Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ORANG pertama yang harus diberi selamat atas keputusan PDI Perjuangan menjadikan Joko Widodo sebagai calon presiden 2014 adalah Megawati Soekarnoputri. Dengan memberi mandat kepada Jokowi, Ketua Umum PDIP itu mengesampingkan ambisi pribadi dan desakan pendukung fanatiknya agar ia mencoba peruntungan dalam pemilu presiden. Mempertimbangkan jajak pendapat yang menyebutkan elektabilitasnya jauh di bawah Jokowi, Mega adalah politikus yang realistis dan cerdik mengatur strategi.
Pengumuman pencalonan Jokowi disambut euforia Jokowi-effect. "JKW4P" atau "Jokowi for President", yang dipilih PDI Perjuangan sebagai tagar kampanye sang kandidat, langsung jadi trending topic di Twitter dan media sosial lain. Indeks harga saham gabungan di bursa efek melesat tinggi menembus level 4.800. Sejumlah analisis meyakini pasar menyambut gembira pencalonan itu.
Di balik keriangan itu, selayaknya sikap skeptis perlu dipelihara. Satu di antaranya adalah kekhawatiran bahwa Mega akan mengendalikan Jokowi dari balik layar, jika mantan Wali Kota Solo itu kelak terpilih menjadi RI-1. Dominannya kuasa Mega dalam proses pencalonan Jokowi dicemaskan bakal membuat sang kandidat tersandera. Jokowi ditakutkan akan merasa berutang budi kepada patron politiknya, lalu, mau tak mau, harus merelakan sebagian kewenangan dan kekuasaannya diambil Ketua Umum Partai. Gestur santun Jokowi yang tak ragu mencium tangan Mega memperkuat rasa waswas itu.
Kekhawatiran itu bukannya tak punya dasar. Sampai sekarang Megawati adalah politikus yang paling lama menduduki kursi ketua umum sebuah partai politik. Sejak ia terpilih dalam Kongres Luar Biasa PDI di Surabaya pada 1993, jejaring kekuasaannya di Partai Banteng dapat dibilang tak tergoyahkan.
Harus diakui, figur Mega berperan besar dalam menguatkan konsolidasi PDI Perjuangan pada masa-masa turbulensi politik sekitar 1998. Namun karena faktor Mega jugalah regenerasi politik di Kandang Banteng nyaris tak terjadi: PDI Perjuangan menjadi partai politik yang bergantung pada satu figur sentral.
Upaya pembaruan sebenarnya sudah tampak dalam Kongres PDI Perjuangan di Bali pada 2010. Meski masih terpilih secara aklamasi, Mega memberikan kursi pengurus pusat partai ke banyak politikus lokal yang terbukti berprestasi di daerahnya. Taufiq Kiemas, suami Mega, diketahui juga banyak merekrut kader muda, bahkan dari kelompok politik yang tak sehaluan.
Semangat pembaharuan ini tampaknya yang melatarbelakangi keputusan Mega mencalonkan Jokowi. Meski ia masih muda dan minim pengalaman di tingkat nasional, Mega berani menetapkan pilihan. Sebagaimana di banyak negara demokrasi lain, mereka yang dicalonkan untuk posisi presiden umumnya sudah punya rekam jejak sebagai gubernur atau senator yang sukses.
Dengan demikian, keraguan tentang pola relasi yang kelak terbentuk antara Mega dan Jokowi, jika ia menang pemilu, semestinya bisa ditepis. Bila Mega konsisten dengan misinya membangun generasi baru di PDI Perjuangan, memperlakukan Jokowi sekadar sebagai boneka politik adalah blunder berbahaya. Sebagai tokoh yang memiliki saham terbesar dalam pencalonan Jokowi, Mega semestinya berkepentingan menjaga Jokowi dan memastikan kesatria pilihannya itu menjalankan amanat rakyat.
Soal ini penting karena berhasil atau gagalnya Jokowi jika kelak terpilih sebagai presiden amat bergantung pada polah PDI Perjuangan sebagai partai pemerintah. Jika banyak kader atau mantan tim sukses menerapkan politik aji mumpung—bermain proyek dengan memanfaatkan akses ke pusat kekuasaan—bisa dipastikan simpati dan dukungan publik dengan cepat surut.
Pengalaman pahit Jokowi dengan mantan tim sukses yang disebut-sebut terlibat dalam kisruh pengadaan bus Transjakarta pada awal Februari lalu adalah pelajaran yang amat berharga. Jika gelombang rongrongan partai itu kelak datang, Jokowi harus berani mengutip kembali pesan Megawati saat mendeklarasikan dirinya sebagai calon presiden. Kata Mega, sang kandidat harus mau bekerja keras menjaga Indonesia, berkomitmen pada pluralisme, menghormati konstitusi dan Pancasila, serta menyejahterakan rakyat.
Inilah kartu truf yang harus disimpan Jokowi. Bahwa jika terpilih ia harus membela kepentingan orang banyak, bukan partai apalagi ketua umumnya saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo