Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pembacaan Al-Quran langgam Jawa pada peringatan Isra Mikraj di Istana Negara, Jumat malam, 15 Mei 2015, menuai kontroversi. Saat itu Muhammad Yasser Arafat melantunkan Surah An-Najm 1-15 dengan cengkok atau langgam Jawa. Pakar pengajaran Al-Quran dari Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia, Ahmad Annuri, segera menuduh pemerintah meliberalisasi Islam.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin berpendapat sebaliknya. Ia menyatakan pembacaan Al-Quran bertujuan menjaga dan memelihara tradisi Nusantara dalam menyebarluaskan ajaran Islam di Tanah Air. Lukman juga mengklaim pembacaan Al-Quran dengan langgam Jawa adalah murni idenya.
Majalah Tempo edisi 4 Agustus 1984 pernah mengulas perbedaan pendapat ihwal cara membaca Al-Quran pada masa itu. Perbedaan itu bahkan berlanjut hingga pelaksanaan sidang selama 13 jam dengan majelis beranggotakan 11 orang yang dipimpin oleh Kiai Sya'roni Achmadi.
Kiai Sya'roni bersama 10 rekannya merupakan santri KH Arwani, pengasuh Pesantren Yanbu'ul Quran, yang sangat dikenal sebagai satu-satunya ahli Al-Quran di negeri ini. Sebelas orang itu adalah para "kiai swasta" yang tidak bisa disamakan dengan Lajnah Pentashih Al-Quran, yang menjadi bagian Departemen Agama. Mereka merampungkan lima masalah yang dua di antaranya dianggap terhenti setelah debat panjang.
Masalah yang tidak bisa dicari penyelesaiannya itu adalah ihwal tulisan Alkitab dalam Al-Quran: harus memakai alif dalam ta' atau tanpa alif. Juga kewajiban harus adanya seorang penghafal Al-Quran di sebuah desa, kecamatan, atau kabupaten. "Kalau dianalogikan dengan kewajiban sebuah masjid dalam sebuah desa, tentunya pada setiap desa harus ada hafiz," kata Kiai Maftuch.
Tak semudah itu. Para kiai yang memang datang dengan persiapan matang itu telah membawa persoalan menjadi tak selesai. Contoh soal yang berkembang tapi kemudian bisa diselesaikan adalah munculnya kaset-kaset bacaan Al-Quran dari Syekh Mahmud Alkhusari.
Ulama Mesir itu memiliki cara baca yang agak berbeda dengan yang ada di sini. Mad najib munfashil, sebuah kalimat yang harus dibaca panjang, dibaca Alkhusari hanya dengan dua alif, sekitar empat ketukan. Padahal di Kudus—juga pada umumnya di Indonesia—bacaan seperti itu harus dibaca dengan tiga alif, enam ketukan. "Kiai Arwani tetap bertahan dengan tiga alif," ujar Maftuch.
Lalu apakah ulama terkenal dari Mesir itu salah? Perdebatan muncul lagi, terutama karena kegigihan Kiai Muhahrror Ali yang mencoba menjelaskan duduk persoalan itu. Dan keputusan yang muncul untuk masalah ini: boleh memakai satu alif jika dilakukan dengan musafahah atau belajar secara bertatapan dengan guru yang ahli Al-Quran. Ini memang titik temu setelah mereka menemukan kitab Ithaf Budlailil Basyar.
Masalah kedua, yang diselesaikan dengan baik, adalah tentang tulisan (khat) Usmani yang kini telah dibakukan para ulama Al-Quran Indonesia dalam sidang kesepuluh, Maret 1984. Khat Usmani, ciri penulisan Al-Quran yang tidak sama dengan kaidah penulisan Arab biasa, menjadi kewajiban mutlak dalam penulisan Al-Quran. "Kami memang menentang standar yang ditentukan pemerintah," ucap Maftuch.
Soalnya, kata dia, sangat membingungkan awam, yang selama ini hanya kenal Al-Quran yang telah beredar. "Malah sekarang ini sudah ada Al-Quran Syiah yang masuk bebas kemari," ujar Kiai Azhari dari Pesantren Pavaman, Magelang. l
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo