Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Jinak-jinak anak merpati, enak juga jinak-jinak anak merpati, enak juga

Penjual bayi merpati (piyik) memasok ke restoran & mencari ke desa-desa untuk dikumpulkan. khasiatnya untuk bengek katanya.

22 Maret 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIAP tengah malam Marullah harus bangun dari tidurnya. Di rumahnya di Rawamangun, Jakarta, pada jam-jam tidur seperti itu, ia terbongkok-bongkok menuju dapur. Sambil sesekali menggosok-gosok matanya yang masih berat, tangannya mulai menyuapi anak-anak burung dara satu per satu dengan biji jagung rebus yang sudah dibelah-belah. Apabila puluhan, bahkan ratusan burung itu sudah kenyang, merekapun tidur lagi. Dan Marullah pun kembali tidur. Tapi pagi-pagi Marullah (30 tahun) dengan sepedanya sudah ada di tengah kesibukan lalu-lintas Jakarta. Kotak papan berisi anak-anak merpati terikat erat di bagase sepedanya, dua atau tiga susun. Di depan restoran langganannya yang belum membuka pintu untuk para pengunjung, Marullah menurunkan kotak-kotak tadi. Si pemilik restoran tinggal menghitung: bayi merpati yang berusia seminggu dihargai Rp 400 seekor, berumur sekitar 2 minggu Rp 500 dan yang sudah 1 bulan Rp 600. Tapi lebih dari usia 1 bulan ditolak oleh pemilik restoran. Marullah pun tinggal mengangguk, seperti halnya ia menyetujui begitu saja. harga yang sydah ditentukan pembelinya. "Keuntungan saya tiap ekor paling banyak Rp 100," tutur Marullah yang berkecimpung dalam bisnis anak merpati sejak 1964. Laki-laki yang mengaku "Betawi asli" itu, adalah seorang di antara sekitar 30 orang penjual bayi merpati kepada restoran-restoran besar dl Jakarta. Orang Sunda menyebut anak burung itu pi'it. Di Jawa Tengah dinamakan piyik. Tapi sama saja, pi'it Sunda maupun piyik Ja-Teng adalah bayi-bayi merpati yang disenangi pengunjung restoran-restoran di Jakarta atau kota-kota besar lainnya. Tidak seorang tahu pasti apa khasiatnya obat kuat "Uuh . . .," ucap Marullah sambil tersenyum. Tetapi, kata pemilik Restoran Paramount di Jalan Gondangdia, Jakarta -- salah satu pembeli tetap burung-burung Marullah -- penggemar masakan anak burung itu umumnya lebih menyukai otaknya. "Mungkin supaya pintar," ujar pemilik restoran yang tak mau disebut namanya itu," sebab merp'ti dikenal sebagai salah satu hewan yang memiliki ingatan kuat." Tapi menyantap bayi-bayi burung dengan berbagai macam masakan, tentu lebih nikmat dibanding mencarinya. Di Jakarta sendiri tidak ada peternak yang khusus menghasilkan anak-anak merpati untuk dijual. "Kita harus membelinya pada pedagang yang membawanya dari luar Jakarta," kata Marullah. Ia menyebut antara lain Pamanukan. Jatibarang dan bahkan Jawa Tengah sebagai daerah yang dikenal banyak menghasilkan anak merpati. "Tapi yang dari Jawa Tengah sering ditolak restoran, karena umumnya sudah tua," tambah anak Betawi itu. Yang didagangkan Marullah sendiri adalah yang berasal dari Pamanukan atau Jatibarang, keduanya di Jawa Barat. Marullah membeli burung-burung itu pada pedagang-pedagang dari luar Jakarta yang biasa berpangkalan di Pulo Gadung dengan harga rata-rata Rp 100 lebih rendah dari harga penjualannya di restoran-restoran tadi. Dan karena burung-burung itu belum dapat menyuap makanan sendiri, maka urusan selanjutnya cukup ruwet. Sewaktu-waktu Marullah harus menyuapi bayi-bayi tadi, satu per satu, sekaligus memberi mereka minum melalui botol plastik bekas tempat air aki. Tengah malampun ia harus bangun untuk menyuapi hewan dagangannya. Sebab sedikit lalai, bayi-bayi itu bisa mati. "Kalau mati 2 atau 3 ekor saja, sudah berapa keuntungan saya hilang," ucap Marullah. Menyaru Dulu Marullah lebih repot lagi. Sebab waktu itu masih ratusan bayi burung yang harus diurusnya sebelum sampai di restoran yang membelinya. Tapi beberapa bulan terakhir ini makin banyak pedagang seperti Marullah muncul, sehingga ia hanya kebagian membeli sekitar 75 ekor. "Paling banyak 100 ekor," katanya, "tapi lebih dari jumlah itu juga susah menjualnya, sebab restoran langganan saya juga telah membeli dari pedagang lain." Dulu juga ia tak sampai begitu repot. Sebab pedagang-pedagang dari luar Jakarta itu sampai di Pulo Gadung pagi-pagi benar, sehingga Marullah dapat langsung mengantarkannya ke pembelinya. Dan ia tak perlu merawat mereka lagi. "Tapi entah mengapa akhir-akhir ini burung-burung itu selalu sampai di Pulo Gadung siang hari," cerita Marullah. Pasaran bayi merpati ramai biasanya menjelang tahun baru. Artinya restoranrestoran membeli dalam jumlah lebih banyak dari biasanya. Dan harga yang diterima Marullah atau penjual-pcnjualnya naik sekitar 25% dari biasanya. Sadar bahwa pada saat menjelang pergantian tahun serupa itu bayi merpati banyak dibutuhkan, para penjual sering menyaru merpati dewasa dengan jalan mencabuti bulu-bulunya sehingga kelihatan seperti masih bayi. "Kalau belum biasa, susah membedakan mana yang masih bayi dan sudah dewasa," kata pemilik Restoran Paramount. Rumah makan ini setiap hari rata-rata menjual 100 ekor anak merpati goreng dengan harga antara Rp 2.500 sampai Rp 3.000 tiap porsi. Tapi tiap hari pula restoran ini menyimpan ratusan anak burung yang telah dipotong dalam lemari esnya. Pengalaman Sigit mengumpulkan anak-anak merpati dari pemeliharanya ternyata jauh lebih sulit. Pemuda yang lahir dan tinggal di Pamanukan (Kabupaten Subang, Ja-Bar) ini sejak 2 tahun lalu tiap 3 hari sekali muncul di Jakarta membawa sekitar 400 ekor anak merpati. Ia menjual burung-burung itu langsung ke restoran-restoran langganannya. Tapi untuk mengumpulkan jumlah burung sebanyak itu Sigit tidak sendiri. Ia menggunakan 3 orang anak buah yang setiap hari menyusuri desa-desa di kawasan Kecamatan Pamanukan dan tetangganya Kecamatan Binong. Tetapi di daerah inipun ternyata tidak ada peternak yang khusus menghasilkan merpati gundul alias pi'it. Sebab itu, baik Sigit maupun ketiga anak buahnya harus mengumpulkan burung-burung itu dari rumah ke rumah yang kebetulan memelihara merpati. Terkadang dari satu desa hanya ditemukan seekor, tapi tak jarang juga dari satu rumah dapat diborong 20 ekor. Sigit meminjami anak buahnya masing-masing satu sepeda, khusus untuk mencari burung dagangan tadi sampai di desa-desa pelosok. Di desa-desa, kaki tangan Sigit membeli antara Rp 150 sampai Rp 200 seekor pi'it. Sigit menerima dari ke-3-nya dengan harga rata-rata 2 kali lipat dari pembelian. Dan menjualnya di restoran-restoran langganannya di Jakarta rata-rata Rp 500 seekor. Burung dara umumnya 2 bulan sekali bertelur. Tapi di musim hujan, telur-telur itu lambat menetas, sehingga pi'it sulit didapat. Padahal justru di musim begitu para penggemar masakan burung dara mengincer restoran-restoran yang biasa menjualnya. Sebaliknya telur burung dara cepat menetas di musim panas. Namun pada musim begini penggemarnya enggan memakannya karena menurut Sigit daging anak burung dara panas. Karena itu, kata Sigit lagi, daging burung ini dapat juga menyembuhkan sakit bengek. Di daerah Pamanukan sendiri, anak merpati tak dimakan orang. "Karena merasa geli dan jijik," tutur Sigit. Rumah makan Favorit di Pamanukan memang mencantumkan anak burung dara goreng saus dalam daftar menunya. "Tapi yang memesan hanya orang-orang Jakarta yang singgah di sini," kata pemilik rumah makan itu. Di sini seporsi pi'it goreng berharga Rp 1.350.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus