DI Tanah Toraja, ada dua macam makam tua. Liang, makam - yang
kalau dilihat dari bawah -- tampak seperti disampirkan di
sela-sela bukit batu. Dan erong, peti berisi orang meninggal
yang kemudian diletakkan di atas bukit. Peti dari erong,
biasanya terpilih dari kayu terbaik dan berukiran indah. Jumlah
liang dan erong ini ratusan buah banyaknya. Seperti lazimnya
peninggalan bersejarah yang usianya di atas 50 tahun, dia harus
dilindungi. Termasuk liang dan erong. Kantor Suaka Sejarah dan
Purbakala biasanya memiliki Monumen Ordonanhe, ada juga
Instruksi Menteri Dalam Negeri, Menteri P & K, Instruksi
Pangkopkamtib 1973. Isinya sama: lindungan terhadap benda-benda
bersejarah dan kuno disertai larangan untuk memindahkan apalagi
menjualbelikan benda-benda tersebut.
Nyatanya kini, banyak erong di Tanah Toraja sudah berpindah
tempat dari tempat semula diletakkan. Jika Ladi berada di atas
gunung, kini banyak diturunkan ke tempat yang lebih bawah,
katakanlah masih di atas bukit tapi bukit yang mudah ditengok
dan didaki oleh pengunjung. Hal ini diakui pula oleh drs.
Hadimulyono, Kepala Kantor Suaka Sejarah dan Purbakala wilayah
Sulawesi Tengah. Alasan penduduk setempat (atau mungkin pihak
lain) sederhana saja: agar turis bisa melihat dari dekat
makam-makam itu. Tentu saja, komersialisasi erong akan lebih
terjamin.
Cuma Kerbau
Tapi sayang semua itu tak punya tangan yang kuat untuk menarik
para turis. Seperti ujar Sekwilda Tanah Toraja Arief Mattotorang
SH: "Kami tidak mempunyai kemampuan keuangan". Walhasil,
sekumpulan erong yang ada di Suaya, sebuah desa di bawah
Kabupaten Sangala, tergeletak begitu saja menunggui zaman.
Pernah kuburan tersebut dipugar. Diberi pagar, semak-semak
dibersihkan, tapi karena tidak ada seorang penjaga (juru kunci)
untuk merawat kuburan itu, setelah berjalan beberapa tahun,
erong kembali merimba dan sepi sendiri di atas bukit. Peti erong
yang indah berukir itu, di dalam hati para pengumpul barang
antik tentu menimbulkan selera untuk merawat dan memilikinya.
Sampai pada suatu hari, akhir tahun lalu, orang di kampung Suaya
geger. Sebuah erong telah hilang. Dan yang hilang
tulang-belulang VI Piawan keturunan orang Toraja kedua dan
meninggal beberapa ratus tahun yang lampau. Bentuk erong yang
terbuat dari kayu terbaik tersebut berukiran kepala kerbau.
Siapa gerangan yang memindahkan salah satu erong yang diduga
berasal dari abad XI hingga abad XVII itu? Pengusutan erong
berbentuk kerbau pendek segera dilakukan. Para pencari tidak
perlu bekerja keras karena penduduk Suaya toh tidak begitu
banyak. Juga mencuri erong bukanlah seperti mencuri berlian dari
sebuah flat mewah dan ramai. Siapa yang mengambil-pindahkan,
siapa-siapa yang membantu menggotong erong, tentu dengan mudah
cepat diketahui.
Usut sana selidik sini, si pelaku segera diketahui. Sebuah
persidangan segera diadakan. Keputusan pengadilan: tulang-tulang
harus dikembalikan ke tempat semula. Karena waktu mengambilnya
tidak dilakukan dengan upacara (padahal ini harus), si pengambil
harus dihukum denda. Tertuduh diwajibkan masing-masing cuma
seekor. Ongkos denda berkisar Rp 150.000.
Lakipadada
Dan persoalan bukan cuma berhenti di situ. Penduduk yang turut
musyawarah adat menganggap keputusan pengadilan terlalu ringan.
Menurut adat, orang yang melakukan pencurian harus dibakar
hidup-hidup. Apalagi ketika diduga, bahwa erong yang dicuri
sekitar jam 03.00 subuh itu kabarnya sudah dijual kepada seorang
turis dengan harga Rp 12 juta. Tulang belulang memang tidak
diambil, tapi bukankah peti erong seperti itu yang memang dicari
oleh pengumpul barang purba?
Banyak perasaan tidak puas berkecamuk di kalangan sebagian
penduduk Sangala. Pengusutan tidak dilakukan secara dalam. Yang
berwajib dirasa kurang adil memberi keputusan pengadilan. Kurang
berat, sangat ringan, apalagi kalau diingat nilai Rp 12 juta.
Sampai-sampai seorang yang bernama Lakipadada dari Kero Sangala
menulis sebuah surat terbuka membeberkan ketidak-puasan terhadap
keputusan pengadilan. Lakipadada adalah sebuah nama terhormat
yang dianggap sebagai nama leluhur dan cikal bakal bangsawan
Tanah Toraja.
Menanggapi ribut-ribut ini, Arief Mattotorang SH cuma bisa
membantah bahwa erong tadi dijual kepada turis asing. Tambahnya
lagi: "Persoalannya sudah selesai. Tulang-tulang sudah
dikembalikan oleh yang mengambilnya dan tidak dijual kepada
turis asing. Yang mengambil adalah kerabat almarhum sendiri,
katanya untuk mengamankan dan disimpan di rumahnya". Erong dan
isinya yang berupa tulang belulang memang tidak bisa mengemkakan
bukti. saksi atau sangkalannya. Maklum barang bisu. Tapi kuburan
leluhur orang-orang Toraja itu memang tidak ada juru kuncinya.
Persoalannya, bukan hanya menyangkut soal tidak ada biaya. Tapi
kuburan itupun letaknya berdekatan dengan tempat tinggal
penduduk setempat.
Kini, tidak diketahui bagaimana akhir cerita tentang puas tidak
puasnya rasa penduduk. Juga tidak diketahui, apakah erong dan
liang masih tetap berkurang jumlahnya, karena bentuk petinya
memang cukup menggiurkan. Tidak ada yang tahu. Membawa barang
antik dari pulau Sulawesi keluar, memang penuh liku-liku yang
bisa saja dijadikan cerita menarik dan menegangkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini