TAK hanya satu jalan menjadi wartawan TEMPO. Bisa melalui kantor TEMPO di Jakarta, mungkin juga lewat kantor-kantor biro kami yang ada di daerah. Kedua sistem rekruitmen ini memang tak persis sama. Kali ini kami ingin memperkenalkan beberapa wartawan TEMPO hasil sistem rekrutmen di daerah, yang baru saja diangkat untuk tahun ini. Siapa tahu suatu waktu ia akan menemui Anda untuk wawancara. Mereka ialah R. Fadjri (Yogyakarta), Ahmad Taufik (Bandung), dan Kelik M. Nugroho (Surabaya). Fadjri sering jadi korban ledekan teman-teman karena tubuhnya tambah menggelembung saja setelah bergabung dengan TEMPO. Ada yang bilang dia kurang bekerja keras, ada yang menuduh makannya berlebihan. Tapi R. Fadjri, reporter TEMPO di Biro Yogya itu tak marah. "Perut saya maju 5 cm ini karena money shock yang saya alami di TEMPO," katanya. Artinya? Sarjana komunikasi UGM ini berteori: di negara berkembang ini masih berlaku korelasi positif antara tingkat kemakmuran hidup dan kesuburan tubuh. Tapi boleh jadi kemakmuran yang dimaksud Fadjri karena ia termasuk orang yang beruntung. Coba, pada saat sekarang orang- orang mengeluhkan banyaknya sarjana menganggur, ia sudah dapat pekerjaan sejak masih mahasiswa. Mula-mula ia menjadi reporter di sebuah radio swasta di Yogyakarta. Tak kurang dari lima tahun menekuni pekerjaan itu. Tahun lalu ia mengikuti semacam program magang di kantor biro TEMPO Yogyakarta. Hasilnya, ia dianggap memadai untuk diangkat sebagai pembantu tetap yunior (PTY) -- sebuah jenjang awal untuk reporter daerah -- Januari lalu. Kok pindah ke TEMPO? "Di sini saya baru merasa benar-benar jadi wartawan," kata bujangan kelahiran Bukittinggi yang besar di Medan. Ahmad Taufik yang jangkung itu adalah sarjana hukum dari Unisba Bandung. Semasa mahasiswa ia dikenal sebagai aktivis kampus. Ia misalnya ikut demo memperjuangkan kasus tanah Badega dan Kacapiring Bandung. "Saya tertarik pada TEMPO dan ingin kerja keras," katanya. Meskipun sering bekerja sampai larut malam, anak muda ini mengaku tetap bisa jadi aktivis. Namun, karena kuliahnya sudah selesai tentu ia tak lagi jadi aktivis kampus. Taufik, misal- nya, kini aktif sebagai ketua Lembaga Pendidikan dan Budaya Is- lam di Bandung. Apa pun aktivitasnya, sebagai wartawan Taufik berkata, "Saya harus bersikap independen, netral, dan tak boleh semau gue." PTY baru lainnya adalah Kelik M. Nugroho. Tapi yang satu ini tampaknya tak makmur seperti Fadjri. Buk- tinya, sampai sekarang tubuhnya terus ceking. "Mungkin saya tak berbakat gemuk," katanya. Kelik adalah alumni IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Jurusan Sastra Arab. Tapi kalau ia aktif berbahasa Arab dan juga In- ggris, tak lain karena sebelumnya ia enam tahun mondok di Pesantren Gontor yang kini sibuk merayakan ulang tahun itu. Sebagai wartawan TEMPO di daerah, tak berarti mereka tak diperhatikan bila memang mampu menunjukkan prestasi. Untuk itu sudah lama disediakan sistem yang bisa mengukur aktivitas mereka. Sistem itu sendiri selalu diperbaiki untuk disesuaikan dengan kebutuhan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini