Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Orang yogya tentang petuah shang yang

Harian merdeka memuat karya moh tolchah mansoer, rakyat-kekuasaan pemerintah, pada th 1947. jika pemerintah mau bertahan lama, harus berusaha agar rakyat selalu lemah. kata-kata mutiara shang yang.

22 Maret 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TUBUHNYA sedang-sedang saja. Waktu pertama kali bertemu di Malang tahun 1954, saya kira orang Madras. Umur 50-an, baik dari jarak 1 meter maupun 10 meter, potongannya jelas-jelas kiai. Anti mode, musuh bebuyutan almarhum Rahadian Yamin. Alim dalam arti makna yang sesungguh-sungguhnya, punya kegemaran naik bis ke mana pergi atau naik kereta api yang tidak kebagian tempat duduk. Pernah jadi BPH Daerah Istimewa Yogyakarta berhimpit bahu dengan Sri Pakualam, tapi jabatan itu lebih banyak mengundang rasa geli daripada rasa angker. Namanya Moh. Tolchah Mansoer, sekarang dosen IAIN Sunan Kalijaga. Khusus buat pembaca yang gemar gelar, lelaki lugu ini bergelar SH dan DR dalam ilmu ketatanegaraan, keduanya dari Gajah Mada. Minggu lalu, ketika menjemur buku takut dimakan rayap -- mulai buku The South and East Africa terbitan 1935 hingga The Army and Politics in Indonesia terbitan 1978 dan yang paling mutakhir Militant Islamnya Yansens terbitan 1979 dalam bentuk fotokopi kiriman teman "seperguruan" Prof. Dr. Ismail Sunny MCL -- terambat mata saya ke buku tipis 18 halaman terbitan 1973. Ditilik dari lahirnya, buku itu seperti terbitan percetakan harian Merdeka jalan Coyudan Sala tahun 1947, tapi judulnya mendirikan bulu tengkuk: Rakyat -- Kekuasaan Pemerintah, karangan Dr. Moh. Tolchah Mansoer SH. Melihat tahun terbitannya sudah mafhumlah saya bahwa buku itu bukanlah referensi penataran, apalagi buku mini itu dibuka dengan bait kata-kata mutiara dari Shang Yang negarawan Tiongkok 4 abad sebelum Masehi: "Jika rakyat lemah pastilah pemerintah kuat. Dan jika rakyat kuat, pastilah pemerintah lemah. Karena itu pemerintah suatu negara, jika mau lama bertahan di atas tahta mesti berusaha keras bagaimana akal supaya rakyat senantiasa dalam keadaan lemah. Dan jika pemerintahan negara sudah terlanjur kuat, satu-satunya upaya yang mesti jadi pemikirarmya adalah bagaimana membikin rakyat lemah, makin lemah, sampai tak sanggup tegak berdiri seperti kehabisan sumsum." Begajul juga Tionghoa satu ini, pikirku. Setan mana yang jadi sponsornya sehingga dia bisa membikin rumusan yang begitu gila? Krannenburg bilang Shang Yang itu Macchiavellinya timur, oleh satu dan lain sebab yang belum pasti, memiliki persamaan dasar. Kalau tidak karena pertalian famili, atau tidak karena satu sekolahan, atau bukan partner dalam satu perseroan terbatas impor rempah-rempah, pastilah sama sponsor. Bukankah pemerintah itu jauh sebelum ada kapal uang sudah punya pengalaman dalam hal sponsor-sponsoran sepanjang menyangkut kepentingan hidupnya? Petuah Shang Yang -- walau saya bukan pegawai negeri -- saya baca terus sambil menggigil. Sesudah proses melemahkan rakyat mulai berjalan, lakukanlah langkah-langkah yang sistematik. Bikin bodoh mereka, bikin mereka mati kemauan sehingga tidak rewel dan berisik dengan rupa-rupa keluhan dan tuntutan yang bisa mengganggu tidur. Tapi, sedikit-sedikit ala kadarnya perlu juga dihibur, karena hiburan itu bukanlah semata-mata karena dorongan sayang dan membikin mereka terbahak-bahak, melainkan supaya pikirannya dibelokkan dan tidak ngelantur. Tradisinya harus dihancurkan, sejarah dan kenangan masa lampaunya harus disapu bersih, pengertian moral dan immoral harus dikacaubalaukan supaya bingung dan terbalik sungsang. Sesudah itu? Sesudah itu -- kata Shang Yang -- baru buat nilai-nilai baru tak ubahnya seperti kita buat kue talam dan jejalkan ke tenggorokan mereka. Baru bukan sekedar baru, melainkan nilai-nilai baru yang sesuai dengan arah kemauan penguasa. Kalau misalnya mereka ogah-ogahan, maklum manusia itu bukan anjing, itupun tidak perlu jadi pikiran benar. Berikan mereka hadiah-hadiah ala kadarnya, manik-manik atau liontin batu giok, atau boleh juga sedikit gelar-gelar supaya lubang hidung mereka jadi mekar dan lebih gampang mencucuknya dan melluntun ke mana pergi. Bukankah begitu terjadi pada kerbau? Buku tipis Tolchah Mansoer itu ternyata tidak dimakan rayap. Rupanya rayap zaman sekarang sudah tambah pengalaman, tahu mana yang mesti digerogot dan mana yang tidak. Tampaknya mereka sudah punya dugaan suatu waktu buku ini perlu dibaca lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus