MASA jaya dokar sudah dipreteli. Kendaraan rakyat tradisional
itu mental dihajar motor dan kolt. Dering bel dan hentakan kaki
kuda yang merambat di tengah malam sekarang sulit dicari.
Kusir-kusir dokar melihat ke masa depan, lalu angkat tangan.
Sedih bercampur dongkol, mereka harus putar haluan, mencari
makan dengan cara lain.
Ratusan dokar yang dulu merajai terminal di depan pasar
Wonokromo -- Surabaya -- sekarang hanya tinggal 10 buah. Abdul
Kadir, kusir berusia 64 tahun yang hampir sepanjang hidupnya
bergaul dengan kuda mengeluh. "Nasib kusir dokar sekarang ini
lebih jelek dari tukang beca," katanya. Dengan harga beras yang
melangit sejak Januari -- Rp 2.000 tiap kaleng -- ia sulit
mempertahankan alat angkut yang paling banter mencetak Rp 500
sehari. "Yang mau dokar sekarang ini hanya bakul-bakul yang
bawaannya banyak," keluhnya lebih lanjut.
Kadir, penduduk Kutisari di pinggiran Surabaya itu melihat satu
persatu rekan-rekannya menyerah. Mereka menyeberang jadi kuli
bangunan. Tapi ia sendiri bertekad mempertahankan kudanya sampai
titik darah penghabisan. "Habis saya sudah tua, tidak bisa kerja
kasar dan tidak punya banyak pengalaman," ucapnya, "sayalah yang
akan jadi kusir penghabisan dari pekerjaan yang sudah
turun-temurun ini. Alhamdulillah tiga anak saya sudah kerja di
bangunan."
Diludahi
Karena rezeki tipis, Kadir tak bisa lagi merawat dokarnya
seperti yang dilakukan oleh bapak atau kakeknya dulu. Kudanya
sekarang tentu kekurangan gizi. Sepuluhtahun yang lalu kuda
masih memiliki menu yang spesial, karena masih diberi telor
sebulan sekali. Sekarang, jangankan telor, rumput saja dijatah
jangan sampai lebih dari Rp 100 sehari. "Dulu, sepatu kuda
setengah bulan sudah diganti, sekarang yah, kalau belum copot
tidak diganti. Jadi maklum saja suaranya bukan tak-tik-tuk, tapi
teplok-teplok," kata Mulyono, rekan Kadir, menimpali.
Dengan suramnya dunia kusir, tidak berarti tak ada pendatang
baru. Ada kusir muda di koplakan Wonokromo bernama Tjiptohadi.
Usianya masih 22 tahun. Ia tidak punya pilihan lain, setelah
beberapa kali gagal melamar pekerjaan. Mungkin karena ijazahnya
hanya SD. "Akhirnya saya jadi kusir daripada menganggur.
Soalnya dokar ini dipakai atau tidak dipakai harus mengeluarkan
biaya," ujarnya. Hasilnya diakui kurang memuaskan. "Begitu saya
jadi kusir, nasib dokar sudah tidak baik karena digusur kolt,"
keluhnya.
"Kalau dokar masih laku seperti dulu, bisa kita jual untuk modal
usaha lain," kata Tjipto. Ia mengatakan paling banter dokar dan
kuda sekarang laku Rp 100 ribu -- itupun sulit mencari pembeli.
Sementara kerusakan-kerusakan kendaraan bisa terjadi setiap
saat. Itu masih ditambah dengan jatuhnya martabat kusir
seakan-akan mereka tidak berhak lagi memakai jalan raya.
"Sering kami dipelototi sopir-sopir karena dianggap mengganggu
jalan. Bahkan saya pernah diludahi sopir truk," kata Tjipto.
"Pepatah berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian tidak
berlaku. Senangnya sudah dulu, baru sekarang ini sakitnya," kata
Abdul Kadir kembali. Ia terkenang bagaimana bangganya memiliki
dokar di masa yang lalu -- sama dengan memiliki mobil sekarang.
Apalagi pada musim orang kawin, dokar memegang peranan utama.
Setiap perkawinan hampir selalu dibarengi dengan pawai dokar
berpuluh-puluh. Di sana para kusir dokar tidak hanya mendapat
rezeki, tetapi berusaha bersaing memamerkan keindahan
kendaraannya. "Sekarang mana ada pengantin mencarter dokar, biar
di kampung juga mencarter kolt. Habis dokarnya sendiri juga
tidak ada yang baik lagi," kata Kadir mengakui.
Di Kisaran, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara, keruntuhan sado --
sejenis dokar -- bukan karena kolt. "Kami punah justru karena
kalah bersaing dengan beca," kata Husin Sirait (40 tahun). Pada
tahun 1958 beca mulai merebut rezeki tukang sado, gara-gara
angin dari pemerintah. Sado dianggap merusak kebersihan kota
karena kuda tidak bisa diatur dalam soal hajat besar dan kecil.
Pemerintah menyuruh pasang goni di pantat kuda, supaya kotoran
bisa tertampung. "Akibatnya penumpang merasa bau dan jijik,
mereka pun lebih senang naik beca," kata Husin pensiunan tukang
sado itu.
Tetapi kejayaan beca juga kemudian direnggut kendaraan bermotor.
Sejak 1970, di Desa Rawang Lama (Asahan) misalnya, beca juga
mulai ditendang karena ada RBT (Rakyat Banting Tulang). Yakni
sepeda motor yang diojekkan. "Sekarang beca hanya tinggal 3 buah
saja di sini, itupun operasinya tepaksa ke Kota Kisaran", kata
sang Kepala Desa.
Puluhan RBT masuk ke desa setiap hari kini sebagai angkutan
vital penduduk. Tarifnya ke Kisaran Rp 300 per orang. Sekali
angkut tak tanggung-tanggung, ojek itu mengangkut dua penumpang.
Di samping itu ada kolt, sehingga praktis tidak ada peluang lagi
bagi alat angkut dokar dan beca.
Karena nasibnya hampir sama, tak heran kalau kusir dan bang beca
mulai akrab. Ini terjadi di Kampung Cimanggu di tepi Kota Bogor.
Pernah jalan yang menembus kampung ini dari arah kota rusak,
sehingga kenderaan bermotor tidak berani menjamah. Lalu tukang
delman dan tukang beca merebutnya sebagai daerah operasi.
Kemudian mereka berusaha memperbaiki jalan rusak yang panjangnya
sekitar 500 meter itu. Seminggu sekali, secara bergiliran mereka
bekerja, antara 8 kusir dan 10 tukang beca kerja bakti setiap
hari. Uang dikumpulkan, pemerintah kabupaten juga menyumbang.
Waktu jalan membaik, kendaraan bermotor mulai muncul.
Satu ketika seorang supir kolt dengan penumpang dan muatan
bengkuang melesat di antara orang-orang yang sedang kerja.
Ketika diperingati supir malahan memukul. Akhirnya para kusir
dan tukang beca mengeroyok supir itu. "Kalau tak ingat
penumpang, supir itu hancur," kata seorang kusir yang terlibat
waktu itu kepada TEMPO. Sejak itu tak ada supir yang punya nyali
angkut penumpang ke Cimanggu -- kecuali dicarter orang Cimanggu
sendiri. "Saya tak berani naik ke Cimanggu, penduduk melempari
kami," kata Kosasih, seorang supir.
Kusir-kusir di Cimanggu yang berjumlah sekitar 100 orang, punya
organisasi tak resmi. Dokar yang tampak dalam film Indonesia
Tuan Tanah Kedawung adalah milik Madsuhi, pimpinan tak resmi
organisasi itu. Di Kota Bogor sendiri, sekitar tahun 60-an ada
Persatuan Kusir yang dipimpin oleh Nyonya Cucu Halmaherawati.
Perkumpulan itu berhasil membebaskan sebuah jalan yang
sebelumnya terlarang untuk dokar. Sekarang perkumpulan itu tak
terdengar lagi, kewibawaannya pun tak ada.
Seperti juga di Surabaya delman di Cimanggu sudah tua dan
jelek-jelek. Maklum pendapatan mereka hanya sekitar Rp 2.500
sampai Rp 3.000 sehari. Bagi yang tidak memiliki delman sendiri,
jumlah itu harus dibagi dengan pemilik. Sedangkan yang cuma
punya kuda seekor malahan hanya mendapat Rp 1. 000 karena hanya
bisa beroperasi setengah hari. Belum biaya sepatu kuda ang
berharga Rp 500 -- kalau musim hujan harus ganti dalanl 3 - 4
hari. Kesehatan kuda juga harus dipelihara dengan telor, garam,
gula merah, gabah, beras serta makanan-makanan bergizi.
Murah Dan Aman
Apalagi semacam SIM yang duiu lima tahun sekali -- sekarang
harus diperbaharui setiap tahun dengan biaya Rp 750. Ini belum
selesai masih ada pajak Rp 250 tiap tahun. Dan kalau tiba-tiba
kena razia, bayangkan pengeluaran-pengeluarn sang kusir. Belum
pula kalau kuda sakit atau dicium truk.
Rais (68 tahun) tinggal di Cibuluh sudah jadi kusir sejak 1930.
Ia sudah 4 kali ganti kuda. Kuda terakhir sekarang sudah
dipeliharanya sejak 18 tahun bernama si Dawuk. Barangkali
kinilah masa terburuk yang pernah dihadapinya selama mengabdi
delman. Penumpang kurang. Kalau adapun tidak bisa lagi carteran
seperti dulu. Setiap penumpang hanya mau membayar Rp 50. Berarti
hanya Rp 200 sekali jalan mengingat terbatasnya tempat duduk. Di
zaman Belanda perhatian terhadap delman besar, sehingga sampai
ada ketentuan kusir tidak baleh berpakaian tambalan. "Kusir
harus berpakaian sopan dan tidak boleh memalukan. Dendanya
seperak," kata Rais mengenang.
Tetapi di balik cerita kekalahan dokar (yang juga disebut
delman, sado dan sebagainya itu) di beberapa tempat harus
dicatat dokar tetap jaya. Di Kecamatan Singaparna misalnya (Jawa
Barat. Di sana masih terdapat 500-an delman, dengan kusir yang
rata-rata berusia di atas 40 tahun. Juga ada 3 buah bengkel
delman yang terus bekerja.
Para pedagang dan pemilik warung di Singaparna ternyata lebih
tertarik delman daripada angkutan bermotor. "Ongkosnya lebih
murah dan aman," kata Eha, seorang penjual sayur di dalam pasar
kepada TEMPO. Untuk jarak 4 kilometer sekali jalan ongkos
delman hanya Rp 500. "Kolt lebih mahal, malah jarak dekat tidak
mau membawa muatan semacam sayur," katanya.
Di Garut delman juga belum terdesak. Dari Garut ke Cipanas yang
berjarak 5 km hanya bisa ditempuh dengan delman. Tahun 1973
pemerintah daerah pernah merencanakan untuk mengoperasikan
kendaraan umum bermotor seperti bemo, tapi kusir-kusir kemudian
langsung berdemonstrasi menentang. Supir bemo maupun Honda tak
ada yang berani mencoba-coba memasuki jalur itu. "Bisa
babak-belur kena cambuk," kata Samsu, seorang supir Honda. Para
penumpang juga memang suka kepada delman karena lebih santai,
maklum itu daerah wisata. Hanya pemerintah daerah yang khawatir
mengingat kebersihan kota. Karena itu belakangan ini meskipun
gerak delman tidak dibatasi, para kusir diperintahkan memasang
goni untuk menampung hajat kudanya.
Kena Genjot
Dengan kedatangan kendaraan bermotor sebagai "tarzan jalanan",
tidah hanya dokar dan beca kena sikut. Di Payakumbuh Utara,
armada pedati yang pernah mencapai jumlah sampai 5 buah merosot
tinggal 10 saja. Kendaraan yang ditarik kerbau itu mengangkut
minyak manis, kelapa, gambir dan kayu dari Limbang dan
desa-desa sekitarnya sepanjang 18 km menuju Payakumbuh. Sekarang
muatan mereka disabet oleh truk dan mobil-mobil penumpang.
Para kusir pedati mengakui bahwa mereka kalah dan terbelakang,
meskipun untuk desa-desa yang lebih pelosok mungkin mereka masih
berarti. Duit yang mereka renggut sekarang, jauh dari kebutuhan
hidup yang sebenarnya. "Tapi saya sudah biasa dari kecil kerja
begini, mau apa," kata Jusuf, kusir yang berusia 56 tahun. Ia
tidak punya pilihan lain.
Dengan adanya krisis enerji yang bikin geger dunia saat ini,
apakah ada kemungkinan orang akan kembali menoleh kepada alat
angkutan tradisional? Malik, seorang kusir pedati yang juga kena
genjot arus kendaraan bermotor itu menjawab: "Bagaimana mungkin
kehidupan kami berubah, sekarang segala sesuatu sudah maju.
Kalau bisa bertahan saja, kami sudah bersyukur."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini