Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Sisa-sisa sais yang sedih

Delman, kendaraan rakyat tradisional, kini terdesak oleh motor & kolt. biaya pemeliharaan kuda besar, sementara pendapatan tidak memadai. hanya di beberapa tempat saja masih bertahan.(sd)

28 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASA jaya dokar sudah dipreteli. Kendaraan rakyat tradisional itu mental dihajar motor dan kolt. Dering bel dan hentakan kaki kuda yang merambat di tengah malam sekarang sulit dicari. Kusir-kusir dokar melihat ke masa depan, lalu angkat tangan. Sedih bercampur dongkol, mereka harus putar haluan, mencari makan dengan cara lain. Ratusan dokar yang dulu merajai terminal di depan pasar Wonokromo -- Surabaya -- sekarang hanya tinggal 10 buah. Abdul Kadir, kusir berusia 64 tahun yang hampir sepanjang hidupnya bergaul dengan kuda mengeluh. "Nasib kusir dokar sekarang ini lebih jelek dari tukang beca," katanya. Dengan harga beras yang melangit sejak Januari -- Rp 2.000 tiap kaleng -- ia sulit mempertahankan alat angkut yang paling banter mencetak Rp 500 sehari. "Yang mau dokar sekarang ini hanya bakul-bakul yang bawaannya banyak," keluhnya lebih lanjut. Kadir, penduduk Kutisari di pinggiran Surabaya itu melihat satu persatu rekan-rekannya menyerah. Mereka menyeberang jadi kuli bangunan. Tapi ia sendiri bertekad mempertahankan kudanya sampai titik darah penghabisan. "Habis saya sudah tua, tidak bisa kerja kasar dan tidak punya banyak pengalaman," ucapnya, "sayalah yang akan jadi kusir penghabisan dari pekerjaan yang sudah turun-temurun ini. Alhamdulillah tiga anak saya sudah kerja di bangunan." Diludahi Karena rezeki tipis, Kadir tak bisa lagi merawat dokarnya seperti yang dilakukan oleh bapak atau kakeknya dulu. Kudanya sekarang tentu kekurangan gizi. Sepuluhtahun yang lalu kuda masih memiliki menu yang spesial, karena masih diberi telor sebulan sekali. Sekarang, jangankan telor, rumput saja dijatah jangan sampai lebih dari Rp 100 sehari. "Dulu, sepatu kuda setengah bulan sudah diganti, sekarang yah, kalau belum copot tidak diganti. Jadi maklum saja suaranya bukan tak-tik-tuk, tapi teplok-teplok," kata Mulyono, rekan Kadir, menimpali. Dengan suramnya dunia kusir, tidak berarti tak ada pendatang baru. Ada kusir muda di koplakan Wonokromo bernama Tjiptohadi. Usianya masih 22 tahun. Ia tidak punya pilihan lain, setelah beberapa kali gagal melamar pekerjaan. Mungkin karena ijazahnya hanya SD. "Akhirnya saya jadi kusir daripada menganggur. Soalnya dokar ini dipakai atau tidak dipakai harus mengeluarkan biaya," ujarnya. Hasilnya diakui kurang memuaskan. "Begitu saya jadi kusir, nasib dokar sudah tidak baik karena digusur kolt," keluhnya. "Kalau dokar masih laku seperti dulu, bisa kita jual untuk modal usaha lain," kata Tjipto. Ia mengatakan paling banter dokar dan kuda sekarang laku Rp 100 ribu -- itupun sulit mencari pembeli. Sementara kerusakan-kerusakan kendaraan bisa terjadi setiap saat. Itu masih ditambah dengan jatuhnya martabat kusir seakan-akan mereka tidak berhak lagi memakai jalan raya. "Sering kami dipelototi sopir-sopir karena dianggap mengganggu jalan. Bahkan saya pernah diludahi sopir truk," kata Tjipto. "Pepatah berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian tidak berlaku. Senangnya sudah dulu, baru sekarang ini sakitnya," kata Abdul Kadir kembali. Ia terkenang bagaimana bangganya memiliki dokar di masa yang lalu -- sama dengan memiliki mobil sekarang. Apalagi pada musim orang kawin, dokar memegang peranan utama. Setiap perkawinan hampir selalu dibarengi dengan pawai dokar berpuluh-puluh. Di sana para kusir dokar tidak hanya mendapat rezeki, tetapi berusaha bersaing memamerkan keindahan kendaraannya. "Sekarang mana ada pengantin mencarter dokar, biar di kampung juga mencarter kolt. Habis dokarnya sendiri juga tidak ada yang baik lagi," kata Kadir mengakui. Di Kisaran, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara, keruntuhan sado -- sejenis dokar -- bukan karena kolt. "Kami punah justru karena kalah bersaing dengan beca," kata Husin Sirait (40 tahun). Pada tahun 1958 beca mulai merebut rezeki tukang sado, gara-gara angin dari pemerintah. Sado dianggap merusak kebersihan kota karena kuda tidak bisa diatur dalam soal hajat besar dan kecil. Pemerintah menyuruh pasang goni di pantat kuda, supaya kotoran bisa tertampung. "Akibatnya penumpang merasa bau dan jijik, mereka pun lebih senang naik beca," kata Husin pensiunan tukang sado itu. Tetapi kejayaan beca juga kemudian direnggut kendaraan bermotor. Sejak 1970, di Desa Rawang Lama (Asahan) misalnya, beca juga mulai ditendang karena ada RBT (Rakyat Banting Tulang). Yakni sepeda motor yang diojekkan. "Sekarang beca hanya tinggal 3 buah saja di sini, itupun operasinya tepaksa ke Kota Kisaran", kata sang Kepala Desa. Puluhan RBT masuk ke desa setiap hari kini sebagai angkutan vital penduduk. Tarifnya ke Kisaran Rp 300 per orang. Sekali angkut tak tanggung-tanggung, ojek itu mengangkut dua penumpang. Di samping itu ada kolt, sehingga praktis tidak ada peluang lagi bagi alat angkut dokar dan beca. Karena nasibnya hampir sama, tak heran kalau kusir dan bang beca mulai akrab. Ini terjadi di Kampung Cimanggu di tepi Kota Bogor. Pernah jalan yang menembus kampung ini dari arah kota rusak, sehingga kenderaan bermotor tidak berani menjamah. Lalu tukang delman dan tukang beca merebutnya sebagai daerah operasi. Kemudian mereka berusaha memperbaiki jalan rusak yang panjangnya sekitar 500 meter itu. Seminggu sekali, secara bergiliran mereka bekerja, antara 8 kusir dan 10 tukang beca kerja bakti setiap hari. Uang dikumpulkan, pemerintah kabupaten juga menyumbang. Waktu jalan membaik, kendaraan bermotor mulai muncul. Satu ketika seorang supir kolt dengan penumpang dan muatan bengkuang melesat di antara orang-orang yang sedang kerja. Ketika diperingati supir malahan memukul. Akhirnya para kusir dan tukang beca mengeroyok supir itu. "Kalau tak ingat penumpang, supir itu hancur," kata seorang kusir yang terlibat waktu itu kepada TEMPO. Sejak itu tak ada supir yang punya nyali angkut penumpang ke Cimanggu -- kecuali dicarter orang Cimanggu sendiri. "Saya tak berani naik ke Cimanggu, penduduk melempari kami," kata Kosasih, seorang supir. Kusir-kusir di Cimanggu yang berjumlah sekitar 100 orang, punya organisasi tak resmi. Dokar yang tampak dalam film Indonesia Tuan Tanah Kedawung adalah milik Madsuhi, pimpinan tak resmi organisasi itu. Di Kota Bogor sendiri, sekitar tahun 60-an ada Persatuan Kusir yang dipimpin oleh Nyonya Cucu Halmaherawati. Perkumpulan itu berhasil membebaskan sebuah jalan yang sebelumnya terlarang untuk dokar. Sekarang perkumpulan itu tak terdengar lagi, kewibawaannya pun tak ada. Seperti juga di Surabaya delman di Cimanggu sudah tua dan jelek-jelek. Maklum pendapatan mereka hanya sekitar Rp 2.500 sampai Rp 3.000 sehari. Bagi yang tidak memiliki delman sendiri, jumlah itu harus dibagi dengan pemilik. Sedangkan yang cuma punya kuda seekor malahan hanya mendapat Rp 1. 000 karena hanya bisa beroperasi setengah hari. Belum biaya sepatu kuda ang berharga Rp 500 -- kalau musim hujan harus ganti dalanl 3 - 4 hari. Kesehatan kuda juga harus dipelihara dengan telor, garam, gula merah, gabah, beras serta makanan-makanan bergizi. Murah Dan Aman Apalagi semacam SIM yang duiu lima tahun sekali -- sekarang harus diperbaharui setiap tahun dengan biaya Rp 750. Ini belum selesai masih ada pajak Rp 250 tiap tahun. Dan kalau tiba-tiba kena razia, bayangkan pengeluaran-pengeluarn sang kusir. Belum pula kalau kuda sakit atau dicium truk. Rais (68 tahun) tinggal di Cibuluh sudah jadi kusir sejak 1930. Ia sudah 4 kali ganti kuda. Kuda terakhir sekarang sudah dipeliharanya sejak 18 tahun bernama si Dawuk. Barangkali kinilah masa terburuk yang pernah dihadapinya selama mengabdi delman. Penumpang kurang. Kalau adapun tidak bisa lagi carteran seperti dulu. Setiap penumpang hanya mau membayar Rp 50. Berarti hanya Rp 200 sekali jalan mengingat terbatasnya tempat duduk. Di zaman Belanda perhatian terhadap delman besar, sehingga sampai ada ketentuan kusir tidak baleh berpakaian tambalan. "Kusir harus berpakaian sopan dan tidak boleh memalukan. Dendanya seperak," kata Rais mengenang. Tetapi di balik cerita kekalahan dokar (yang juga disebut delman, sado dan sebagainya itu) di beberapa tempat harus dicatat dokar tetap jaya. Di Kecamatan Singaparna misalnya (Jawa Barat. Di sana masih terdapat 500-an delman, dengan kusir yang rata-rata berusia di atas 40 tahun. Juga ada 3 buah bengkel delman yang terus bekerja. Para pedagang dan pemilik warung di Singaparna ternyata lebih tertarik delman daripada angkutan bermotor. "Ongkosnya lebih murah dan aman," kata Eha, seorang penjual sayur di dalam pasar kepada TEMPO. Untuk jarak 4 kilometer sekali jalan ongkos delman hanya Rp 500. "Kolt lebih mahal, malah jarak dekat tidak mau membawa muatan semacam sayur," katanya. Di Garut delman juga belum terdesak. Dari Garut ke Cipanas yang berjarak 5 km hanya bisa ditempuh dengan delman. Tahun 1973 pemerintah daerah pernah merencanakan untuk mengoperasikan kendaraan umum bermotor seperti bemo, tapi kusir-kusir kemudian langsung berdemonstrasi menentang. Supir bemo maupun Honda tak ada yang berani mencoba-coba memasuki jalur itu. "Bisa babak-belur kena cambuk," kata Samsu, seorang supir Honda. Para penumpang juga memang suka kepada delman karena lebih santai, maklum itu daerah wisata. Hanya pemerintah daerah yang khawatir mengingat kebersihan kota. Karena itu belakangan ini meskipun gerak delman tidak dibatasi, para kusir diperintahkan memasang goni untuk menampung hajat kudanya. Kena Genjot Dengan kedatangan kendaraan bermotor sebagai "tarzan jalanan", tidah hanya dokar dan beca kena sikut. Di Payakumbuh Utara, armada pedati yang pernah mencapai jumlah sampai 5 buah merosot tinggal 10 saja. Kendaraan yang ditarik kerbau itu mengangkut minyak manis, kelapa, gambir dan kayu dari Limbang dan desa-desa sekitarnya sepanjang 18 km menuju Payakumbuh. Sekarang muatan mereka disabet oleh truk dan mobil-mobil penumpang. Para kusir pedati mengakui bahwa mereka kalah dan terbelakang, meskipun untuk desa-desa yang lebih pelosok mungkin mereka masih berarti. Duit yang mereka renggut sekarang, jauh dari kebutuhan hidup yang sebenarnya. "Tapi saya sudah biasa dari kecil kerja begini, mau apa," kata Jusuf, kusir yang berusia 56 tahun. Ia tidak punya pilihan lain. Dengan adanya krisis enerji yang bikin geger dunia saat ini, apakah ada kemungkinan orang akan kembali menoleh kepada alat angkutan tradisional? Malik, seorang kusir pedati yang juga kena genjot arus kendaraan bermotor itu menjawab: "Bagaimana mungkin kehidupan kami berubah, sekarang segala sesuatu sudah maju. Kalau bisa bertahan saja, kami sudah bersyukur."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus