Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pesawat Hercules C-130B terjatuh di permukiman Jalan Jamin Ginting, Medan, pada Selasa pekan lalu. Kecelakaan pesawat milik TNI Angkatan Udara itu menelan korban jiwa tak hanya dari anggota TNI, tapi juga masyarakat sipil. Pesawat itu diduga jatuh karena menabrak antena radio yang berjarak 3.200 meter dari landasan pacu.
Tragedi kecelakaan pesawat Hercules ini bukan yang pertama. Majalah Tempo edisi 12 Oktober 1991 pernah mengulasnya. Ketika itu, pesawat milik Skuadron 31 Angkatan Udara terempas, lalu terbakar habis, setelah menabrak gedung Balai Latihan Kerja di Condet, Jakarta Timur. Sebanyak 135 orang meninggal dalam kejadian yang bertepatan dengan hari ABRI pada Sabtu, 5 Oktober, itu.
Hercules itu bertolak dari Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, dengan tujuan Bandung, menyusul dua pesawat sejenis yang telah lepas landas. Misinya mengantar pulang empat peleton Pasukan Khas dari Skuadron 461 dan 462, yang bermarkas di Margahayu, Bandung. Pasukan ini?usai memperagakan kolone senapan pada upacara hari ulang tahun ke-46 ABRI?di Lapangan Parkir Timur Senayan, Jakarta.
Jenazah para prajurit itu dimakamkan secara massal pada satu kubur berukuran 25 x 25 meter, sedalam 2 meter, di Taman Makam?Bahagia, Pondok Aren, Ciledug, Tangerang. Peti-peti jenazah diatur dalam posisi?berjajar, lalu diuruk oleh "pasukan cangkul" yang dibantu dua?buldoser. Kepala Staf TNI AU Marsekal Madya Siboen menganggap cara ini yang paling pas. "Karena tak membeda-bedakan satu dengan yang lain," katanya seusai pemakaman.
Upacara pemakaman para prajurit TNI AU itu mendapat perhatian luas dari jajaran militer. Panglima ABRI Jenderal Try Sutrisno, Menteri Pertahanan L.B. Moerdani, Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Madya Arifin, Kepala Kepolisian RI Letnan Jenderal Kunarto, dan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat Letnan Jenderal Sahala Rajagukguk muncul di antara pelayat. Satuan-satuan Kopassus, Marinir, Brimob, dan Kostrad ikut pula memberikan penghormatan. Bagi Siboen, perlakuan ini istimewa. "Sebab, korbannya paling tinggi mayor," ujarnya. Ucapan belasungkawa pun berdatangan, termasuk dari Presiden Soeharto.
Letnan Kolonel Pnb Prasetya, Komandan Skuadron 31 Halim, menduga musibah ini gara-gara kerusakan mesin. Kemungkinan adanya sabotase, menurut seorang perwira penerbang di Skuadron 31, bisa dikesampingkan. Alasannya, tak mudah bagi pengacau menggerayangi pesawat TNI AU. Penjagaannya ketat.
Cuaca cerah dan angin semilir terlalu bagus untuk menimbulkan problem lepas landas. Medan di sekitar Halim pun ringan. Apalagi Pilot Mayor Syamsul Aminullah, 35 tahun, dan Kopilot Kapten Bambang Soegeng, 35 tahun, terhitung penerbang cakap dengan pengalaman ribuan jam. "Sulit mempercayai mereka sembrono," katanya.
Saksi mata di BLK Condet pun sepertinya memastikan mesin Hercules itu tidak beres. Dia tidak mendengar raungan mesin, seperti lazimnya pesawat yang terbang rendah. "Tahu-tahu ada bunyi bruk. Seperti gempa bumi," kata Budiyanto, anggota staf di BLK Condet. Sekejap kemudian, terdengar suara ledakan keras.
Armada Hercules ini mulai masuk ke jajaran TNI AU pada 1961. Kini Angkatan Udara mengoperasikan Hercules lewat dua skuadron, dari dua generasi, tipe C-130B buatan 1960 dan C-130H buatan 1980-an. Hercules tua disimpan di Pangkalan Udara Abdulrachman Saleh, Malang, berbendera Skuadron 32. Yang muda, buatan 1980, dikandangkan di Halim Perdanakusuma, dan diberi bendera Skuadron 31.
Bagi TNI AU, musibah Hercules ini yang ketiga kalinya. Yang pertama terjadi di perairan Kalimantan, ketika pesawat itu melakukan tugas pengintaian dalam Operasi Dwikora, hampir 30 tahun lalu. Ketika itu, sang Hercules terbang malam hari, rendah, di dekat permukaan laut, untuk menghindari radar lawan. Musibah kedua terjadi di Gunung Sibayak, Sumatera Utara, pada 1985. Ketika itu, pesawat Hercules tersebut sedang menjalani penerbangan latihan patroli laut. Semua awak pesawat, berjumlah sepuluh orang, gugur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo