Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Mendeteksi Cadangan Minyak Via Satelit

Efek rembesan mikrohidrokarbon yang menjadi penanda keberadaan minyak dan gas bumi bisa dilacak lewat satelit. Cara mudah dan murah untuk mengetahui potensi cadangan minyak.

1 September 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAHAP eksplorasi atau pelacakan potensi cadangan minyak dan gas bumi memerlukan studi panjang yang kompleks. Untungnya, Muhamad Iqbal Januadi, mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, menemukan cara yang mudah dan murah memanfaatkan citra satelit untuk melacak rembesan mikrohidrokarbon sebagai penanda awal keberadaan cadangan minyak dan gas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Iqbal, model pelacakan ini adalah metode awal untuk mengetahui potensi cadangan minyak di suatu daerah. Cara ini bisa dilakukan dengan lebih cepat, berisiko rendah, dan lebih murah untuk melacak potensi cadangan minyak ketimbang langsung memakai model konvensional, seperti metode seismik, evaluasi geologi, dan komputasi data geofisika. "Hasil pengolahan data citra satelit paling hanya membutuhkan waktu sehari," katanya, Senin dua pekan lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meski demikian, menurut Iqbal, model pelacakan lewat satelit tidak menjadi cara tunggal untuk mengetahui adanya cadangan minyak. Metode ini justru melengkapi sistem eksplorasi konvensional. "Pertama, dites dulu dengan citra satelit. Setelah potensinya ketahuan, bisa dilanjutkan dengan seismik dan evaluasi geologi untuk memastikan kandungan dan karakter cadangan minyak yang ada," ujarnya.

Iqbal melakukan riset ini dengan bantuan dua rekannya, Diki Nurul Huda dan Dida Afdhalia. Penelitian yang dikerjakan dalam bimbingan dosen geografi UI, Supriatna, ini juga dirancang sebagai bahan untuk Program Kreativitas Mahasiswa 2018. "Riset sejak April lalu. Awalnya hanya ingin tahu pemanfaatan lanjutan citra satelit di bidang energi," ucap Iqbal.

Rembesan mikrohidrokarbon minyak dan gas adalah fenomena yang umum terjadi di kawasan yang diprediksi mengandung bahan bakar fosil tersebut. Keberadaan rembesan ini biasanya ditandai oleh sejumlah gejala atau anomali yang bisa dideteksi lewat citra satelit. "Anomali itu peka terhadap spektrum panjang gelombang tertentu," tutur Iqbal, yang telah menguji coba metode tersebut di kawasan Sumatera.

Iqbal dan timnya menggunakan citra satelit Landsat 8 dan Sentinel 2 untuk mencari tahu status rembesan mikrohidrokarbon. Ini adalah pertama kalinya citra kedua satelit itu dipakai untuk mengetahui adanya rembesan mikrohidrokarbon di kawasan tropis yang padat vegetasi seperti Indonesia. "Kebanyakan studi dengan satelit untuk minyak itu dipakai di kawasan rendah vegetasi, seperti gurun dan padang," ucapnya.

Dari reservoir minyak di dalam bumi, rembesan mikrohidrokarbon naik ke permukaan melalui retakan dan rekahan. Efek kebocoran itu bisa dipantau dari udara lewat perubahan di permukaan bumi, misalnya kondisi vegetasi di atas kawasan rembesan itu menjadi rusak. Gas hidrokarbon juga bisa mempengaruhi kondisi mineral batuan. "Warna dan kandungan kimiawinya berubah," ujar Iqbal.

Sistem algoritma yang dikembangkan Iqbal dan timnya menandai kawasan yang memiliki vegetasi bagus dengan warna yang lebih gelap atau hitam. Adapun area yang mengalami perubahan akibat rembesan mikrohidrokarbon memiliki warna lebih terang cenderung putih. "Kelihatan tandanya lewat gradasi hitam-putih. Nanti, setelah diolah datanya, bisa diberi warna yang lebih sesuai dan menarik," kata Iqbal.

Untuk mengetahui perubahan vegetasi, diperhitungkan juga data lain, seperti faktor kehijauan, kerapatan tanaman, dan tingkat klorofil. Data perbandingan lokasi lewat satelit dari tahun-tahun sebelumnya juga dipakai untuk memperkecil risiko bias saat membaca kondisi vegetasi. "Untuk membedakan dengan kerusakan vegetasi yang disebabkan manusia," ujarnya.

Menurut Iqbal, Landsat 8 dan Sentinel 2 menyediakan citra dengan resolusi spasial yang cukup bagus hingga ketinggian 10 meter. Keduanya memiliki sekitar 13 sensor dan melintas di atas Indonesia sekali dalam lima hari. "Makin banyak sensor tentu makin bagus. Ada satelit yang punya lebih dari 200 sensor, tapi datanya berbayar," tuturnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus