Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kembali dari awal

Asti bandung mementaskan drama tari topeng somantri gugur di teater arena tim, jakarta. tari ini mengambil pola wayang wong pasundan tapi busananya berpola jawa surakarta.

28 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEBIH dari hanya rangkaian atau penggabungan gerak, sebuah karya tari menuntut paduan sinambung -- sehingga kesatuan utuh yang dihasilkan mampu menggugah perasaan penikmatnya. Akan lebih baik lagi jika mampu mengajak penonton ke sebuah renungan mendalam. Untuk mewujudkan itu semua memang banyak masalah yang harus diatasi, dan tentu saja tidak setiap karya berhasil memenuhinya. Misalnya dramatari topeng Somantri Gugur produksi ASTI Bandung, garapan bersama Endo Suanda, Iyus Rusliana dan Toto Amsar di Teater Arena TIM, 18 dan 19 Juli 1979. Berbeda dengan Topeng Badawang yang sempat menimbulkan perdebatan menarik dalam Festival Penata Tari Muda tahun lalu, Somantri Gugur belum sempat mengendap. Pemakaian topeng yang seharusnya membantu ekspresi, ternyata masih merepotkan bagi sebagian besar penari. Para ponggawa, danawa, Togog dan Sokasrana misalnya, belum mampu menghidupkan topeng yang dipakai. Adakalanya bahkan menyulitkan bloking dan kerampakan gerak. Pada adegan Rahwana kiprah, suasana yang seharusnya ramai terasa kosong. Para pemeran raksasa tak mampu memberikan respon terhadap kiprah Rahwana. Padahal, seorang Djana yang menarikan Klana (Topeng Cirebon) dengan iringan gamelan dan senggak gempita dari nayaga bisa menjadikan pentas terasa sesak, walau ia sendirian menari. Juga perkembangan alur dramatik dalam pementasan ini kurang dipersiapkan. Beberapa adegan penting tak mencapai klimaks yang diharap. Benang halus yang seharusnya merangkaikan satu adegan dengan berikutnya tak sempat mewujud. Akibatnya seakan kita selalu kembali dari awal pada setiap adegan baru. Hal itu terasa sekali pada adegan matinya Sokasrana, yang tak meninggalkan bekas karena tak didukung adegan-adegan sebelumnya. Sedang iringan adegan perang terakhir -- antara Rahwana dan Somantri -- yang merupakan klimaks, tak mampu menciptakan suasana tegang karena musik mementingkan ornamentasi melodi sehingga terdengar manis berbunga-bunga. Bodor, yang dalam Topeng Cirebon terasa sekali menghidupkan suasana, dalam tontonan ini tak begitu berperan. Yang juga menggelitik hati adalah masalah busana tari yang hampir seluruhnya berpola Jawa Surakarta. Di masa lalu memang pernah ada pengaruh Istana Mangkunagaran terhadap Kabupaten Priangan, tetapi tak diduga sedemikian kuatnya. Agaknya belum juga terbersit niat seniman tari Bandung mencari kembali akar tata busana yang lebih khas Pasundan. Dramatari Topeng Somantri Gugur mengambil pola wayang wong Pasundan, namun garapannya lebih mendekati langen-beksa (tari, dialog dan vokal terpadu dalam bandingan seimbang) dengan materi dan idiom yang ada pada khaanah kesenian Sunda dewasa ini. Ceritanya tentang dua orang bersaudara putera Resi Suwandagni Somantri dan Sokasrana. Yang satu cakap, satunya jelek bukan buatan, tetapi keduanya sama-sama memiliki kelebihan dan saling mengasihi. Dalam usahanya hendak mengabdi kepada Prabu Harjunososro, Somantri menemui kesulitan ketika harus memindahkan Taman Sriwedari -- dan sang adikpun datang membantunya. Tetapi karena berwajah raksasa, Sokasrana diminta agar pulang saja oleh Somantri. Dalam perselisihan inilah Sokasrana mati di tangan kakaknya. Sesal kemudian tak berguna. Akhirnya dalam sebuah pertempuran melawan Rahwana, Somantri yang kemudian menjadi patih, tewas sebagai pahlawan. Kakak beradik itu pun bertemu kembali, di alam baka. Lutung Kasarung Wayang orang Pasundan, menurut dugaan, berasal dari Cirebon. Seluruh pemainnya berkedok atau memakai topeng mirip Topeng Madura. Dialog dilakukan sang dalang dan bukan penari-penarinya, kecuali -- sebagaimana di Bali -- peran-peran dengan kedok setengah muka. Tontonan ini, yang berkembang di kalangan rakyat, telah lama lenyap dari peredaran -- dan sebagai gantinya pada akhir abad ke-19 muncul wayang priya, maksudnya wayang priyantun (=bangsawan) karena didukung para menak atau bangsawan. Perlahan-lahan topeng mulai ditanggalkan, dialog dilakukan para penari sendiri dengan mengadaptasi wayang golek Pasundan. Wayang Priya masih sering dipertunjukkan sekitar tahun 1940-an. Usaha menghidupkan kembali wayang Pasundan yang sudah lenyap ini tentu patut dihargai. Apalagi jika diingat, drama tari utuh semacam yang dipertunjukkan ini di Bandung pementasannya dapat dihitung dengan jari. Salah satunya, yang masih membekas, adalah garapan Sendratari Ramayana yang disusun dalam rangka Festival Ramayana Internasional 1971. Tahun 1974, Enoch Atmadibrata -- yang pernah menggarap sendratari Lutung Kasarung -- pernah pula menggarap sendratari dengan lakon Ramayana. Tetapi setelah itu baru tahun lalu kita lihat Topeng Badaqlang (Klana Tunjungseta) karya Endo Suanda, yang disusul Somantri Gugur kali ini keduanya produksi ASTI Bandung. Barangkali saya mengharap terlampau banyak setelah melihat Topeng Badawang Endo yang berhasil. Sal Murgiyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus