Ada dua foto yang mengusik perhatian di TEMPO, 28 Mei 1994. Pertama, foto di Laporan Utama, halaman 22, yang menampilkan cewek dalam "akuarium" di kompleks pelacuran. Kedua, foto Memoar, halaman 52, seseorang sungkem pada K.H. Alawy Muhammad. Foto di halaman 22 menampilkan cewek dengan wajah yang jelas semua. Selain yang empunya diri bakal mengenali wajahnya, saya yakin sanak saudara mereka tentu akan mengenalinya pula. Seandainya di antara redaksi ada yang punya kaitan famili dengan mereka, apa perasaan Anda menyaksikan foto tersebut? Begitu pula seandainya ada anak-anak mereka melihat, dapatkan Anda merasakan apa kiranya yang bakal berkecamuk dalam kalbu mereka? Menurut berbagai penelitian, terbukti betapa tak bahagianya orang menjadi pelacur. Dengan sajian foto tersebut, TEMPO telah memelopori pemberian vonis paling hitam. Jika tadinya mereka aman-aman saja hidup di rumah kontrakan, setelah munculnya foto tersebut, orang sekampung bisa-bisa jadi bersemangat menghukum mereka. Tentu bukan mendorong amuk massa ini yang menjadi misi pemuatan foto tersebut. Saya yakin TEMPO paham mengenai etika penyajian foto, dan itu tampak pada dua foto di halaman 26, yang wajahnya dibuat saru. Pada foto di halaman 52, suasana cium tangan sang kiai malah menimbulkan risi, karena yang jadi fokus pada fotonya adalah pas pantat orang. Apakah TEMPO bakal menyebutnya sebagai foto gaya posmo? Tolonglah, wahai para redaktur yang terhormat, santapan mata pembaca diberi hidangan yang perlu, sehat, dan etis. AMINUDA ALI Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini