DI tengah hiruk pikuk daerah Senen (Jakarta), tersembul sebuah
toko buku dengan nama "Indonesia". Letaknya tidak begitu
menarik. Bahkan hampir tersembunyi dari deretan toko-toko
lainnya. Mulai dari restoran Padang, toko radio, toko sepatu,
bahkan tersembunyi dari keramaian pedagang kaki lima.
Tapi Toko Buku "Indonesia" -- bagi mereka yang faham akan seluk
beluk toko-toko buku di Jakarta -- bisa dikatakan sebagai toko
buku yang terlama. Terutama toko buku yang mengkhususkan menjual
buku bekas.
Dari dulu sampai sekarang bentuk dan isi toko buku ini tidak
mengalami perobahan, walaupun Pasar Senen kini telah berubah
menjadi Pusat Perdagangan Proyek Senen. Terletak di seberang
Proyek Senen, toko buku yang beralamat Kramat Bunder 79, telah
berdiri sejak 1935. Seluruh ruangan, rak dan dinding penuh
buku, sehingga menyulitkan orang bergerak leluasa. Buku-buku
yang jumlahnya ribuan itu bahkan ada yang dionggokkan begitu
saja di atas ubin.
Berharga Ratusan Ribu
Mata harus betul-betul awas untuk mendapatkan buku yang dicari.
Tetapi kalau malas mencari dari tumpukan-tumpukan buku yang
campur aduk dan penuh abu pula, tanyakan saja kepada salah
seorang dari 6 atau 7 orang penunggu toko tersebut. Buku apa
saja yang anda tanyakan, pasti salah seorang dari mereka
menjawab "Iya, kami punya," atau langsung dijawab "tidak ada."
Mereka cukup hafal, mana buku yang ada dalam tokonya dan mana
pula yang tidak.
Koleksinya menakjubkan. Mulai dari buku-buku SMP yang harganya
cuma ratusan rupiah, sampai buku-buku kuno yang bisa berharga
ratusan ribu rupiah, bahkan jutaan. Misalnya buku tentang seni
pahat Mesir (dengan judul Den Maler Agyptischel Sculptur,
karangan von Bissing seorang guru besar pada Universitas Munchen
dan dicetak pada tahun 1914), ditawarkan seharga Rp 450.000 satu
set berikut satu buku tebal yang bcrisi keterangan dan kumpulan
gambar-gambar lepas sekitar 60 x 60 cm.
Buku karangan Dr. D. A. Rinkes tentang bibliografi kesusasteraan
Jawa (Javaansche Bibliographie) terbitan tahun 1926, terdiri
dari 2 jilid, berharga Rp 65.000. Rinkes telah menulis hal ini
berdasarkan keterangan dua orang sasterawan Jawa, R.
Poerwasoewignya dan R. Wirawangsa, di masa kesusasteraan Jawa
Madya mulai berkembang. Sedangkan The New Atlas and Commercinl
Ga2ette China, terbitan tahun 1930, dipasang dengan harga Rp
30.000.
"Dagang begini sulit dikata untung atau rugi," kata R. Hasibuan,
si pemilik toko buku tua ini. Kalau kebetulan ketemu dengan
penggemar buku-buku lama atau memang memerlukan bukubuku kuno,
barulah ketemu rejeki, katanya. Hasibuan kemudian berceritera,
di zaman Belanda dia pernah membeli dari tukang loak buku Das
Kapital terbitan pertama seharga 5 sen. Sampai zaman Jepang buku
itu baru laku. Dan harganya melonjak menjadi 10.000 uang Jepang
waktu itu. Hasibuan pernah menjual buku yang berisi teks
pertukaran daerah penjajahan antara Inggeris-Belanda untuk
kawasan Indonesia dan Malaysia seharga Rp 40.000. Teks berbahasa
Belanda itu dibeli oleh orang asing.
Dia betul-betul makan asam garam dunia penjualan buku-buku.
"Pendidikan saya apalah," kata Hasibuan yang kini berusia 72
tahun. Tapi dari sebegitu lama dia bergaul dengan segala macam
buku, diapaham betul mana buku yang sekiranya mahal, dalam arti
nilai uang atau nilai isi. "Bahkan saya sekarang sedang cari
sebuah buku dan ada orang yang berani bayar sampai 5 juta
rupiah," ujarnya. Buku yang dimaksud adalah tentang sejarah
Borobudur, karangan Krom dan yang berteks Inggeris. "Sayang buku
itu tidak ada pada saya," ujarnya lagi. Dan ketika ditanya
berapa harga belinya, kalau ada orang yang berani bayar 5 juta
rupiah, Hasibuan cepat menjawab "Wah, itu rahasia perusahaan
dong."
Adam Malik
Hasibuan mulai bergaul dengan bukubuku bekas sejak mengawali
peruntungannya di Jakarta permulaan tahun 30-an. Ia berasal dari
Padanglawas (Sum-Bar). Pada permulaan usahanya buku-buku harus
dicarinya. Ada dua cara: lewat tukang loak yang keliling kota
atau datang ke rumah orang-orang Belanda yang akan pindah. Yang
terakhir ini diketahuinya dengan pasang kuping ke sana ke mari.
Sekarang, bukan lagi dia yang mencari buku, tetapi buku-buku
yang datang kepadanya. Baik lewat tukang loak atau siapa saja
yang berminat mau menjual koleksi bukunya.
"Adam Malik dulu di bawah tuntunan saya," kata Hasibuan tentang
Wakil Presiden RI itu. Karena dia datang terlebih dahulu tentu
saja Adam sebagai anak rantau juga harus belajar kepadanya.
Menurut pengakuannya, Adam Malik bahkan pernah menumpang di
rumah Hasibuan di Tanah Tinggi IV. Dalam buku "Mengabdi
Republik" disebutkan Adam Malik pernah tinggal di daerah Senen.
Bahkan tulisnya: ". . . Saya lebih suka berkawan dengan
pemuda-pemuda preman di Pasar Senen, yang memperdagangkan
buku-buku bekas dalam los-los kecil di sepanjang jalan Pasar
Senen " (hal. 21).
Salah seorang dari kawan premannya adalah Hasibuan itulah. "Kami
hidup bersama sekitar 12 orang," ceritera Hasibuan. Sama-sama
melarat, sama-sama mencari peruntungan di Batavia. Beberapa
ceritera tentang "anak bimbing"nya yang bernasib lebih baik ini,
ada diingat Hasibuan. Pada suatu hari, pernah kami keliling
kota mencari buku bekas. Sesampai di Taman Ismail Marzuki
(sekarang), "sandal si Adam copot. Kami bingung, karena tak ada
uang di kantong. Akhirnya ada tukang sepatu yang bersedia
menjahit sandal Adam dengan ongkos 2 sen. Dan hutang pula,"
ceritera Hasibuan.
Hasibuan oleh beberapa anak Sumatera yang baru tiba di Pulau
Jawa (terutama Jakarta) dianggap sebagai tetua dan yang sudah
punya nama. Adam Malik sering ngebon makan di salah satu warung
di daerah Senen dengan jaminan nama Hasibuan. "Dia ini ulahnya
kalau sudah duduk di bangku, penjual nasi tanya: Ada uang? Adam
selalu jawab ada. Nanti waktu bayar, baru dia sebut nama saya.
Pokoknya, makan dulu, bayar belakangan," kata Hasibuan sambil
tertawa.
Pernah ketemu Adam Malik setelah dia jadi orang besar "Ya, kami
berpisah ketika kami masing-masing dibui oleh Belanda, kemudian
masuk zaman Jepang," kata Hasibuan. Waktu zaman Jepang, Adam
Malik sibuk dengan dunia wartawan dan politik, Hasibuan tetap
menekuni jual-beli buku-buku bekas. Ketika Adam Malik jadi
Menteri Luar Negeri, Hasibuan pernah minta untuk ketemu. "Tiga
kali saya coba, baru bisa ketemu," ujarnya. Pertama kali, di
pagi hari. Hasibuan begitu saja datang dan ketemu penjaga.
Persis mobil Adam Malik sudah di depan gerbang rumahnya, ajudan
berkata, itulah orangnya kalau mau bertemu. "Semula, dia tidak
kenal saya. Tapi terus ingat. Saya hanya ketemu sekitar satu
menit dan dia menjanjikan besok malam saja datang lagi."
Anak Muda Sekarang
Besok malamnya Adam Malik ada tamu. Dijanjikan besok malamnya
lagi. "Barulah kami bisa bertemu sekitar setengah jam." Adam
Malik ingin menolong Hasibuan dengan mencari pinjaman modal.
"Tapi saya fikir, untuk apalah," ujarnya, "tawaran itu saya
tolak. Biarlah begini saja, cukup juga untuk hidup. Juga, saya
sudah capek dan semangat sudah tak ada."
Kini sewa toko di salah satu bagian gedung bioskop Grand ini Rp
15.000 sebulan. "Itu sewa harga lama," ujarnya, "di zaman
Belanda kami sewa 35 gulden setiap bulan." Hasibuan merasa puas
akan apa yang diusahakannya sekarang. "Anak, saya tak punya,"
ujarnya, "isteri ada dan dia sudah bawa anak juga dari suaminya
yang dulu." Kini tinggal beberapa anak muda yang dia bimbing
untuk mungkin nanti jadi penggantinya. "Tapi anak muda sekarang
ini maunya dapat uang cepat. Kalau ada uang, tak mau kerja,"
katanya.
Dia juga cukup puas akan koleksi bukunya yang kebanyakan
berbahasa Belanda. Bagi mereka yang ingin mengetahui Indonesia
atau Jakarta tempo dulu bisa digali dari buku-buku koleksi
Hasibuan ini. Ada buku yang berisi kumpulan surat-surat Jan
Pietersz Coen dicetak tahun 1923. Juga kumpulan surat-surat
M.H.J. van de Graaf di tahun 1816-1826 yang dikumpulkan van der
Kemp di tahun 1901 tentang tata-praja Indonsia waktu itu.
Tetapi menurut Hasibuan yang banyak mencari buku-buku antik ini
hanya orang Jepang dan orang Amerika. "Orang Indonesia, jarang,"
ujarnya. Akhir-akhir ini banyak orang datang mencari sebuah buku
atau kumpulan tulisan D.N. Aidit "tetapi sayang saya tak
punya itu," kata Hasibuan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini