Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAH berencana membagikan lahan seluas 9 juta hektare melalui program Reforma Agraria. Jumat dua pekan lalu, Presiden Joko Widodo membagikan lebih dari 10 ribu sertifikat tanah kepada 16 perwakilan penduduk di 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah. "Tahun depan saya targetkan 7 juta sertifikat harus dibagi," kata Jokowi di Alun-alun Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah.
Jokowi meyakini sertifikasi dan pembagian lahan bakal mengurangi kesenjangan ekonomi. Mereka yang mendapatkan lahan nantinya bisa menjaminkan sertifikat untuk pengajuan kredit ke bank. Selanjutnya kredit tersebut bisa digunakan untuk berproduksi. Sayangnya, dari 126 juta bidang tanah di negeri ini, baru 46 juta yang bersertifikat. Presiden meminta Badan Pertanahan Nasional mempercepat proses sertifikasi tersebut.
Bagi-bagi lahan seperti dilakukan Jokowi bukan hal baru. Majalah Tempo edisi 27 September 1980 dalam tulisan bertajuk "Tanah untuk Wagiman" melaporkan pembagian serupa. Pengalokasian tersebut terkait dengan peringatan 20 tahun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria.
Di Desa Kedawung Kulon dan Kedawung Wetan, Kecamatan Grati, Pasuruan, Jawa Timur, Wagiman bersama 928 petani lain mendapat tanah masing-masing seperempat hektare. Bagi Wagiman, pembagian tersebut membuat dia bisa bercocok tanam di tanah miliknya sendiri. Sepanjang umurnya yang kala itu 50 tahun, Wagiman menggarap tanah orang lain. Bertani sejak pukul 10 pagi hingga matahari terbenam, dia hanya mendapat upah Rp 300. Padahal anaknya delapan orang.
Banyak warganya tak punya sawah, Carik Desa Kedawung Kulon, Soewoto, sempat bergurau saat pembagian tanah. "Di sini ABRI dan listrik masuk desa, tapi sawah masih belum," ujarnya. Kedawung Kulon berpenduduk 460 keluarga dengan 60 persen di antaranya buruh tani. Desa itu dan Kedawung Wetan terletak di area perkebunan gula bekas N.V. Kedawung-Kawisrejo milik keluarga Gerrit Lebret, yang meninggal 84 tahun sebelumnya.
Pekan itu, ribuan petani Sidoarjo, Jawa Timur, juga berharap mendapat surat keputusan memiliki tanah gogolan, yaitu tanah yang dikuasai penduduk asli suatu desa secara komunal. Di sana tanah adat milik desa meliputi 26 ribu hektare dan digarap turun-temurun oleh 46 ribu keluarga. "Sebagian surat keputusannya sudah selesai, tinggal tanah untuk 3.629 keluarga," ucap Bupati Suewadji.
Pembagian tanah di Jawa Timur itu tampaknya bakal diikuti provinsi lain. Seperti kata Direktur Jenderal Agraria Daryono, SH, "Land reformakan terus dilaksanakan." Daryono membantah jika pemerintah dinilai baru memperhatikan kembali Undang-Undang Pokok Agraria menjelang 20 tahun aturan tersebut.
Dua tahun sebelumnya, menurut dia, Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan perlunya penataan kembali penguasaan penggunaan dan pemilikan tanah. Menurut Daryono, program land reform tak hanya membagi tanah. "Transmigrasi juga termasuk usaha melaksanakan land reform."
Direktorat Jenderal Agraria saat itu juga gencar mencatat kasus sengketa tanah yang dimulai tahun sebelumnya. Di antara semua provinsi, Jawa Barat di urutan teratas dengan 15 kasus, disusul Sumatera Utara dengan 11 kasus. Sumber pengumpulan kasus itu, selain dari petugas agraria dan operasi tertib, langsung dari perorangan atau kelompok masyarakat yang bersengketa.
Nyatanya, banyak tanah milik pemerintah juga belum bersertifikat. Di Jakarta, misalnya, tanah bangunan gedung balai kota dan kantor wali kota di lima wilayah. Menurut Kepala Kantor Agraria DKI Soeroso, sertifikatnya disampaikan 24 September tahun itu. Daryono sendiri segera menyampaikan sertifikat untuk tanah-tanah Departemen Dalam Negeri, Masjid Istiqlal, Taman Makam Pahlawan Kalibata, Gedung Proklamasi, dan Istana Presiden.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo