Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pelabelan halal pada bungkus atau kemasan makanan berawal dari turunnya instruksi presiden kepada tujuh menteri dan para gubernur di seluruh Indonesia lebih dari 20 tahun silam. Isinya mengenai pengawasan terhadap makanan olahan: makanan yang diproses dalam industri, diberi merek, dan diedarkan.
"Ini hadiah dari Presiden, yang diteken sebelum berangkat haji," kata H.S. Prodjokusumo, Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia, pada saat itu.
Bukan hanya itu yang membuat kalangan Majelis Ulama senang. Semula ketentuan ini direncanakan hanya berupa keputusan bersama tiga menteri: Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Perindustrian. Tahu-tahu malah turun instruksi presiden, yang secara hukum lebih kuat kedudukannya.
Meski belum jelas prosedur pelaksanaannya, yang diinginkan oleh instruksi itu sudah jelas, yakni makanan olahan yang beredar di masyarakat harus memenuhi syarat dari segi mutu, kesehatan, keselamatan, dan keyakinan agama.
Dalam hal mutu, kesehatan, dan keselamatan, sebelum ada instruksi ini, pihak Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan semestinya sudah menjaganya. Adapun yang baru dari instruksi ini tampaknya yang berkaitan dengan keyakinan agama.
Dalam sepuluh tahun ini, sudah dua kali terjadi kehebohan di masyarakat karena soal ini. Yang pertama terjadi pada awal 1984. Ketika itu, sejumlah mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung, meneliti bakso yang dijual di Bandung. Hasilnya, dari 58 pedagang bakso, 23 di antaranya menjual bakso sapi yang dicampur daging babi. Akibatnya, banyak orang terpaksa puasa bakso. Pedagang bakso tak bersalah ikut dirugikan.
Heboh kedua pada 1988. Ketika itu, seorang dosen teknologi pangan di Universitas Brawijaya, Malang, meneliti produk makanan tertentu. Kesimpulannya, ada makanan yang mengandung lemak babi. Namun yang membuat heboh adalah adanya tangan tak bertanggung jawab yang memperpanjang daftar makanan yang mengandung lemak babi.
Memang tampaknya masalah halal-haram yang muncul hanya yang berkaitan dengan agama Islam. Apa boleh buat, orang Indonesia mayoritas memang muslim. Dalam hal yang nyata, maksudnya dalam hal daging babi, darah, bangkai, khamar, atau makanan dari hewan yang tidak disembelih, itu relatif mudah dikenali. Yang sulit, bila unsur-unsur itu muncul lewat proses kimiawi, yang hanya bisa diamati lewat laboratorium.
Sebenarnya Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, lembaga yang bertugas mengawasi peredaran makanan, minuman, dan obat-obatan, sudah membuat ketentuan bagi perusahaan makanan dalam kaitannya dengan halal dan haram. Misalnya, untuk makanan yang mengandung babi, di bungkusnya mesti ditempeli keterangan atau gambar yang menyatakan ada kandungan babinya. "Jika tidak, kami tindak," kata Direktur Jenderal Slamet Soesilo pada masa itu.
Bahkan ada pula ketentuan bahwa pada bungkus itu harus dicantumkan juga bahan-bahan yang dipakai untuk membuat makanan. Jadi, misalnya tak ada babinya—dan karena itu tak dicantumkan label haram—tapi ternyata ada darahnya, semestinya umat Islam tak akan menyentuhnya.
Yang kemudian jadi masalah, adakah keterangan pada bungkus itu bisa dipercaya. Kata Amin Aziz, Ketua Lembaga Penelitian Majelis Ulama Indonesia, semua keterangan itu masih menurut versi produsennya. Sebab, selama ini belum ada lembaga yang disahkan punya wewenang mengecek secara rutin benar-tidaknya etiket halal dan haram itu.
Itu sebabnya, instruksi presiden tentang makanan ini baru bisa berjalan dengan baik, menurut Zaim Saidi dari Yayasan Lembaga Konsumen, bila ada lembaga yang diberi wewenang menjalankannya. "Kalau tidak, ya, percuma," kata Zaim.
Selanjutnya, setelah lembaga dan mekanisme pengawasan itu ada dan berjalan secara rutin, yang penting lagi adalah sanksi. Buat apa ketentuan tanpa sanksi?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo