini sudah diterangi listrik, konon bantuan seorang pejabat dari Jakarta. Di Kudus Kulon ada makam seorang dari Wali Songo, yaitu Sunan Kudus alias Ja'far Shodiq. Menurut yang empunya cerita, Sunan Kudus tidak suka melihat pamong yang tidak jujur. Seorang pejabat yang konon culas, pernah dikabarkan dicopot justru setelah berziarah ke sana.... Karena itu disebutkan, makam ini jarang dikunjungi pejabat yang merasa dirinya tidak bersih. Sekitar 120 km sebelah barat Surabaya, di Desa Dander, ada makam yang dipercayai bisa berbicara. Yaitu makam Raden Ayu Jamus, istri seorang bupati yang masih keturunan bangsawan Mataram Islam. Seorang jurukunci wanita, dikenal dengan panggilan Bu Cip, 42 tahun, dianggap sebagai "penyambung lidah" almarhumah. Para penziarah mengelilingi Bu Cip. Dan setelah menaburkan bunga, Bu Cip lantas menempelkan kepalanya pada nisan di arah kepala si terkubur. Sejak menjabat jurukunci 2 tahun lalu, suara dari alam kubur yang didengarnya itu sama: "Yo, mugo-mugo anak-putu bisa kinabulan opo sing disuwun " (ya, moga-moga apa yang diminta anak-putu bisa terkabul). Sayang "tidak semua penziarah bisa mendengar suara itu," seperti kata Bu Cip. Cara jurukunciwati itu berkomunikasi dengan sang jasad dalam kubur biasa saja. Penziarah menyampaikan maksud kedatangannya lewat Bu Cip, lantas jurukunci ini "melaporkan" hal itu kepada almarhumah Raden Ayu Jamus. Seorang dokter lulusan FKUI yang kini buka praktek sebagai spesialis penyakit kulit di Bogor pernah merekam suara Nyai Loro Kidul, Ki Lurah Semar dan Noyogenggong di Gua Srandil, Kroya. Yang terakhir ini dikenal sebagai salah seorang punggawa Raja Minakjinggo dari Kerajaan Blambangan di zaman Majapahit. Ketiga oknum yang sebenarnya tak ada dalam dunia nyata itu menurut Ko King Tjoen, dokter tersebut, direkam bersama Nyaman, si jurukunci. Isinya? beberapa wejangan dalam bahasa Jawa logat Banyumas, dengan gaya seorang dalang, Menurut sang dokter, bahkan Lee Koon Choi, bekas Dubes Singapura di Jakarta, juga sempat merekam Tapi menurut Koon Choi dalam bukunya Indonesian Between Myths and Reality (terbitan London) Ki Semar menggunakan bahasa Jawa Kuno. Tapi dokter King Tjoen yang mengaku sering keluar masuk gua-gua, akhirnya berkesimpulan suara itu mungkin semacam "suara perut" seperti halnya yang dimainkan oleh Gatot Sunyoto melalui boneka Tongki di TVRI. Berziarah dengan upacara bersenggama semalam suntuk di alam terbuka terjadi di puncak Gunung Kemukus di Desa Pendem, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Kamis malam Jumat, terutama Kamis Paing ribuan pengunjung datang ke sana. Di sana sudah tersedia calon pasangan anda. Cuma belum pernah terdengar disediakan calon berkelamin lelaki. Yang jelas, ada semacam anjuran, sebaiknya yang berpasangan bukan laki-bini. Di makam itu terbujur jasad Raden Samodro bersama Retno Ontrowulan dalam satu liang lahat. Menurut cerita penduduk sekitar tempat itu: Retno alias Nyi Ageng Kentir adalah ibu tiri Samodro. Keduanya pelarian dari Majapahit ketika kerajaan ini diserang pasukan Demak. Samodro jatuh cinta pada ibu tirinya lantas melarikan diri berdua. Dan di Gunung Kemukus itulah mereka memadu kasih. Begitu asyik sampai-sampai meninggal dalam keadaan sedang bersenggama. Dan tempat berziarah ini juga dijadikan obyek wisata oleh Pemda Sragen. Warga Jakarta memang banyak yang tercatat sebagai pengunjung setia makam-makam yang dianggap keramat. Tapi penduduk yang berdiam di ibukota negara ini justru jarang menziarahi beberapa makam terkenal yang ada di Jakarta. Misalnya makam Al-habib Husain bin Abubakar Al-aidrus Al-alawy di Luar Batang, Pasar Ikan, Jakarta. Padahal para penziarah (yang umumnya rakyat kecil) dari beberapa kota berdatangan ke makam Habib Husain yang konon cucu ke 27 Nabi Muhammad iru. Seorang wanita dari Tegal misalnya. Suatu hari ia ditampar suaminya hanya karena minta uang belanja. Ia lalu membaca Al-Quran, salawat dan tahlil di makam Habib Husain, selama tiga hari tiga malam. Hari keempat pulang, tiba-tiba dirumahnya datang tamu bersorban putih memberinya Rp 100.000 untuk modal dagang. Dan lelaki bersorban itu sampai kini tak pernah nongol menagihnya. "Itulah kekeramatan Wali Allah Habib Husain," katanya. Seorang sarjana IAIN "Gunung Jati ' Cirebon juga mempercayai kekeramatan makam Habib. Ia adalah Drs. M.Z. Syah ruddin, yang membuka Panti Pengobatan "Pusaka Banten" di Cempaka Putih Barat, Jakarta. "Saya punya ikatan babn yang kuat dengan almarhum," katarlya. Upaya pengobatan y ang dilakukannya selalu lewat doa kepada Nabi, para sahabat Nabi, Wali Songo dan Habib Husain. Dan dengan kopi plus kuning telur, si sakit pun sembuh. "Itulah pertolongan Allah lewat waliNya," katanya. Yang jelas, Habib asal Hadramaut (Semenanjung Arabia) itu adalah salah seorang penyebar agama Islam. Sempat membakar semangat rakyat melawan penjajah, ia ditangkap Kompeni Belanda lantas ditahan di Glodok. Tapi rakyat beramai-ramai datang ke penjara, juga minta ditahan. Begitu ceritanya sebelum ia meninggal dan dimakamkan di Luar Batang. Bukan hanya di Jawa, di luar Jawa pun tempat-tempat keramat ada. Dan maksud kedatangan penziarah pun umumnva sama sa]a: minta sesuatu atau bernadar karena tercapai suatu maksud. Misalnya makam Syekh Abdurrauf yang lebih dikenal dengan sebutan Syiah Kuala di Kuala, Aceh. Syukri dari Tapaktuan (Aceh Selatan), sembuh dari sakit Iyan setelah berziarah ke sana dengan tekun. Tapi makam Syekh Burhanuddin di Ulakan, Padang Pariaman (Sum-Bar), sekitar 57 km dari Padang, seperti halnya makam di Gunung Kawi, telah menyebabkan suasana sekitarnya menjadi semacam pasar malam karena selalu penuh penziarah. Bermacam barang jualan ada di sana, dari alat rumah tangga sampai pesawat teve. Para penziarah mengaku berkunjung ke sana "untuk berdoa mencapai ketenangan hidup." Umumnya mereka adalah para pengikut 3 aliran sufi yang terkenal seperti Syatariah, Naqsyabandiyah, Samaniyah. Tak jarang misalnya seorang penziarah sampai tak sadarkan diri karena terlalu khusyuk berzikir. DI Kalimantan Selatan terdapat makam syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary di Desa Kelampayan, Kecamatan Astambul. Ribuan penziarah datang ke sana pada bulan-bulan tertentu. Dan tidak sedikit pengemis berebut uang recehan yang dilempar dari jendela kendaraan yang menuju tempat itu. Dua tahun lalu ada pengemis cilik meninggal dilindas mobil penziarah. Di Kepulauan Riau ada sebuah pulau, Pulau Paku, di tengah alur masuk kapal antara Tanjung Pinang dan Pulau Penyengat. Para penziarah di sini umumnya pejabat yang segera akan dimutasikan ke daerah di luar Kepulauan Riau. Mereka membuang sekeping emas ke pulau seluas 5.000 meter persegi itu. 'Mungkin agar tidak kualat," kelakar Raja Alie, Wakil Ketua DPRD Kepulauan Riau. Maksudnya boleh jadi "minta izin" membawa harta ke luar Riau. Maklum, daerah itu cukup basah, sejak zaman dollar sampai kini. Tapi ternyata makam kosong juga selalu ramai dikunjungi penziarah untuk meminta sesuatu. Misalnya di Kampung Lakiung, Kecamatan Somba Ompu (Goa) Sulawesi Selatan. Di sini memang terdapat sebuah nisan yang dianggap para penziarah sebagai makam Syekh Maulana Yusuf. Padahal penyebar agama Islam ini dinlnkap Belanda lalu dibuang dan neninggal di Tanjung Harapan, Afrika Selatan. Serupa dengan itu adalah makam kosong di kaki Gunung Cireme, Cirebon. Tim purbakala dari Ditjen Kebudayaan pada 1973/1974 pernah menggalinya. "Tulang-tulang pun tak ada," kata Teguh Asmar MA, Kasubdit Perlindungan Peninggalan Sejarah Purbakala, "isinya hanya pecahan periuk dan manik-manik." Tapi tetap juga dikeramatkan penduduk, sampai sekarang. Mungkin karena penduduk di situ memang merasa perlu tempat untuk diziarahi. Atau karena tempat-tempat keramat memang perlu ditambah? Yang pasti satu tempat yang diangap keramat akan selalu memberi rezeki bagi penduduk sekitarnya -- paling sedikit pengemis, sebagai imbalan dari penziarah yang juga telah mengemis kepada tulang-tulang atau tanah nun di balik batu nisan itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus