Putri saya sudah setahun sekolah di SMA St. Theresia, Jakarta Pusat. Karena pertimbangan biaya, baik uang sekolah maupun transportasi, kami memutuskanuntuk memindahkan sekolahnya ke SMA negeri di Jakarta Timur. Saya terkejut ketika SMA Theresia meminta saya membayar uang sekolah untuk tahun ajaran 1992 1993 selama satu tahun meskipun anak saya akan pindah darisekolah itu. Saya keberatan membayarnya. Sebab, selain jumlah uang yang diminta cukup besar, harus dilunasi sekaligus. Saya merasa diperlakukan tidak "fair": uang sekolah dipungut dari murid yang tidak lagi menggunakan jasa sekolah tersebut. Karena itu, saya ingin bertemu dengan kepala sekolah untuk membicarakan "keputusan sepihak" tersebut. Sayangnya, permintaan itu tak ditanggapi. Sayahanya berkomunikasi dengan seorang pegawai tata usaha yang meladeni dengan ramah, tapi tetap tidak bisa memberikan berkas-berkas dokumen yang kamiperlukan, seperti buku raport, NEM, STTB yang disimpan di sekolah. Terus terang, saya sungguh menyesal atas kebijaksanaan sekolah tersebut. Saya merasa "dipaksa" begitu saja untuk membayar sesuatu yang kurang masuk akal.Karena tak ada jalan lain, akhirnya saya terpaksa membayar "uang sekolah fiktif itu" agar bisa memperoleh kembali dokumen-dokumen yang kami perlukan untuk bisa masuk ke sekolah lain. Pada kesempatan ini saya mengimbau pihak Departemen P dan K agar meninjau kembali peraturan-peraturan yang digunakan oleh sekolah-sekolah swasta secarasepihak, yang sangat merugikan orang tua murid. Alasan yang dikemukakan oleh pihak sekolah itu: pembayaran itu diperlukan karena anak itu sudah "dijatahkan" bersekolah di situ. Alasan itu jelas tidak logis dan tidakberdasarkan peraturan yang resmi. Seharusnya peraturan itu dijelaskan sebelumnya kepada orang tua murid. TINI HADAD Wakil Ketua Pengurus Harian YLKI Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini