BATAM -- pulau yang luasnya 500 km dan berpenduduk sekitar 8.000
jiwa-terletak 20 km di selatan Singapura-termasuk wilayah
Kepulauan Riau. Rencana pertama pulau itu akan dijadikan pusat
perbekalan minyak. Tapi kemudian ditentukan untuk menjadi daerah
perdagangan bebas internasional. Sebab menjelang tahun 2000
nanti, Batam bisa mengganrikan kedudukan Hongkong yang pada 1997
usai kontraknya sebagai koloni Inggeris -- atau menampung luapan
Singapura yang semakin pengap.
Untuk itu. terakhir Batam dikotak-kotak menjadi daerah industri
berat, industri ringan, perkebunan, peternakan, pusat pelabuhan
dan untuk turis. Khusus tentang perkilangan minyak, direncanakan
setiap hari pulau ini sanggup menyuling 100 ribu barrel minyak
mentah.
Tetapi semua rencana itu tenggelam bersamaan dengan pudarnya
kecemerlangan P.N. Pertamina. Sejak awal 1979 status Batam pun
bergeser menjadi daerah perdagangan bebas (free trade zone).
Bagaimana Batam kini? Dari 150 buah perusahaan yang ada di sana
sekarang, 90% adalah usaha jasa. Tapi, "para investor banyak
yang masih mundur maju," kata salah seorang staf Badan Pelaksana
Otorita Batam. Patra Vickers -- sebuah perusahaan perbengkelan
Pertamina dengan pihak Australia -- kabarnya sedang berusaha
melepaskan diri dengan cara melimpahkan sahamnya (49%) kepada
Pertamina.
Prasarana di Batam sendiri belum juga rampung. Jalan utama
antara Sekupang-Batu Ampar (23 km) masih bong' ar pasang. Air
dan listrik, masih belum menyeluruh. Pelabuhan satu Ampar yang
diandalkan Bounded Ware House (BWH) paling banter bisa menampung
10 buah kapal ukuran 3.000 Dwt. Untuk kapal yang lebih besar
dari itu, harus tunggu di tengah laut.
Tetapi kalau ingin menikmati minuman kaleng dengan puas dan
murah, mudah didapat di sana. Bir merek Tiger satu karton (2
lusin) cuma berharga Rp 5.000. Lebih murah dibanding di
Singapura. Demikian pula barang-barang elektronik, pakaian jadi
dan barang-barang yang selalu diburu oleh para inang -- lebih
murah 40% dari harga pasaran bebas di wilayah Indonesia lainnya.
Rupanya inilah salah satu "rahmat" Batam ditunjuk sebagai daerah
BWH di Indonesia.
BWH Batam sendiri dikelola oleh P.T. Persero Batam untuk
menampung barang-barang kelontong dan perdagangan umum dari
Singapura. "Kebanyakan minuman dan makanan," ujar D. Suntaram,
Kepala Inspeksi Bea Cukai Batam, "bir saja sampai 15 ribu karton
per bulannya." Pihak Otorita Batam (OB) bahkan telah membuka
sebuah super market yang menjual barang-barang selera tinggi.
"Yang kami takurkan, Batam jadi sarang penyelundupan baru," kata
Suntaram lagi. Sebab prasarana sea Cukai juga masih minim. Kini
baru ada 69 petugas BC dengan 4 pos pengawas (Batu Ampar,
Sekupang, selakang Padang dan Pulau Buluh). Dan masih terdapar
sedikitnya 13 pintu yang dapat disusupi penyelundup tapi tidak
terjangkau oleh BC. "Paling banyak cuma 30% barang yang masuk
Batam yang bisa kami kontrol," kata Suntaram.
Di Sekupang pernah menumpuk sekitar 200 buah mobil mewah yang
semula masuk Tanjung Priok tapi kemudian harus direekspor lagi.
Beberapa staf OB telah memakai mobil-mobil tersebut dengan
status"pinjam". Sisanya tetap nongkrong dalam keadaan tak utuh
karena dipreteli.
Tapi sementara itu Pemda Riau kini sedang merayu bagiannya dari
rezeki pulau tersebur. Terutama dalam masalah ekspor pasir.
Singapura sedang sibuk menjalankan proyek reklamasi (penimbunan)
kawasan pantai selatannya. Karena itu mengimpor pasir dari Batam
yang mengeruknya sambil memperdalam alur pelabuhannya.
P.T. Pasir Mas Raya (PMR) mendapat rezeki untuk mengeduk pasir
yang ada di dasar laut dan menjualnya kepada Singapura sejak
tahun lalu. "Kami dapat kontrak untuk menjual 3 juta m3," kata
Iwan, salah seorang pimpinan PMR. Harga FOB S$ 5/m3. Iwan
mengakui setelah dipotong biaya eksploitasi, pajak ekspor, MPO
dan royalty, PMR mendapat untung sekitar S$ 2/m3. "Izin kami
dapat dari Otorita Batam," tambah Iwan.
Pihak Pemda Riau berpendapat royalty pasir harus jatuh ke Pemda,
bukan ke OB. Sebab PMR mengadakan penambangan pasir -- sedangkan
OB beranggapan usaha PMR adalah pengerukan alur pelayaran. Dan
uang royalty yang S$ 1/m3 itu kini diricuhkan antara OB dan
Pemda Riau. Menurut peraturan daerah Riau, retribusi pasir
(apalagi yang diperjual-belikan) wajib dikutip Rp 100/m3.
"Paling tidak kas kami dapat terisi sekitar Rp 300 juta," kata
Syarifuddin Lubis SH, Sekwilda Riau. Sebuah surat sudah
dilayangkan ke OB, tapi hingga kini belum ada jawaban.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini