Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Hasibuan di tengah buku-buku tua

Toko buku "indonesia" yang terletak di jl. kramat bunder 79, jakarta berdiri sejak 1935, mengkhususkan menjual buku bekas. pemiliknya r. hasibuan, teman lama adam malik. (ils)

28 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI tengah hiruk pikuk daerah Senen (Jakarta), tersembul sebuah toko buku dengan nama "Indonesia". Letaknya tidak begitu menarik. Bahkan hampir tersembunyi dari deretan toko-toko lainnya. Mulai dari restoran Padang, toko radio, toko sepatu, bahkan tersembunyi dari keramaian pedagang kaki lima. Tapi Toko Buku "Indonesia" -- bagi mereka yang faham akan seluk beluk toko-toko buku di Jakarta -- bisa dikatakan sebagai toko buku yang terlama. Terutama toko buku yang mengkhususkan menjual buku bekas. Dari dulu sampai sekarang bentuk dan isi toko buku ini tidak mengalami perobahan, walaupun Pasar Senen kini telah berubah menjadi Pusat Perdagangan Proyek Senen. Terletak di seberang Proyek Senen, toko buku yang beralamat Kramat Bunder 79, telah berdiri sejak 1935. Seluruh ruangan, rak dan dinding penuh buku, sehingga menyulitkan orang bergerak leluasa. Buku-buku yang jumlahnya ribuan itu bahkan ada yang dionggokkan begitu saja di atas ubin. Berharga Ratusan Ribu Mata harus betul-betul awas untuk mendapatkan buku yang dicari. Tetapi kalau malas mencari dari tumpukan-tumpukan buku yang campur aduk dan penuh abu pula, tanyakan saja kepada salah seorang dari 6 atau 7 orang penunggu toko tersebut. Buku apa saja yang anda tanyakan, pasti salah seorang dari mereka menjawab "Iya, kami punya," atau langsung dijawab "tidak ada." Mereka cukup hafal, mana buku yang ada dalam tokonya dan mana pula yang tidak. Koleksinya menakjubkan. Mulai dari buku-buku SMP yang harganya cuma ratusan rupiah, sampai buku-buku kuno yang bisa berharga ratusan ribu rupiah, bahkan jutaan. Misalnya buku tentang seni pahat Mesir (dengan judul Den Maler Agyptischel Sculptur, karangan von Bissing seorang guru besar pada Universitas Munchen dan dicetak pada tahun 1914), ditawarkan seharga Rp 450.000 satu set berikut satu buku tebal yang bcrisi keterangan dan kumpulan gambar-gambar lepas sekitar 60 x 60 cm. Buku karangan Dr. D. A. Rinkes tentang bibliografi kesusasteraan Jawa (Javaansche Bibliographie) terbitan tahun 1926, terdiri dari 2 jilid, berharga Rp 65.000. Rinkes telah menulis hal ini berdasarkan keterangan dua orang sasterawan Jawa, R. Poerwasoewignya dan R. Wirawangsa, di masa kesusasteraan Jawa Madya mulai berkembang. Sedangkan The New Atlas and Commercinl Ga2ette China, terbitan tahun 1930, dipasang dengan harga Rp 30.000. "Dagang begini sulit dikata untung atau rugi," kata R. Hasibuan, si pemilik toko buku tua ini. Kalau kebetulan ketemu dengan penggemar buku-buku lama atau memang memerlukan bukubuku kuno, barulah ketemu rejeki, katanya. Hasibuan kemudian berceritera, di zaman Belanda dia pernah membeli dari tukang loak buku Das Kapital terbitan pertama seharga 5 sen. Sampai zaman Jepang buku itu baru laku. Dan harganya melonjak menjadi 10.000 uang Jepang waktu itu. Hasibuan pernah menjual buku yang berisi teks pertukaran daerah penjajahan antara Inggeris-Belanda untuk kawasan Indonesia dan Malaysia seharga Rp 40.000. Teks berbahasa Belanda itu dibeli oleh orang asing. Dia betul-betul makan asam garam dunia penjualan buku-buku. "Pendidikan saya apalah," kata Hasibuan yang kini berusia 72 tahun. Tapi dari sebegitu lama dia bergaul dengan segala macam buku, diapaham betul mana buku yang sekiranya mahal, dalam arti nilai uang atau nilai isi. "Bahkan saya sekarang sedang cari sebuah buku dan ada orang yang berani bayar sampai 5 juta rupiah," ujarnya. Buku yang dimaksud adalah tentang sejarah Borobudur, karangan Krom dan yang berteks Inggeris. "Sayang buku itu tidak ada pada saya," ujarnya lagi. Dan ketika ditanya berapa harga belinya, kalau ada orang yang berani bayar 5 juta rupiah, Hasibuan cepat menjawab "Wah, itu rahasia perusahaan dong." Adam Malik Hasibuan mulai bergaul dengan bukubuku bekas sejak mengawali peruntungannya di Jakarta permulaan tahun 30-an. Ia berasal dari Padanglawas (Sum-Bar). Pada permulaan usahanya buku-buku harus dicarinya. Ada dua cara: lewat tukang loak yang keliling kota atau datang ke rumah orang-orang Belanda yang akan pindah. Yang terakhir ini diketahuinya dengan pasang kuping ke sana ke mari. Sekarang, bukan lagi dia yang mencari buku, tetapi buku-buku yang datang kepadanya. Baik lewat tukang loak atau siapa saja yang berminat mau menjual koleksi bukunya. "Adam Malik dulu di bawah tuntunan saya," kata Hasibuan tentang Wakil Presiden RI itu. Karena dia datang terlebih dahulu tentu saja Adam sebagai anak rantau juga harus belajar kepadanya. Menurut pengakuannya, Adam Malik bahkan pernah menumpang di rumah Hasibuan di Tanah Tinggi IV. Dalam buku "Mengabdi Republik" disebutkan Adam Malik pernah tinggal di daerah Senen. Bahkan tulisnya: ". . . Saya lebih suka berkawan dengan pemuda-pemuda preman di Pasar Senen, yang memperdagangkan buku-buku bekas dalam los-los kecil di sepanjang jalan Pasar Senen " (hal. 21). Salah seorang dari kawan premannya adalah Hasibuan itulah. "Kami hidup bersama sekitar 12 orang," ceritera Hasibuan. Sama-sama melarat, sama-sama mencari peruntungan di Batavia. Beberapa ceritera tentang "anak bimbing"nya yang bernasib lebih baik ini, ada diingat Hasibuan. Pada suatu hari, pernah kami keliling kota mencari buku bekas. Sesampai di Taman Ismail Marzuki (sekarang), "sandal si Adam copot. Kami bingung, karena tak ada uang di kantong. Akhirnya ada tukang sepatu yang bersedia menjahit sandal Adam dengan ongkos 2 sen. Dan hutang pula," ceritera Hasibuan. Hasibuan oleh beberapa anak Sumatera yang baru tiba di Pulau Jawa (terutama Jakarta) dianggap sebagai tetua dan yang sudah punya nama. Adam Malik sering ngebon makan di salah satu warung di daerah Senen dengan jaminan nama Hasibuan. "Dia ini ulahnya kalau sudah duduk di bangku, penjual nasi tanya: Ada uang? Adam selalu jawab ada. Nanti waktu bayar, baru dia sebut nama saya. Pokoknya, makan dulu, bayar belakangan," kata Hasibuan sambil tertawa. Pernah ketemu Adam Malik setelah dia jadi orang besar "Ya, kami berpisah ketika kami masing-masing dibui oleh Belanda, kemudian masuk zaman Jepang," kata Hasibuan. Waktu zaman Jepang, Adam Malik sibuk dengan dunia wartawan dan politik, Hasibuan tetap menekuni jual-beli buku-buku bekas. Ketika Adam Malik jadi Menteri Luar Negeri, Hasibuan pernah minta untuk ketemu. "Tiga kali saya coba, baru bisa ketemu," ujarnya. Pertama kali, di pagi hari. Hasibuan begitu saja datang dan ketemu penjaga. Persis mobil Adam Malik sudah di depan gerbang rumahnya, ajudan berkata, itulah orangnya kalau mau bertemu. "Semula, dia tidak kenal saya. Tapi terus ingat. Saya hanya ketemu sekitar satu menit dan dia menjanjikan besok malam saja datang lagi." Anak Muda Sekarang Besok malamnya Adam Malik ada tamu. Dijanjikan besok malamnya lagi. "Barulah kami bisa bertemu sekitar setengah jam." Adam Malik ingin menolong Hasibuan dengan mencari pinjaman modal. "Tapi saya fikir, untuk apalah," ujarnya, "tawaran itu saya tolak. Biarlah begini saja, cukup juga untuk hidup. Juga, saya sudah capek dan semangat sudah tak ada." Kini sewa toko di salah satu bagian gedung bioskop Grand ini Rp 15.000 sebulan. "Itu sewa harga lama," ujarnya, "di zaman Belanda kami sewa 35 gulden setiap bulan." Hasibuan merasa puas akan apa yang diusahakannya sekarang. "Anak, saya tak punya," ujarnya, "isteri ada dan dia sudah bawa anak juga dari suaminya yang dulu." Kini tinggal beberapa anak muda yang dia bimbing untuk mungkin nanti jadi penggantinya. "Tapi anak muda sekarang ini maunya dapat uang cepat. Kalau ada uang, tak mau kerja," katanya. Dia juga cukup puas akan koleksi bukunya yang kebanyakan berbahasa Belanda. Bagi mereka yang ingin mengetahui Indonesia atau Jakarta tempo dulu bisa digali dari buku-buku koleksi Hasibuan ini. Ada buku yang berisi kumpulan surat-surat Jan Pietersz Coen dicetak tahun 1923. Juga kumpulan surat-surat M.H.J. van de Graaf di tahun 1816-1826 yang dikumpulkan van der Kemp di tahun 1901 tentang tata-praja Indonsia waktu itu. Tetapi menurut Hasibuan yang banyak mencari buku-buku antik ini hanya orang Jepang dan orang Amerika. "Orang Indonesia, jarang," ujarnya. Akhir-akhir ini banyak orang datang mencari sebuah buku atau kumpulan tulisan D.N. Aidit "tetapi sayang saya tak punya itu," kata Hasibuan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus