BULAN Ruwah menjelang bulan puasa adalah hari-hari baik untuk
berziarah. Ke kuburan keluarga atau lebih-lebih lagi ke
makam-makam keramat -- bagi mereka yang percaya.
Jumat Kliwon 13 Juni misalnya seorang ibu berpakaian putih-putih
menuruni tangga di luar gapura makam di lereng Gunung Kawi yang
dikeramatkan orang itu. Bersama dua orang wanira lain, ia masuk
ke sebuah ruangan, sekitar 10 meter sebelah kanan gapura. Itu
adalah ruang ciamsi, tempat meramal nasib menurut kepercayaan
orang Cina.
Kemudian ia mengocok keras-keras tabung kayu berisi nomor-nomor
ciamsi. 'Wah, nasib saya baik," kata wanita berpakaian
putih-putih tadi setelah memugut nomor ciamsi yang jatuh dan
mencocokkannya dengan isi ramalan yang tertulis.
Ia adalah Nyonya Rahmi, janda Almarhum Bung Hatta. Ia mampir ke
sana dalam perjalanan pulang dari menziarahi makam Bung Karno di
Blitar Dua wanita, yang menemaninya adalah adik Rahmi yaitu
Nyonya Subiyakto, istri bekas KSAL Laksamana Subiyakto seorang
lagi Nyonya Masagung, istri Masagung, pimpinan penerbit dan toko
buku Gunung Agung, Jakarta. Mereka juga berdoa di depan makam
Mbah Djoego dan Mbah Kromoredjo, dua makam yang dikeramatkan di
situ.
Setelah itu mereka menerima bungkusan kecil dari R. Asim
Nitiredjo, jurukunci. "Apa ini?" tanya Nyonya Subiyakto. "Itu
bunga yang sudah layu, untuk dibawa pulang," kata Nyonya Rahmi
yang sebelumnya pernah pula berziarah ke sana.
Makam keramat itu terletak di Dukuh Wonosari, Desa Kebobang,
Kecamatan Ngujum, sekitar 45 km barat daya Malang. Untuk
mencapai kompleks makam di lereng Gunung Kawi pada ketinggian
800 meter dari permukaan laut itu, orang harus mendaki tangga
semen sepanjang 750 meter dengan kemiringan sekirar 45O. Hawanya
dingin.
Pemandangan pertama di tangga itu ialah sebarisan pengemis tua
Tak kurang dari 100 orang, mereka berkelompok rapi, menunggu
belas kasihan penziarah dengan sabar. Beberapa meter lagi
tampak beberapa toko dan rumah makan. Lebih ke atas lagi toko
semakin banyak, terutama menjual perabot untuk upacara
sembahyang menurut tradisi kepercayaan Cina.
Tak lama kemudian tampak gapura pertama yang antik, tanda bahwa
telah sampai di makam dan pesanggerahan yang luasnya sekitar 10
ha itu. Di sebelah kanan gapura itulah dianggap sebagai bekas
pesanggerahan Mbah Kromoredjo. Sebuah papan dengan jelas memuat
tulisan fanya Tuhan YME patut disembab. Mohonlah kepada Allah
Tuhan YME. Nasib saudara di tangan Allah Tuhan YME. Di sini
berjejer puluhan penjual kembang dan kemenyan. Juga penjual ubi
kayu dan jagung, mentah dan matang. Masuk lagi beberapa langkah,
tampak ruang persembahyangan Cina Tri Dharma, lengkap dengan
ciamsi-nya. Masuk lagi sekitar 10 meter, sampailah ke gapura
kedua menuju kompleks makam seluas 1 ha yang dikelilingi tembok.
Di sebelah kiri gapura ada ruangan khusus buat pergelaran wayang
kulit, orang Jawa banyak yang membayar nadar dengan nanggap
wayang kulit semalam suntuk. Di Gunung Kawi ongkosnya Rp 45.000.
Ada pula loket untuk memesan kenduri. Tarifnya Rp 2.500 (nasi
ayam) dan Rp 3.000 bila dengan daging kambing Jurukunci
Nitiredjo (71 tahun) membuka pintu makam. Setelah membakar
kemenyan, bersama beberapa pembantunya ia berdoa, sementara para
penziarah duduk di serambi. Tak lama kemudian kelambu makam
dibuka, dan para penziarah maju satu-persatu menyerahkan dua
bungkus kembang dan kemenyan.
SETELAH itu mereka boleh mengundurkan diri sembari menerima
kembang yang sudah layu lantaran lama ditaruh di makam. Setelah
melakukan upacara kenduri, yaitu duduk melingkari besek-besek
berisi nasi dengan lauk pauk, mereka pun boleh pulang sambil
masing-masing membawa sebuah besek. Boleh dimakan bersama
keluarga, boleh disimpan sebaai azimat -- meski sampai busuk.
Di tengah malam, tak sedikit penziarah yang bersujud di depan
pintu malam. Bahkan ada pula yang matanya berkaca-kaca.
Terlihat pula orang-orang keturunan Cina mengelilingi makam
(seperti halnya jemaah haji bertawaf mengelilingi Ka'bah) 3 kali
sampai 12 kali putaran sambil mengayunkan tangan ke arah 8
penjuru angin!.
Menurut cerita, makam ini sudah adasejak tahun 1871. Siapa
sebenarnya Mbah Djoego dan Mbah Kromoredjo? Menurut jurukunci
Nitiredjo, nama kecil Mbah Djoego adalah Zakaria, salah seorang
panglima Pangeran Diponegoro. Konon ia buyut Paku suwono I yang
lari dari Keraton Kartasura (sebelah barat Sala, Ja-Teng) dan
bergabung dengan Diponegoro di Gua Selarong, Yogya.
Ketika Diponegoro ditangkap, Zakaria lari ke arah timur sampai
ke Desa Sanan, Kecamatan Kesamben, slitar. Untuk menghilangkan
jejak, ia lalu berganti nama, Djoego. Di desa itulah ia dikenal
sebagai kiai yang sakti dan disegani.
Yang juga sampai di Desa Sanan adalah Imam Soedjono, buyut
Hamengku Buwono I (Mataram, Yogya). Mengubah namanya menjadi
Kromoredjo, ia juga wanti-wanti berpesan kepada Zakaria agar
pura-pura tidak saling mengenal. Keduanya lantas berpisah,
Kromoredjo membabat hutan di lereng Gunung Kawi. Tapi Djoego
berpesan, kelak bila meninggal agar dimakamkan pula di Kawi.
Yang menarik, banyak keturunan Cina berziarah ke sana. Mereka
menyebut Djoego sebagai Twa Lo Soe (guru besar I) dan Kromoredjo
sebagai Djie Lo Soe (guru besar II). Kata sahibul hikayat adalah
Tan Kie Yam, orang Cina pertama yang berkunjung ke Kawi pada
1926 untuk berobat. Ia sembuh, lanras menetap di sana.
Orang Cina kedua yang mendaki lereng Kawi adalah Ong Hok Liong
dari Malang, famili Kie Yam. Sembari menjenguk saudaranya itu,
ia menjual tembakau. Mandi di sungai sebelah makam si embah, Hok
Liong melihar seseorang menjual semacam buah ralas yang disebut
bentul.
Membeli bentul beberapa biji, lantas dibawa ke makam. Terlintas
di benaknya kelak kalau ketiban rezeki ia akan mendirikan pabrik
rokok. Menurut cerita jurukunci, Hok Liong lantas melempar uang
logam ke atas mendirikan pabrik atau tidak.
Koin yang jatuh ke tanah memang "mengisyararkan" agar Hok Liong
mendirikan pabrik rokok dengan merk yang kemudian terkenal itu.
Benarkah, Hok Liong sendiri sekarang sudah meninggal.
Bukan hanya kepada penziarah "nonpri". Makam di Gunung Kawi
katanya juga bermurah hati kepada para "pribumi' yang misalnya
ingin cepat dapat jodoh, dagangannya laris atau minta
keselamatan. Misalnya Nyonya Musijem, 30 tahun, ibu dari 3 anak
asal Kediri. Ketika masih gadis belasan tahun ia ingin mendapat
suami ABRI. Semalam sunruk, pada 1962 ia berdoa di Gunung Kawi
Dan 3 tahun kemudian gadis manis ini pun dipinang anggota
Marinir di Surabaya.
Tapi setelah beranak pinak, sang Marinir tergoda gadis lain.
Musijem kembali ke Kawi. Pulangnya, "tanpa saya minta suami saya
berjanji tetap setia," tutur Musijem. Ia juga pernah bermohon
agar dagangannya laris. Dan 12 Juni kemarin Musijem bernadar
karena anaknya berhasil masuk SMP.
Letda SA, 43 tahun, dari Jember juga berkali-kali ke Kawi. Hal
itu dilakukannya karena ia selamat dalam tugas di Trikora di
Irian Jaya, Dwikora di Kalimantan sarat dan di Timor Timur.
Makam Sunan Gunung Jati di Cirebon Jawa Barat juga dikeramatkan.
Nama asli Sunan Gunung Jati adalah Syarif Hidayatullah, salah
seorang dari 9 ulama besar penyebar agama Islam di Jawa,
terkenal dengan Wali Songo. Letak makamnya di puncak Bukit
Sembung di Desa Astana, Kecamatan Cirebon Utara.
Yang boleh masuk hanyalah Sultan Kasepuhan atau Kanoman dari
Cirebon beserta keluarganya atau para alim ulama, kata Harun, 46
tahun, jeneng atau kepala jurukunci makam tersebut. Di puncak
bukit Sembung itu sesungguhnya terdapat 18 makam. Sebab selain
Sunan Gunung Jati dan anak istrinya, juga dimakamkan Pangeran
Cakrabuwana (pendiri kota Cirebon) serta para sultan Cirebon
yang sezaman dengan sang sunan.
SETIAP malam Jumat, terutama Jumat Kliwon, puluhan ribu
penziarah berjubel di sana, serbagai jenis kendaraan parkir di
sepanjang jalan raya, sementara jalan menuju makam padat dengan
para pedagang kembang, makanan dan pakaian. Ketika itulah para
pencopet dengan leluasa beraksi. Selain itu, ratusan penduduk
Astana tiba-tiba beralih profesi sebagai pengemis.
Mereka dengan berani mencolek penziarah, menarik pakaian bahkan
menggelantung di lengan -- minta sedekah. Maksud para penziarah
umumnya sama saja: mohon selamat, gampang cari jodoh, murah
rezeki atau bernadar karena sembuh dari penyakit. Banyak pula di
antara mereka terdapat para pejabat tinggi dari Jakarta, atau
keluarganya. Harun menyebur beberapa nama pejabat tinggi di
Jakarta yang rajin berziarah ke kompleks makam ini secara tetap,
terutama malam Jumat Kliwon.
Banyak pula orang Cina berziarah ke makam Sunan Gunung Jati.
Sebab di sini juga terkubur jasad Ong Tien Nio, putri jelita
Kaisar Yung Lo dari Dinasti Ming dan salah seorang istri sang
sunan.
Orang-orang dari Jakarta juga banyak berziarah ke dataran tinggi
Dieng di Wonosobo, Jawa Tengah. "Mereka biasanya dengan mobil,
dan selalu datang tengah malan ' tutur Armosuwito, Carik
Dieng. Ia juga menyebut beberapa nama.
Membawa segumpal kemenyan dan kembang, para penziarah Dieng
umumnya suka bersepi diri sampai pagi di Gua Semar setelah mandi
di belik (mata air) Bima Lukar. Gua ini terletak di bawah
bukit batu diapit dua telaga: Telaga warna dan Telaga Pengilon.
Lubang masuknya sempit, di dalam terdapat rongga yang tenang
sejuk, cocok buat bersemedi.
Di zaman Mataram Hindu, konon guaini tempat bersemedi raja-raja
dari Wangsa Sanjaya yang membangun candi-candi di kawasan
Dieng. Terletak pada ketinggian 2.150 meter di atas permukaan
laut, dataran ini hijau dan dingin, selalu berselimut kabut Tari
Kiai Semar, tokoh punakawan para pendawa dalam pewayangan
itu, tidak selalu muncul di Dieng.
Kiai berwajah buruk, pengejawantahan seorang dewa dan tumpuan
segala pinta bagi yang percaya ini, konon juga sering
menampakkan diri di Gua Srandil, Kroya, masih di Ja-Teng. Sebab,
begitu dikisahkan, kedua gua itu memang saling berhubungan
secara batiniah.
Tapi makam Raden Patah, pendiri Kerajaan Islam di Demak tak
kalah ramai didatangi para penziarah dari berbagai pelosok.
"Mereka baru saja dari sini,' ujar Kiai Mohamad Kasri, juru
kuncinya. Ia menyebut beberapa nama yang rupanya sudah ia hafal
benar, begitu juga jumlah sumbangan yang mereka berikan.
Makam Raden Patah terletak dalam kompleks masjid Demak yang
didirikannya.
Di Kadilangu, Kabupaten Demak, juga ada makam Sultan Kalijogo
alias Raden Sahid, juga salah seorang dari wali Songo. Sulahi,
wakil jurukunci ini juga menderetkan beberapa nama sebagai
pengunjung tetap makam -- barangkali juga untuk mengecapkan
kehebatannya. Tapi ia rupanya masih ingat benar, Almarhum Bung
Karno semasa hilupnya 4 kali berkunjung ke sini. "Terlahir
pada 1965," kata Sulahi.
Tapi Kartodirono tak mau kalah. Jurukunci makam Sunan Muria di
Desa ColO, Kecamatan Dawe, Kudus, ini juga menderetkan nama-nama
terkenal pengunjung makam yang dijaganya. "seberapa di antara
mereka paling dulu sebelum kemari," kata Kartodirono.
Di bulan Suro alias bulan Muharam tarikh Hijriah, juga di malam
Jumat Pahing, makam Sunan Muria dibuka 2 jam Jalan menuju
makarn itu kini sudah diterangi listrik, konon bantuan seorang
pejabat dari Jakarta.
Di Kudus Kulon ada makam seorang dari Wali Songo, yaitu Sunan
Kudus alias Ja'far Shodiq. Menurut yang empunya cerita, Sunan
Kudus tidak suka melihat pamong yang tidak jujur. Seorang
pejabat yang konon culas, pernah dikabarkan dicopot justru
setelah berziarah ke sana.... Karena itu disebutkan, makam ini
jarang dikunjungi pejabat yang merasa dirinya tidak bersih.
Sekitar 120 km sebelah barat Surabaya, di Desa Dander, ada makam
yang dipercayai bisa berbicara. Yaitu makam Raden Ayu Jamus,
istri seorang bupati yang masih keturunan bangsawan Mataram
Islam. Seorang jurukunci wanita, dikenal dengan panggilan Bu
Cip, 42 tahun, dianggap sebagai "penyambung lidah" almarhumah.
Para penziarah mengelilingi Bu Cip. Dan setelah menaburkan
bunga, Bu Cip lantas menempelkan kepalanya pada nisan di arah
kepala si terkubur. Sejak menjabat jurukunci 2 tahun lalu, suara
dari alam kubur yang didengarnya itu sama: "Yo, mugo-mugo
anak-putu bisa kinabulan opo sing disuwun " (ya, moga-moga apa
yang diminta anak-putu bisa terkabul).
Sayang "tidak semua penziarah bisa mendengar suara itu,"
seperti kata Bu Cip. Cara jurukunciwati itu berkomunikasi
dengan sang jasad dalam kubur biasa saja. Penziarah menyampaikan
maksud kedatangannya lewat Bu Cip, lantas jurukunci ini
"melaporkan" hal itu kepada almarhumah Raden Ayu Jamus.
Seorang dokter lulusan FKUI yang kini buka praktek sebagai
spesialis penyakit kulit di Bogor pernah merekam suara Nyai Loro
Kidul, Ki Lurah Semar dan Noyogenggong di Gua Srandil, Kroya.
Yang terakhir ini dikenal sebagai salah seorang punggawa Raja
Minakjinggo dari Kerajaan Blambangan di zaman Majapahit.
Ketiga oknum yang sebenarnya tak ada dalam dunia nyata itu
menurut Ko King Tjoen, dokter tersebut, direkam bersama Nyaman,
si jurukunci. Isinya? beberapa wejangan dalam bahasa Jawa logat
Banyumas, dengan gaya seorang dalang,
Menurut sang dokter, bahkan Lee Koon Choi, bekas Dubes Singapura
di Jakarta, juga sempat merekam Tapi menurut Koon Choi dalam
bukunya Indonesian Between Myths and Reality (terbitan London)
Ki Semar menggunakan bahasa Jawa Kuno.
Tapi dokter King Tjoen yang mengaku sering keluar masuk gua-gua,
akhirnya berkesimpulan suara itu mungkin semacam "suara perut"
seperti halnya yang dimainkan oleh Gatot Sunyoto melalui boneka
Tongki di TVRI.
Berziarah dengan upacara bersenggama semalam suntuk di alam
terbuka terjadi di puncak Gunung Kemukus di Desa Pendem,
Kabupaten Sragen, Jawa Tengah.
Kamis malam Jumat, terutama Kamis Paing ribuan pengunjung datang
ke sana. Di sana sudah tersedia calon pasangan anda. Cuma belum
pernah terdengar disediakan calon berkelamin lelaki. Yang jelas,
ada semacam anjuran, sebaiknya yang berpasangan bukan laki-bini.
Di makam itu terbujur jasad Raden Samodro bersama Retno
Ontrowulan dalam satu liang lahat. Menurut cerita penduduk
sekitar tempat itu: Retno alias Nyi Ageng Kentir adalah ibu tiri
Samodro. Keduanya pelarian dari Majapahit ketika kerajaan ini
diserang pasukan Demak. Samodro jatuh cinta pada ibu tirinya
lantas melarikan diri berdua. Dan di Gunung Kemukus itulah
mereka memadu kasih. Begitu asyik sampai-sampai meninggal dalam
keadaan sedang bersenggama. Dan tempat berziarah ini juga
dijadikan obyek wisata oleh Pemda Sragen.
Warga Jakarta memang banyak yang tercatat sebagai pengunjung
setia makam-makam yang dianggap keramat. Tapi penduduk yang
berdiam di ibukota negara ini justru jarang menziarahi beberapa
makam terkenal yang ada di Jakarta. Misalnya makam Al-habib
Husain bin Abubakar Al-aidrus Al-alawy di Luar Batang, Pasar
Ikan, Jakarta.
Padahal para penziarah (yang umumnya rakyat kecil) dari beberapa
kota berdatangan ke makam Habib Husain yang konon cucu ke 27
Nabi Muhammad iru. Seorang wanita dari Tegal misalnya. Suatu
hari ia ditampar suaminya hanya karena minta uang belanja. Ia
lalu membaca Al-Quran, salawat dan tahlil di makam Habib Husain,
selama tiga hari tiga malam.
Hari keempat pulang, tiba-tiba dirumahnya datang tamu bersorban
putih memberinya Rp 100.000 untuk modal dagang. Dan lelaki
bersorban itu sampai kini tak pernah nongol menagihnya. "Itulah
kekeramatan Wali Allah Habib Husain," katanya.
Seorang sarjana IAIN "Gunung Jati ' Cirebon juga mempercayai
kekeramatan makam Habib. Ia adalah Drs. M.Z. Syah ruddin, yang
membuka Panti Pengobatan "Pusaka Banten" di Cempaka Putih Barat,
Jakarta. "Saya punya ikatan babn yang kuat dengan almarhum,"
katarlya. Upaya pengobatan y ang dilakukannya selalu lewat doa
kepada Nabi, para sahabat Nabi, Wali Songo dan Habib Husain. Dan
dengan kopi plus kuning telur, si sakit pun sembuh. "Itulah
pertolongan Allah lewat waliNya," katanya.
Yang jelas, Habib asal Hadramaut (Semenanjung Arabia) itu adalah
salah seorang penyebar agama Islam. Sempat membakar semangat
rakyat melawan penjajah, ia ditangkap Kompeni Belanda lantas
ditahan di Glodok. Tapi rakyat beramai-ramai datang ke penjara,
juga minta ditahan. Begitu ceritanya sebelum ia meninggal dan
dimakamkan di Luar Batang.
Bukan hanya di Jawa, di luar Jawa pun tempat-tempat keramat ada.
Dan maksud kedatangan penziarah pun umumnva sama sa]a: minta
sesuatu atau bernadar karena tercapai suatu maksud. Misalnya
makam Syekh Abdurrauf yang lebih dikenal dengan sebutan Syiah
Kuala di Kuala, Aceh. Syukri dari Tapaktuan (Aceh Selatan),
sembuh dari sakit Iyan setelah berziarah ke sana dengan tekun.
Tapi makam Syekh Burhanuddin di Ulakan, Padang Pariaman
(Sum-Bar), sekitar 57 km dari Padang, seperti halnya makam di
Gunung Kawi, telah menyebabkan suasana sekitarnya menjadi
semacam pasar malam karena selalu penuh penziarah. Bermacam
barang jualan ada di sana, dari alat rumah tangga sampai pesawat
teve.
Para penziarah mengaku berkunjung ke sana "untuk berdoa mencapai
ketenangan hidup." Umumnya mereka adalah para pengikut 3 aliran
sufi yang terkenal seperti Syatariah, Naqsyabandiyah, Samaniyah.
Tak jarang misalnya seorang penziarah sampai tak sadarkan diri
karena terlalu khusyuk berzikir.
DI Kalimantan Selatan terdapat makam syekh Muhammad Arsyad
Al-Banjary di Desa Kelampayan, Kecamatan Astambul. Ribuan
penziarah datang ke sana pada bulan-bulan tertentu. Dan tidak
sedikit pengemis berebut uang recehan yang dilempar dari jendela
kendaraan yang menuju tempat itu. Dua tahun lalu ada pengemis
cilik meninggal dilindas mobil penziarah.
Di Kepulauan Riau ada sebuah pulau, Pulau Paku, di tengah alur
masuk kapal antara Tanjung Pinang dan Pulau Penyengat. Para
penziarah di sini umumnya pejabat yang segera akan dimutasikan
ke daerah di luar Kepulauan Riau. Mereka membuang sekeping emas
ke pulau seluas 5.000 meter persegi itu.
'Mungkin agar tidak kualat," kelakar Raja Alie, Wakil Ketua DPRD
Kepulauan Riau. Maksudnya boleh jadi "minta izin" membawa harta
ke luar Riau. Maklum, daerah itu cukup basah, sejak zaman dollar
sampai kini.
Tapi ternyata makam kosong juga selalu ramai dikunjungi
penziarah untuk meminta sesuatu. Misalnya di Kampung Lakiung,
Kecamatan Somba Ompu (Goa) Sulawesi Selatan. Di sini memang
terdapat sebuah nisan yang dianggap para penziarah sebagai makam
Syekh Maulana Yusuf. Padahal penyebar agama Islam ini dinlnkap
Belanda lalu dibuang dan neninggal di Tanjung Harapan, Afrika
Selatan.
Serupa dengan itu adalah makam kosong di kaki Gunung Cireme,
Cirebon. Tim purbakala dari Ditjen Kebudayaan pada 1973/1974
pernah menggalinya. "Tulang-tulang pun tak ada," kata Teguh
Asmar MA, Kasubdit Perlindungan Peninggalan Sejarah Purbakala,
"isinya hanya pecahan periuk dan manik-manik." Tapi tetap juga
dikeramatkan penduduk, sampai sekarang.
Mungkin karena penduduk di situ memang merasa perlu tempat untuk
diziarahi. Atau karena tempat-tempat keramat memang perlu
ditambah? Yang pasti satu tempat yang diangap keramat akan
selalu memberi rezeki bagi penduduk sekitarnya -- paling sedikit
pengemis, sebagai imbalan dari penziarah yang juga telah
mengemis kepada tulang-tulang atau tanah nun di balik batu nisan
itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini