Saya yakin bahwa pemirsa RCTI, SCTV, dan TPI pernah memirsa sebuah iklan deterjen yang disampaikan secara testimonial. Seorang ibu yang sedang berbelanja deterjen di pasar swalayan lalu dicegat seorang pewawancara yang menanyakan alasan mengapa memilih deterjen tersebut. Katakanlah merek X. Ibu tersebut lalu memberikan alasannya sambil ''menyebut'' merek deterjen lain sebagai perbandingan. Tetapi, saat ''menyebutkan'' merek deterjen lain itu, suara sang Ibu disensor dengan bunyi sinyal: ''Tiiiit''. Banyak pihak yang penasaran, apa merek yang disebutkan beberapa ibu yang ditanyai pendapatnya tentang deterjen X tadi. Dari gerakan bibirnya, banyak yang menebak-nebak merek deterjen yang ada di pasaran. Dalam benak saya, kalau ucapan ibu-ibu yang disensor itu dijadikan kuis, pasti banyak yang akan mengirimkan jawaban. Maklum, konsumen sekarang kan lebih senang pada hadiahnya daripada memastikan secara jujur memilih suatu produk. Namun, ada ganjalan lain di hati saya. Apakah iklan tersebut cukup etis? Karena secara tak langsung iklan tersebut boleh dikatakan sebagai iklan yang membandingkan langsung dengan produk kompetitornya, walau merek yang disebutkan itu disensor. Tetapi, sudah diawali dengan kata-kata pembanding, hanya pada saat ''menyebutkan'' merek, merek tersebut disensor. Cara ini tentu akan dipakai sebagai dalih bahwa iklan tersebut tidak langsung membandingkan dengan merek lain sebagai pesaingnya. Masalahnya adalah karena iklan tersebut merupakan iklan audio- visual, sehingga pemirsa langsung tergelitik, lalu melakukan berbagai penafsiran terhadap kata-kata yang disensor, tetapi masih ada gerak bibirnya. Penafsiran-penafsiran tersebut mungkin tak mudah terjadi bila iklan tersebut merupakan iklan audio atau di media cetak. Dalam tata krama periklanan di Indonesia yang sudah disepakati bersama (antara pengiklan, perusahaan periklanan, serta media periklanan) ada hal-hal yang mengatur soal upaya persaingan yang sehat. Dalam penjabarannya pada klausula tersebut, dinyatakan bahwa iklan tidak boleh menggunakan istilah superlatif, misalnya kata paling atau ter. Kemudian juga membandingkan langsung dengan produk pesaingnya. Di Amerika memang ada iklan yang membandingkan secara langsung produk yang bersaing. Contohnya seperti Coca Cola dan Pepsi Cola, atau Wang dan IBM. Namun, itu pun sempat menjadi pembicaraan khalayak periklanan di sana. Upaya membandingkan dengan produk lain secara halus dilakukan oleh perusahaan penyewaan mobil terbesar di Amerika: Hertz dan Avis. Yang terbesar memang Hertz, dan orang memang tahu bahwa Avis yang kedua. Lalu judul yang digunakan Avis adalah: Kami tahu bahwa kami yang kedua, tetapi kami berusaha lebih baik. Begitu simpati memang. Nah, sebagai masyarakat yang punya falsafah Pancasila, dan masyarakat periklanannya juga punya Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia, sudah tentu punya kiat-kiat yang simpatik pula untuk bersaing secara sehat. Bila ditilik, deterjen merek X tersebut sebenarnya diproduksi oleh suatu perusahaan raksasa yang punya dana periklanan jauh lebih besar dari produk pesaingnya. Mengapa ia tidak memperbanyak frekuensi iklannya dengan menampilkan iklan yang lebih simpatik. Karena dengan menampilkan iklan testimonial tersebut, kok ada kesan ''kebakaran jenggot'' dengan munculnya iklan produk pesaing secara gencar. HARSO WIDODO Kompleks Sinar Kasih A-25 Pondok Gede 17413 Bekasi, Jawa Barat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini