Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hak Jawab ILO
KAMI dari program Better Work Indonesia (BWI) yang berada di bawah International Labour Organization (ILO) keberatan tentang data infografik di laporan utama Tempo edisi 14-20 November berjudul “Musim Pecat Telah Tiba”. Infografik itu mengutip data korban pemutusan hubungan kerja dari BWI-ILO sebanyak 47.539 orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BWI tidak pernah mengeluarkan informasi tersebut. Kami juga tidak pernah menerima permintaan konfirmasi atas data tersebut dari majalah Tempo. Kami memperoleh informasi bahwa data itu berasal dari pemaparan Kementerian Perindustrian dan kami perlu meluruskan bahwa BWI tidak pernah berkomunikasi dan menyampaikan data dalam infografik tersebut kepada Kementerian Perindustrian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam mengumpulkan data, kami melakukannya secara informal melalui pabrik garmen yang menjadi bagian dalam program BWI-ILO. Karena itu, dampak turunnya permintaan produksi masih dalam bentuk perkiraan dan bukan data pasti. Dari 218 pabrik dalam program ini, ada 61 yang terkena dampak, yaitu di Jawa Tengah, Jawa Barat, Jakarta, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebanyak 1.464 pekerja tetap kehilangan pekerjaan dan 17.844 pekerja tidak tetap tidak diperpanjang kontraknya.
Maria Joao Vasquez
Chief Technical Advisor Better Work Indonesia
Anda benar. Kami mendapat data tersebut dari pemaparan Kementerian Perindustrian pada 7 November 2022.
Gaji Pensiunan Kementerian Luar Negeri
MENARIK membaca tanggapan juru bicara Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah, tentang tidak dibayarkannya gaji pegawai Kementerian Luar Negeri yang bekerja di luar negeri sejak 1950, sebagaimana dimuat Tempo.co edisi 22 Oktober 2022. Teuku mengatakan hak uji materi para pensiunan Kementerian Luar Negeri "ditolak" oleh Mahkamah Agung dan bersifat inkracht. Sebagai pihak yang mengajukan hak uji materi, kami dari Forum Lintas Angkatan Purna Karyawan (FLAPKA) Kementerian Luar Negeri merasa perlu menanggapi pernyataan tersebut sekaligus menjelaskan kepada masyarakat mengenai yang sebenarnya terjadi.
Permohonan uji materi ke Mahkamah Agung terdaftar dengan Nomor 5/P/HUM/2022 pada 3 Januari 2022, yang diputus pada 29 Maret 2022, dengan majelis hakim agung yang diketuai Irvan Fachruddin serta beranggota Yodi Martono Wahyunadi dan Yosran. Amarnya berbunyi "Menyatakan permohonan keberatan hak uji materi para pemohon tersebut tidak diterima dan menghukum pemohon untuk membayar biaya perkara."
Jadi gugatan uji materi ke Mahkamah Agung bukan "ditolak", melainkan "tidak diterima". Putusan "ditolak" dan "tidak diterima" punya konsekuensi hukum yang berbeda. Benarkah sudah inkracht? Perlu dijelaskan bahwa keputusan yang bersifat inkracht atau yang berkekuatan hukum tetap adalah:
- a) Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
- b) Putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh KUHAP.
- c) Putusan kasasi.
Dengan demikian, putusan Mahkamah Agung tentang permohonan hak uji materi yang diajukan oleh FLAPK tidak bisa dikatakan inkracht karena kami sebagai pemohon belum beperkara di pengadilan mengenai sengketa antara FLAPK dan Kementerian Luar Negeri. Kami hanya mengajukan permohonan keberatan atas suatu peraturan melalui mekanisme hak uji materi.
Kementerian Luar Negeri merupakan instansi terdepan dalam memperjuangkan hak para tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Sangat ironis ketika pejabat Kementerian Luar Negeri yang ditugaskan di luar negeri justru gajinya tidak dibayarkan sejak 1950 sampai 31 Desember 2012. Tindakan tidak membayar gaji pegawai yang sedang melaksanakan kewajiban adalah perbuatan melawan hukum. Menteri Luar Negeri juga merupakan korban kebijakan masa lalu. Sesuai dengan sumpah jabatan, seharusnya mereka melaksanakan kewajibannya, yaitu menyelesaikan dan meluruskan kekeliruan yang sudah lama berlangsung tersebut.
Kusdiana
Ketua FLAPK
Korupsi Hakim Agung
BEBERAPA waktu lalu, Ketua Mahkamah Konstitusi dan seorang hakim Mahkamah Konstitusi menjadi pesakitan Komisi Pemberantasan Korupsi. Belakangan, dua hakim agung juga mendapat giliran berurusan dengan KPK. Sebelumnya sudah ada beberapa hakim dari tingkat pertama dan tingkat banding yang ditangkap oleh KPK.
Kalau lembaga peradilan tertinggi sebagai benteng terakhir pencari keadilan saja sudah mulai rusak, lengkap sudah penderitaan rakyat Indonesia karena harus hidup dengan sistem peradilan yang tidak bisa dipercaya lagi.
Presiden sebagai kepala negara, sesuai dengan kewenangan dan kekuasaan yang dimiliki, seharusnya turun tangan untuk membereskan semua kekacauan di bidang hukum. Kita tidak hanya bicara sistem peradilan yang harus diperbaiki, tapi juga lembaga-lembaga hukum yang lain. Apakah kita sudah memasuki darurat hukum?
Samesto Nitisastro
Depok, Jawa Barat
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo