TIAP tengah malam Marullah harus bangun dari tidurnya. Di
rumahnya di Rawamangun, Jakarta, pada jam-jam tidur seperti itu,
ia terbongkok-bongkok menuju dapur. Sambil sesekali
menggosok-gosok matanya yang masih berat, tangannya mulai
menyuapi anak-anak burung dara satu per satu dengan biji jagung
rebus yang sudah dibelah-belah. Apabila puluhan, bahkan ratusan
burung itu sudah kenyang, merekapun tidur lagi. Dan Marullah pun
kembali tidur.
Tapi pagi-pagi Marullah (30 tahun) dengan sepedanya sudah ada di
tengah kesibukan lalu-lintas Jakarta. Kotak papan berisi
anak-anak merpati terikat erat di bagase sepedanya, dua atau
tiga susun. Di depan restoran langganannya yang belum membuka
pintu untuk para pengunjung, Marullah menurunkan kotak-kotak
tadi. Si pemilik restoran tinggal menghitung: bayi merpati yang
berusia seminggu dihargai Rp 400 seekor, berumur sekitar 2
minggu Rp 500 dan yang sudah 1 bulan Rp 600. Tapi lebih dari
usia 1 bulan ditolak oleh pemilik restoran. Marullah pun tinggal
mengangguk, seperti halnya ia menyetujui begitu saja. harga yang
sydah ditentukan pembelinya. "Keuntungan saya tiap ekor paling
banyak Rp 100," tutur Marullah yang berkecimpung dalam bisnis
anak merpati sejak 1964.
Laki-laki yang mengaku "Betawi asli" itu, adalah seorang di
antara sekitar 30 orang penjual bayi merpati kepada
restoran-restoran besar dl Jakarta. Orang Sunda menyebut anak
burung itu pi'it. Di Jawa Tengah dinamakan piyik. Tapi sama
saja, pi'it Sunda maupun piyik Ja-Teng adalah bayi-bayi merpati
yang disenangi pengunjung restoran-restoran di Jakarta atau
kota-kota besar lainnya. Tidak seorang tahu pasti apa khasiatnya
obat kuat "Uuh . . .," ucap Marullah sambil tersenyum. Tetapi,
kata pemilik Restoran Paramount di Jalan Gondangdia, Jakarta --
salah satu pembeli tetap burung-burung Marullah -- penggemar
masakan anak burung itu umumnya lebih menyukai otaknya. "Mungkin
supaya pintar," ujar pemilik restoran yang tak mau disebut
namanya itu," sebab merp'ti dikenal sebagai salah satu hewan
yang memiliki ingatan kuat."
Tapi menyantap bayi-bayi burung dengan berbagai macam masakan,
tentu lebih nikmat dibanding mencarinya. Di Jakarta sendiri
tidak ada peternak yang khusus menghasilkan anak-anak merpati
untuk dijual. "Kita harus membelinya pada pedagang yang
membawanya dari luar Jakarta," kata Marullah. Ia menyebut antara
lain Pamanukan. Jatibarang dan bahkan Jawa Tengah sebagai daerah
yang dikenal banyak menghasilkan anak merpati. "Tapi yang dari
Jawa Tengah sering ditolak restoran, karena umumnya sudah tua,"
tambah anak Betawi itu. Yang didagangkan Marullah sendiri adalah
yang berasal dari Pamanukan atau Jatibarang, keduanya di Jawa
Barat.
Marullah membeli burung-burung itu pada pedagang-pedagang dari
luar Jakarta yang biasa berpangkalan di Pulo Gadung dengan harga
rata-rata Rp 100 lebih rendah dari harga penjualannya di
restoran-restoran tadi. Dan karena burung-burung itu belum dapat
menyuap makanan sendiri, maka urusan selanjutnya cukup ruwet.
Sewaktu-waktu Marullah harus menyuapi bayi-bayi tadi, satu per
satu, sekaligus memberi mereka minum melalui botol plastik bekas
tempat air aki. Tengah malampun ia harus bangun untuk menyuapi
hewan dagangannya. Sebab sedikit lalai, bayi-bayi itu bisa mati.
"Kalau mati 2 atau 3 ekor saja, sudah berapa keuntungan saya
hilang," ucap Marullah.
Menyaru
Dulu Marullah lebih repot lagi. Sebab waktu itu masih ratusan
bayi burung yang harus diurusnya sebelum sampai di restoran yang
membelinya. Tapi beberapa bulan terakhir ini makin banyak
pedagang seperti Marullah muncul, sehingga ia hanya kebagian
membeli sekitar 75 ekor. "Paling banyak 100 ekor," katanya,
"tapi lebih dari jumlah itu juga susah menjualnya, sebab
restoran langganan saya juga telah membeli dari pedagang lain."
Dulu juga ia tak sampai begitu repot. Sebab pedagang-pedagang
dari luar Jakarta itu sampai di Pulo Gadung pagi-pagi benar,
sehingga Marullah dapat langsung mengantarkannya ke pembelinya.
Dan ia tak perlu merawat mereka lagi. "Tapi entah mengapa
akhir-akhir ini burung-burung itu selalu sampai di Pulo Gadung
siang hari," cerita Marullah.
Pasaran bayi merpati ramai biasanya menjelang tahun baru.
Artinya restoranrestoran membeli dalam jumlah lebih banyak dari
biasanya. Dan harga yang diterima Marullah atau
penjual-pcnjualnya naik sekitar 25% dari biasanya. Sadar bahwa
pada saat menjelang pergantian tahun serupa itu bayi merpati
banyak dibutuhkan, para penjual sering menyaru merpati dewasa
dengan jalan mencabuti bulu-bulunya sehingga kelihatan seperti
masih bayi. "Kalau belum biasa, susah membedakan mana yang masih
bayi dan sudah dewasa," kata pemilik Restoran Paramount. Rumah
makan ini setiap hari rata-rata menjual 100 ekor anak merpati
goreng dengan harga antara Rp 2.500 sampai Rp 3.000 tiap porsi.
Tapi tiap hari pula restoran ini menyimpan ratusan anak burung
yang telah dipotong dalam lemari esnya.
Pengalaman Sigit mengumpulkan anak-anak merpati dari
pemeliharanya ternyata jauh lebih sulit. Pemuda yang lahir dan
tinggal di Pamanukan (Kabupaten Subang, Ja-Bar) ini sejak 2
tahun lalu tiap 3 hari sekali muncul di Jakarta membawa sekitar
400 ekor anak merpati. Ia menjual burung-burung itu langsung ke
restoran-restoran langganannya. Tapi untuk mengumpulkan jumlah
burung sebanyak itu Sigit tidak sendiri. Ia menggunakan 3 orang
anak buah yang setiap hari menyusuri desa-desa di kawasan
Kecamatan Pamanukan dan tetangganya Kecamatan Binong.
Tetapi di daerah inipun ternyata tidak ada peternak yang khusus
menghasilkan merpati gundul alias pi'it. Sebab itu, baik Sigit
maupun ketiga anak buahnya harus mengumpulkan burung-burung itu
dari rumah ke rumah yang kebetulan memelihara merpati. Terkadang
dari satu desa hanya ditemukan seekor, tapi tak jarang juga dari
satu rumah dapat diborong 20 ekor. Sigit meminjami anak buahnya
masing-masing satu sepeda, khusus untuk mencari burung dagangan
tadi sampai di desa-desa pelosok.
Di desa-desa, kaki tangan Sigit membeli antara Rp 150 sampai Rp
200 seekor pi'it. Sigit menerima dari ke-3-nya dengan harga
rata-rata 2 kali lipat dari pembelian. Dan menjualnya di
restoran-restoran langganannya di Jakarta rata-rata Rp 500
seekor.
Burung dara umumnya 2 bulan sekali bertelur. Tapi di musim
hujan, telur-telur itu lambat menetas, sehingga pi'it sulit
didapat. Padahal justru di musim begitu para penggemar masakan
burung dara mengincer restoran-restoran yang biasa menjualnya.
Sebaliknya telur burung dara cepat menetas di musim panas. Namun
pada musim begini penggemarnya enggan memakannya karena menurut
Sigit daging anak burung dara panas. Karena itu, kata Sigit
lagi, daging burung ini dapat juga menyembuhkan sakit bengek.
Di daerah Pamanukan sendiri, anak merpati tak dimakan orang.
"Karena merasa geli dan jijik," tutur Sigit. Rumah makan Favorit
di Pamanukan memang mencantumkan anak burung dara goreng saus
dalam daftar menunya. "Tapi yang memesan hanya orang-orang
Jakarta yang singgah di sini," kata pemilik rumah makan itu. Di
sini seporsi pi'it goreng berharga Rp 1.350.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini