Direktorat Bina Film Departemen Penetangan baru-baru ini
mengadakan suatu sayembara penulisan cerita untuk film. Penyair
Taufiq Ismail adalah salah seorang di antara anggota juri bagi
sayembara tersebut. Tulisan berikut ini adalah catatan Taufiq
dari pengalamannya memeriksa 856 naskah peserta sayembara. Ia
membandingkannya juga dengan film-film yang dilihatnya selama
jadi juri FFI '77 (TEMPO, 12 Maret 1977).
DARI 856 naskah cerita film yang ikut Sayembara Penulisan Cerita
Film Indonesia 1977 (diselenggarakan oleh Direktorat Film,
Deppen), dinyatakan memenuhi syarat 561 naskah. Tujuh orang juri
bekerja selama tiga bulan, dan untuk mencapai lima cerita yang
dianggap terbaik, 33 naskah dipilih masuk final.
Cerita angka ini mengenai naskah yang 33 buah itulah.
Lingkugan Cerita
Dari 33 naskah yang masih babak akhir itu, 21 buah bercerita
tentang manusia Indonesia di kota (63,6%) dan 12 berkisah
tentang orang desa di pedesaan (36,4%). Dilihat dari gerakan
pelaku terlihat 4 cerita urbanisasi, dan sebuah dengan ciri
gerakan dari kota ke desa. Nampaknya para pengarang ini lebih
besar perhatiannya pada desa dibandingkan dengan para pembuat
film kita yang ikut Festival Film Indonesia 1977 yang silam.
(FFI: kota 81,5%, desa 14,9%).
Kelas Masyarakat
Empat naskah bercerita mengenai kalangan atas (12,1%), 20
tentang kelas menengah (60,6%) dan 9 mengenai kelas bawah
(27,3%).
Perlu jadi catatan bahwa dari 4 cerita kelas atas itu 3 mengenai
raja-raja zaman dahulu dan 1 mengenai anak pegawai tinggi
setingkat di bawah Dirjen zaman ini, yang kaya-raya, punya lima
perusahaan (impor-ekspor, angkutan, tekstil, peternakan sapi dan
real estate) dan, betul seperti dugaan anda, anak itu ketagihan
obat bius.
Film-film FFI tahun ini tidak memaparkan kehidupan kelas atas,
sangat berorientasi pada kelas menengah (92,6%) dan nyaris luput
memotret kehidupan kelas bawah (7,4%).
Lambang Kekayaan
Pengarang-pengarang ini rupanya tak begitu peduli akan mobil
sebagai simbol kemewahan orang kota Indonesia: merek-merek mobil
yang disebut paling pol Fiat, Citroen (itupun salah eja lagi:
Zitroen), dan misalnya tentang mobil seorang pemilik perkebunan
kaya-raya, perinciannya hanyalah "sedan berwarna abu-abu dan
baru berumur setahun". Mobil pegawai tinggi yang punya lima
perusahaan di atas, dan juga mobil anaknya si korban narkotika
yang akan diangkat jadi direktur perusahaan "Cendana Biru" itu
pun tidak diberi merek yang tegas. Sineas Indonesia yang
mengikutkan filmnya di FFI yang lalu memperlihatkan
Mercedes-Benz dan Volvo secara nyinyir pada 18,5% entri
festival. SPCFI: 6,06%, atau pada dua cerita.
Dalam soal bermobil-mobil ini pembuat flm kita nyinyir dan
berisik, sedangkan para pengarang gagu tapi bersahajanya
mencurigakan.
Perabot mewah (termasuk perabot ukir) muncul sebagai latar
belakang pada 5 cerita, atau 15,2%. Dua dari lima cerita itu
berlangsung di keraton zaman dahulu. FFI: 55,5%, dan semuanya
perabot ukir Indonesia mutakhir.
Sepeda
Tokoh-tokoh pada dua cerita (6,06%) pergi ke mana-mana naik
sepeda. Semuanya tokoh guru, semuanya di kota kecil. Pak guru
SMA kita ini, muda, berpacaran boncengan naik sepeda Pergi
menunaikan tugas mengajar, naik sepeda. Gam baran suasana
seadanya dan serasi.
Yogya kota sepeda itu tidak tertangkap dalam film Kampus Biru.
Ada mekanisasi besar-besaran pada kendaraan roda dua ini di kota
itu. Sebuah long shot pada Kampus Bn menggambarkan deretan
parkir berpuluh-puluh sepeda motor bikinan Jepang itu, dan pada
shots lain mahasiswa bersliweran dengan kuda karbon-dioksid itu:
barangkali memang dianggap tidak perlu sepeda-sepeda diikutkan
dalam gambaran Yogya sebagai suatu suasana.
Sepeda dalam FFI 1977: 0%.
Gejala Anak Tunggal
Lumayan juga banyaknya tokoh anak tunggal yang muncul dalam
cerita-cerita sayembara ini, yaitu pada 14 naskah atau sebanyak
42,4%. Namun anglia ini belum menandingi ledakan anak tunggal di
FFI sebesar 70,3%, yang memberi kesan kuat bahwa mayoritas
keluarga Indonesia cuma bisa beranak satu orang saja.
Kembali pada SPCFI lagi, maka tokoh-tokoh yang berasal dari
keluarga Melayu yang beranak lebih dari satu terdapat pada 11
cerita (33,4%). Naskah yang ada anak tunggal dan anak lebih dari
tunggal ada 4 buah (12,1%), kemudian yang tidak jelas statusnya
ada 4 buah pula (12,1%).
Klab Malam
Klab malam, tempat mandi uap dan rumah pijat muncul dalam alur
cerita 3 naskah, berarti besarnya adalah 14,3% dari cerita yang
berlangsung di kota. FFI yag lalu: 52,1%.
Fantasi pengarang peserta sayembara mengenai klab malam, tempat
mandi uap dan rumah pijat, ternyata miskin. Meminjam istilah
militer, kuat dugaan kita mereka tidak "mengenal medan". Sineas
kita lebih bersahabat dengan tempat-tempat itu.
Kehormatan
Apabila 22,2% film peserta FFI 1977 mengisahkan wanita Indonesia
yang terdesak hidup ekonominya lantas segera disorongkan pembuat
film lewat jalan pintas menjadi penjual kehormatan, maka hal
semacam itu pada SPCFI 1977 terdapat sebesar 6,06% (pada dua
naskah).
Mengherankan sabarnya tokoh-tokoh pimpinan wanita Indonesia
zaman ini, yang tidak pernah angkat bicara mengenai penggambaran
cucu-cucu Ibu Kita Kartini di seluloid, yang lebih banyak
sebagai obyek sahaja - cuma syaraf dan daging, tanpa otak dan
tulang itu.
Riwayat Nyi Gunawarman (karangan Pamelingan) adalah kutub yang
melawan kecenderungan itu. Ini dia cerita yang bisa memuaskan
fernale chauvinistis, karena sang Nyi Gunawarman, tokoh wanita
zaman dahulu kala ini mengkotak-katikkan lelaki seenaknya. Dia
membujuk, memperdaya, menipu lelaki, dari bawahan sampai raja.
Nampaknya lelaki bagi Nyi Gunawaman adalah semacam lempung untuk
benda keramik. Sedap juga membaca naskah begini, sesudah melihat
film yang 22,2o dan cerita yang 6,06% tadi, yang menjadikan
wanita Indonesia semata-mata jadi obyek belaka.
Hubungan Kelamin
Kegiatan menghubung-hubungkan kelamin ini terdapat pada 9
cerita, yaitu yang di luar pernikahan: satu dengan pelacur (11%)
dan 8 dengan bukan-pelacur (89%). FFI: 6 berbanding 10 (37,5%
berbanding 62,5%).
Yang dimaksud dengan bukan pelacur adalah teman, kekasih, dan
(dalam satu dongeng rakyat Irian Barat) adik kandung sendiri.
Tidak ada penggambaran hubungan kelamin dengan pembantu rumah
tangga (dalam FFI ada), atau dengan yang sejenis. Masturbasi ada
(satu cerita, 3,03%, sedangkan pada FFI 0%).
Tema dan Cerita
Untuk memudahkan perbandingan dengan FFI 77, maka penggolongan
jenis cerita dari naskah-naskah SPCFI ini disesuaikan dengan
jenis film peserta festival itu. Dengan demikian ditemukan drama
51,6%, komedi 9,1%, cerita kejahatan dengan suspense 0%, cerita
anak-anak 15,1%, cerita revolusi 15,1% dan cerita rakyat 9,1%.
Untuk perbandingan dengan FFI 77, dapat dilihat tabel di halaman
ini.
Jenis komedi cuma sedikit saja lebih banyak pada naskah cerita
film (9,1) dibanding dengan film (7,4%). Dilihat dari segi
jumlah, kedua-duanya sedikit sekali. Orang Indonesia suka
lelucon dan banyolan, suasana negeri ini pun cukup kocak dari
masa ke masa, namun itu tidak terwakili pada kedua peristiwa FFI
dan SPCFI ini. Terlampau sedikit kita diberi kesempatan untuk
ketawa sejadi-jadinya dan secara lepas: seri kocak Ateng-lskak
terlalu jasmaniah, Benyamin garapan Syuman menyorongkan pil
pahit ke langit-langit mulut kita.
Wilayah humor yang digarap pengarang peserta SPCFI lumayan pula
sempitnya lewat tiga cerita: dongeng kanak-kanak Pak Mujur (nama
samaran pengarang Yusi Syamsidar), Akhmad Dikubur Hidup-hidup
(nama samaran Akhmad Idris) dan Riwayat Nyi Gunawarman (nama
samaran Pamelingan). Yang terakhir ini berkisah tentang
kemampuan serang janda zaman baheula mempermain-mainkan para
pria dari bintara sampai raja, yang mengukuhkan dia sebagai
subyek dan menjadikan lelaki obyek.
Humor yang tangkas dan cerdas seperti yang tergambar pada
sketsa-sketsa Arwah Setiawan (majalah Astaga mendiang) tidak
nampak samasekali, yang secara umum kelihatan ialah pemaparan
situasi komedi. Dialog tidak ping-pong. Sayang sekali film Inem
Pelayan Sexy (skenario dan sutradara Nya' Abbas Acup) tidak ikut
dalam festival yang lalu.
Cerita kejahatan dengan suspence tidak ada yang masuk final
SPCFI. Cerita anak-anak yang didaktis ada 5 buah (15,1%) dan dua
di antaranya bisa juga digolongkan pada cerita bertema penanaman
rasa cinta tanah-air, karena berlatar-belakang revolusi
kemerdekaan. (FFI: 11,2 %).
Kisah revolusi terdapat sebanyak 15,1%, dan dalam festival film
yang lalu 0%. (Ada sebuah film yang dalam alur ceritanya ada
adegan pertempuran di zaman revolusi, Mustika Ibu, tetapi itu
bukan tema utamanya). Yang digarap pengarang-pengarang kita
ialah peristiwa gerbong maut yang terkenal di Jawa Timur itu
(Tragedi Gerbong Maut, nama samaran Widyakelana), pemberontakan
Madiun (Singa Lodaya, samaran Macan Tutul dan Pengorbanan,
samaran Suha), kemudian tentang lima pquang yang terdampar di
sebuah pulau dan akhirnya mati semua (Lahirlah Kami, nama
samaran Saba).
Cerita rakyat yang absen di FFI 77, muncul sebanyak 9,1% di
SPCFI. Mereka itu: Keluarga Siri (nama samaran pengarang Aldous
Clesja), sebuah dongeng rakyat Irian Jaya yang belum dikenal
luas di Indonesia. Dua cerita berikutnya dari Jawa Timur, yaitu
Jaka Tingkir (nama samaran Chres) dan Sarip Tambak Yasa (nama
samaran Brother de Luxe 1350). Yang terakhir ini memenangkan
hadiah.
Pro Orde Baru, Anti PKI
Satu-satunya naskah (3%) yang terjalin erat dengan peristiwa
demonstrasi pelajar-pelajar sekolah menengab menentang Orde Lama
di tahun 1966, adalah Yang Pernah Jadi Tokoh, karangan (nama
samaran) Abu Istighfar. Tempat terjadinya kisah ini ialah Tegal,
di sebuah SMA Negeri, dengan tokoh seorang guru muda idealis
yang berhasil memenangkan Orde Baru tetapi kalah dalam bercinta.
Di FFI tidak ada film yang menggarap tema dengan latar belakang
ini.
Para Pemenang
Dari lima naskah yang menang itu, tiga buah (60%,) berjenis
drama, sebuah diangkat dari cerita rakyat (20%) dan sebuah lagi
cerita kanak-kanak (20%). Cerita kanak-kanak ini dapat juga
digolongkan pada cerita revolusi, karena jalinan kisahnya erat
sekali dengan masa perjuangan kemerdekaan. Tiga cerita mengenai
manusia desa berlangsung di pedesaan pula (60%) dan dua cerita
selebihnya mengenai manusia kota, terjadi di kota pula (40).
Sinansari Ecip memenangkan hadiah pertama, sejuta rupiah, untuk
naskahnya Pulang. Ini adalah kisah tentang konflik-konflik di
antara gerombolan pencuri ternak di pedalaman Sulawesi Selatan
Karakterisasi kuat, penceritaan mengalir lancar dan banyak
kejutan-kejutan. Latar belakangnya sebagai wartawan tergambar
pada ketelitiannya mengenai nama tempat, jarak, dan warna lokal
Ecip, kini dosen publisistik di Universitas Hasanuddin Ujung
Pandang, telah berkali-kali memenangkan hadiah penulisan roman
Dewan Kesenian lakarta dan hadiah penulisan sebagai wartawan.
Tiba-tiba Malam, cerita kedua seharga juta ini ditulis Putu
Wijaya. TTM menggambarkan pertikaian adat-istiadat di sebuah
desa Bali dan keinginan campur-tangan pihak luar untuk membuat
kehidupan desa jadi moderen. Pengembangan watak dan penggarapan
peristiwa dijalankan secara rapi oleh Putu sampai klimaksnya.
Pada bagian akhir terasa pengendoran stamina. Putu,
dramawan-wartawan yang hampir selalu menang pada setiap
sayembara novel dan drama DKJ, menguasai benar lingkungannya di
Bali.
Suasana teduh dan damai di lingkungan biara Katolik tergambar
benar dalam Damai, karya Mudjimanto As, seorang pengarang baru
yang kerja sehari-harinya di persurat-kabarnya juga. Temanya
"damai ada dalam diri kita sendiri". Cerita « juta rupiah ini
berkisah tentang jalan hidup seorang muda, 20-an, anak pegawai
tinggi yang kaya-raya, ketagihan narkotika, dirawat dan jatuh
cinta pada susternya. Pengarang tidak mendalam benar tentang
masalah ketergantungan pada obat bius ini.
Pengarang tenar cerita anak-anak Djokolelono, bekerja di bidang
periklanan, memenangkan hadiah keempat untuk cerita Sarip Tambak
Yasa (Rp 300.000). Tokoh "Robin Hool Jawa Timur ini kuat sekali
penampilan dan pengembanga wataknya, melalui dialog. Dialog
ringkas, tangkas dan sehari-hari. Ada hal yang terletak di luar
logika, tapi karena ini dongeng, ya bolehlah.
Menentang Matahan adalah cerita anak-anak dengan latar belakang
revolusi, berlangsung dari Surabaya menuju ke barat. Susilomurti
(dia menerima Rp 200.000) memang penulis cerita anak-anak, di
samping juga wartawan. Kisahnya agak sentimentil, tentang
seorang anak-anak yang kehilangan orang tua dan penglihatannya
selama mengungsi. Dia pandai main biola dan akhirnya jadi
musikus kenamaan.
Sumbangan Berarti
Untuk tahap ini, kelima naskah pemenang SPCFI ini akan jadi
sumbangan berarti bagi kurangnya cerita yang baik dalam industri
film Indonesia. Terpulang pada produser untuk melayarputihkan
cerita-cerita ini. Di samping itu, naskah-naskah yang masuk
final pun, bukannya jelek untuk dipilih.
Untuk memperkaya khazanah, perlulah SPCFI semacam ini dilakukan
setiap tahunnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini