Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Batam, Apa Kabar ?

Batam setelah menjadi daerah perdagangan bebas (sejak awal 1979) dibanjiri barang-barang impor dengan harga lebih murah, ada 200 buah mobil mewah yang semula masuk tg.priok tapi kemudian harus diekspor lagi.

28 Juni 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BATAM -- pulau yang luasnya 500 km dan berpenduduk sekitar 8.000 jiwa-terletak 20 km di selatan Singapura-termasuk wilayah Kepulauan Riau. Rencana pertama pulau itu akan dijadikan pusat perbekalan minyak. Tapi kemudian ditentukan untuk menjadi daerah perdagangan bebas internasional. Sebab menjelang tahun 2000 nanti, Batam bisa mengganrikan kedudukan Hongkong yang pada 1997 usai kontraknya sebagai koloni Inggeris -- atau menampung luapan Singapura yang semakin pengap. Untuk itu. terakhir Batam dikotak-kotak menjadi daerah industri berat, industri ringan, perkebunan, peternakan, pusat pelabuhan dan untuk turis. Khusus tentang perkilangan minyak, direncanakan setiap hari pulau ini sanggup menyuling 100 ribu barrel minyak mentah. Tetapi semua rencana itu tenggelam bersamaan dengan pudarnya kecemerlangan P.N. Pertamina. Sejak awal 1979 status Batam pun bergeser menjadi daerah perdagangan bebas (free trade zone). Bagaimana Batam kini? Dari 150 buah perusahaan yang ada di sana sekarang, 90% adalah usaha jasa. Tapi, "para investor banyak yang masih mundur maju," kata salah seorang staf Badan Pelaksana Otorita Batam. Patra Vickers -- sebuah perusahaan perbengkelan Pertamina dengan pihak Australia -- kabarnya sedang berusaha melepaskan diri dengan cara melimpahkan sahamnya (49%) kepada Pertamina. Prasarana di Batam sendiri belum juga rampung. Jalan utama antara Sekupang-Batu Ampar (23 km) masih bong' ar pasang. Air dan listrik, masih belum menyeluruh. Pelabuhan satu Ampar yang diandalkan Bounded Ware House (BWH) paling banter bisa menampung 10 buah kapal ukuran 3.000 Dwt. Untuk kapal yang lebih besar dari itu, harus tunggu di tengah laut. Tetapi kalau ingin menikmati minuman kaleng dengan puas dan murah, mudah didapat di sana. Bir merek Tiger satu karton (2 lusin) cuma berharga Rp 5.000. Lebih murah dibanding di Singapura. Demikian pula barang-barang elektronik, pakaian jadi dan barang-barang yang selalu diburu oleh para inang -- lebih murah 40% dari harga pasaran bebas di wilayah Indonesia lainnya. Rupanya inilah salah satu "rahmat" Batam ditunjuk sebagai daerah BWH di Indonesia. BWH Batam sendiri dikelola oleh P.T. Persero Batam untuk menampung barang-barang kelontong dan perdagangan umum dari Singapura. "Kebanyakan minuman dan makanan," ujar D. Suntaram, Kepala Inspeksi Bea Cukai Batam, "bir saja sampai 15 ribu karton per bulannya." Pihak Otorita Batam (OB) bahkan telah membuka sebuah super market yang menjual barang-barang selera tinggi. "Yang kami takurkan, Batam jadi sarang penyelundupan baru," kata Suntaram lagi. Sebab prasarana sea Cukai juga masih minim. Kini baru ada 69 petugas BC dengan 4 pos pengawas (Batu Ampar, Sekupang, selakang Padang dan Pulau Buluh). Dan masih terdapar sedikitnya 13 pintu yang dapat disusupi penyelundup tapi tidak terjangkau oleh BC. "Paling banyak cuma 30% barang yang masuk Batam yang bisa kami kontrol," kata Suntaram. Di Sekupang pernah menumpuk sekitar 200 buah mobil mewah yang semula masuk Tanjung Priok tapi kemudian harus direekspor lagi. Beberapa staf OB telah memakai mobil-mobil tersebut dengan status"pinjam". Sisanya tetap nongkrong dalam keadaan tak utuh karena dipreteli. Tapi sementara itu Pemda Riau kini sedang merayu bagiannya dari rezeki pulau tersebur. Terutama dalam masalah ekspor pasir. Singapura sedang sibuk menjalankan proyek reklamasi (penimbunan) kawasan pantai selatannya. Karena itu mengimpor pasir dari Batam yang mengeruknya sambil memperdalam alur pelabuhannya. P.T. Pasir Mas Raya (PMR) mendapat rezeki untuk mengeduk pasir yang ada di dasar laut dan menjualnya kepada Singapura sejak tahun lalu. "Kami dapat kontrak untuk menjual 3 juta m3," kata Iwan, salah seorang pimpinan PMR. Harga FOB S$ 5/m3. Iwan mengakui setelah dipotong biaya eksploitasi, pajak ekspor, MPO dan royalty, PMR mendapat untung sekitar S$ 2/m3. "Izin kami dapat dari Otorita Batam," tambah Iwan. Pihak Pemda Riau berpendapat royalty pasir harus jatuh ke Pemda, bukan ke OB. Sebab PMR mengadakan penambangan pasir -- sedangkan OB beranggapan usaha PMR adalah pengerukan alur pelayaran. Dan uang royalty yang S$ 1/m3 itu kini diricuhkan antara OB dan Pemda Riau. Menurut peraturan daerah Riau, retribusi pasir (apalagi yang diperjual-belikan) wajib dikutip Rp 100/m3. "Paling tidak kas kami dapat terisi sekitar Rp 300 juta," kata Syarifuddin Lubis SH, Sekwilda Riau. Sebuah surat sudah dilayangkan ke OB, tapi hingga kini belum ada jawaban.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus