Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RENCANA deklarasi #2019GantiPresiden di Pekanbaru dan Surabaya dua pekan lalu buyar lantaran polisi dan penduduk setempat melarangnya. Deklarasi tersebut rencananya dihadiri penyanyi Neno Warisman dan musikus Ahmad Dhani. Kedatangan Neno ke Pekanbaru dihadang beberapa orang di Bandar Udara Sultan Syarif Kasim II. Di Surabaya, ratusan orang mengepung Hotel Majapahit, tempat Dhani menginap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Neno berkukuh menghadiri deklarasi, tapi polisi menolaknya. Setelah tertahan di bandara selama delapan jam, Neno dipulangkan ke Jakarta. Badan Intelijen Negara diduga turut terlibat dalam pemulangan itu. Dhani juga batal menghadiri deklarasi di Surabaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Empat puluh tahun lalu, pernah ada juga ribut-ribut soal ganti presiden. Bedanya, dulu tak ada media sosial. Tuntutan ganti presiden dicetuskan oleh seorang gagah berani, Raden Sawito Kartowibowo. Seperti diulas Tempo edisi 6 Mei 1978 dalam artikel berjudul "20 Tahun Buat Sawito", laki-laki 46 tahun ini mendapat wangsit menjadi presiden dan hendak menggusur Presiden Soeharto. Keruan saja, pada zaman itu, Sawito dihadapkan ke muka hakim.
Ia dituntut 20 tahun penjara. Sawito mendengarkan tuntutan jaksa Mapigau dengan dingin. Duduknya tetap tenang di muka majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat di bawah pimpinan hakim Soemadijono. Air mukanya tak berubah, tetap tersenyum.
Menurut jaksa, Sawito telah memanipulasi kepercayaan kebatinan dengan konsep politik yang jelas: "Bermaksud mengganti Presiden Soeharto." Kepada para saksi, antara lain Mr Soedjono, Sawito terang-terangan berkeinginan menjadi presiden. Dasarnya wangsit yang konon diterimanya selama lelonobroto di berbagai gunung dan pertapaan. Sawito, katanya, suatu ketika akan menjadi presiden dan akan pula membawa Indonesia menjadi negara teladan bagi dunia.
Sawito tak hanya "berkedok spiritual" untuk mencapai cita-citanya, menurut jaksa. Disusunnya naskah "Menuju Keselamatan". Lalu, dengan dalih meminta "kenang-kenangan", ia berhasil mendapatkan acc dan tanda tangan atas naskah tersebut dari tokoh terpandang: Bung Hatta, Kardinal Darmojuwono, Hamka, T.B. Simatupang, dan Kepala Kepolisian RI pertama, Soekanto.
Dari naskah "Menuju Keselamatan" itu, lahirlah surat perintah yang kemudian diubah menjadi "Surat Pelimpahan"-formula semacam Surat Perintah Sebelas Maret-untuk mengalihkan tampuk kepemimpinan nasional dari Soeharto kepada Bung Hatta. Perkara perlunya pelimpahan kekuasaan dari Soeharto kepada Hatta sudah dibicarakan dalam berbagai pertemuan antara Mr Iskaq, Mr Soedjono, Ishak Djuarsa, Sawito, dan Bung Hatta sendiri. Kesimpulan dari diskusi tersebut menyangkut kerawanan negara dan saling tukar informasi mengenai ketidakberesan kerja aparat negara.
Tidak kurang delapan hal memberatkan Sawito. Di antaranya, selain selalu menarik-narik nama pejabat penting dalam setiap uraiannya di muka hakim, Sawito
selalu membicarakan urusan yang bisa dianggap mencemarkan nama presiden dan keluarganya.
Sampai acara penuntutan, hubungan hakim dan jaksa dengan terdakwa dan pembelanya masih tampak tak enak-untuk hal yang sekecil-kecilnya pun. Misalnya jaksa, karena alasan tak
diwajibkan oleh undang-undang saja, enggan membagikan selembar salinan surat tuntutan (yang tebalnya 75 halaman dan dibacakan dalam tempo dua jam) kepada terdakwa dan pembelanya untuk dipelajari.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo