Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekretaris Institut Dialog Antar Iman (Dian Interfidei), Yogyakarta
Bagaimana harus saya katakan kenyataan yang pahit ini? Dalam sebuah rapat perguruan tinggi, seseorang dengan semangat tinggi bicara tentang sebuah keyakinan. Seperti berdoa, ia berkata, "Ibu-ibu, Bapak-bapak, uang kita sedikit, ruang kelas kita sudah teramat sempit. Tak mungkin kita menampung anak orang lain, ketika anak-anak kita sendiri membutuhkannya. Bagaimana bisa kita mendahulukan anak tetangga dan menelantarkan anak sendiri...?" Ruangan sunyi senyap, peserta rapat bungkam, bersitatap, lalu menebar pandang ke sekitar ruangan seperti melihat setan sedang bertengger di salah satu sudut.
Katakanlah pada akhirnya si pembicara memenangkan argumentasi itu, karena mayoritas peserta rapat sependapat dengan dia. Rapat pun bubar dengan keputusan: mencoret setiap nama yang dianggap bukan "anak-anak kita". Yah, begitulah kira-kira solidaritas sosial yang dibangun atas dasar hierarki kepentingan yang jamak dipraktekkan dalam kehidupan berbangsa di negeri ini.
Jenjangnya kira-kira sebagai berikut. Mula-mula kepentingan pribadi. Si A, si B, atau si C yang berada di puncak piramida, ia harus diutamakan di atas segalanya. Sesudah itu baru kepentingan keluarga, anak-istri, tante, simbah, pakde, dan para keponakan. Jenjang berikut adalah famili besar sesuku, seagama, sedaerah, konco-konco sekepentingan, baru bangsa sendiri, dan bangsa-bangsa lain. Urutan ini semakin baku, tidak bisa diputar balik. Memutar balik, berarti menaruh kaki di atas kepala, kecuali tidak wajar, juga tidak akan bisa jalan.
Kenyataan pahit itu adalah: "kepentingan anak-anak kita" menjadi sebuah appeal moral yang mengalahkan semua argumen. Dosa menelantarkan anak sendiri tak terampuni. Lagi pula agama mengajarkan bahwa anak-anak sendiri adalah titipan Ilahi, dan mereka perlu memperoleh kasih sayang ibu-bapaknya. Nah, lalu bagaimana dengan "anak-anak orang lain"? Peduli amat, perguruan tinggi ini memang tidak didirikan untuk menampung semua anak. Anak-anak itu tanggung jawab orang tua masing-masing. Dan kenapa mereka tidak memikirkan perguruan tinggi untuk anak-anak mereka sendiri?! Begitulah kira-kira gambaran yang terjadi selama Orde Baru: masyarakat disusun atas hierarki dari ego-ego besar serta pengelompokan monolitik, sukuisme, partaiisme, dan lain-lain.
Dunia terus berputar. Hierarki kebenaran disusun terutama berdasarkan kepentingan diri sendiri dan kepentingan keluarga. Konsekuensi dari keyakinan hierarkis ini tampak sangat luas dan mendalam. Yang tersusun bukan hanya praktek pemilihan mahasiswa perguruan tinggi, tetapi merambah ke segala bidang kehidupan. Struktur politik, ekonomi, kemasyarakatan dibangun atas dasar solidaritas eksklusif yang monolitik tersebut.
Kekuasaan dilipatgandakan dan dipakai untuk meneguhkan hierarki kepentingan. Memang, apa salahnya seorang bapak mendahulukan kepentingan dan keinginan anak-anaknya. Kalaupun bapak itu menjabat presiden sebuah republik, bukankah tidak manusiawi kalau ia tidak mencintai anak-anaknya? Nanti dikira menelantarkan, kan tidak enak di belakang hari, bisa dirasani sebagai bapak yang tidak adil terhadap darah daging sendiri.
Solidaritas eksklusif ini akhirnya menciptakan keadaan yang amat pahit. Krisis nasional membuat setiap warga masyarakat terpuruk, korupsi membelit hajat hidup orang banyak. Soalnya, banyak bapak yang mempunyai kerangka berpikir yang sama. Ribuan bahkan jutaan bapak memperebutkan kesempatan untuk "sayang anak". Di pihak lain, batas-batas kebutuhan menjadi kabur. Terlebih lagi kalau anak-anak bergerak di bidang bisnis yang bercampur kekuasaan. Siapa bisa menentukan batas kekayaan dan kekuasaan?
Ketika negeri ini terpuruk hampir tenggelam, dan kemudian melahirkan gerakan reformasi, ditemukan sebuah kenyataan yang lebih pahit: bahwa batas kekayaan adalah kemiskinan. Kekayaan fantastis kelompok-kelompok kaya dibatasi dan dikelilingi oleh lautan kemiskinan yang fantastis pula. Kemiskinan kelompok-kelompok yang kalah dalam perebutan rezeki nasional terus bertumbuh semakin parah dan juga semakin luas. Familiisme dan kelompokisme telah menjelma menjadi gurita yang rakus dan membelit akar-akar kehidupan ekonomi rakyat.
Akan halnya batas kekuasaan adalah kelompok dan warga masyarakat yang menjadi korban kekuasaan. Mereka yang tak berdaya untuk mengatakan "tidak" terhadap penguasa. Mereka yang membisu. Mereka yang tak bisa mengatakan sakit ketika disiksa, mereka yang tak bisa marah ketika tanah mereka dijarah, mereka yang diam ketika anak-bini mereka diperkosa.
Kalau Anda bukan anggota keluarga, bukan warga suku, bukan konco, bukan kelompok separtai, seagama, bukan pula seangkatan, ya, harap maklum. Negeri ini memang tidak memberi tempat kepada Anda. Yang sedang berkuasa dan yang sedang berpunya sekarang ini pun tampaknya belum beranjak dari egoisme, familiisme, dan kelompokisme lama. Tapi, siapa tahu, gerakan reformasi mulai memperkarakan susunan hierarkis sendi-sendi kehidupan kemasyarakatan kita yang rapuh itu. Siapa tahu, di alam reformasi ini kita sedang menapaki jalan ke arah masyarakat yang lebih egaliter, demokratis, pluralistis. Insya Allah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo