TUBUHNYA sedang-sedang saja. Waktu pertama kali bertemu di
Malang tahun 1954, saya kira orang Madras. Umur 50-an, baik dari
jarak 1 meter maupun 10 meter, potongannya jelas-jelas kiai.
Anti mode, musuh bebuyutan almarhum Rahadian Yamin. Alim dalam
arti makna yang sesungguh-sungguhnya, punya kegemaran naik bis
ke mana pergi atau naik kereta api yang tidak kebagian tempat
duduk. Pernah jadi BPH Daerah Istimewa Yogyakarta berhimpit bahu
dengan Sri Pakualam, tapi jabatan itu lebih banyak mengundang
rasa geli daripada rasa angker.
Namanya Moh. Tolchah Mansoer, sekarang dosen IAIN Sunan
Kalijaga. Khusus buat pembaca yang gemar gelar, lelaki lugu ini
bergelar SH dan DR dalam ilmu ketatanegaraan, keduanya dari
Gajah Mada.
Minggu lalu, ketika menjemur buku takut dimakan rayap -- mulai
buku The South and East Africa terbitan 1935 hingga The Army and
Politics in Indonesia terbitan 1978 dan yang paling mutakhir
Militant Islamnya Yansens terbitan 1979 dalam bentuk fotokopi
kiriman teman "seperguruan" Prof. Dr. Ismail Sunny MCL --
terambat mata saya ke buku tipis 18 halaman terbitan 1973.
Ditilik dari lahirnya, buku itu seperti terbitan percetakan
harian Merdeka jalan Coyudan Sala tahun 1947, tapi judulnya
mendirikan bulu tengkuk: Rakyat -- Kekuasaan Pemerintah,
karangan Dr. Moh. Tolchah Mansoer SH.
Melihat tahun terbitannya sudah mafhumlah saya bahwa buku itu
bukanlah referensi penataran, apalagi buku mini itu dibuka
dengan bait kata-kata mutiara dari Shang Yang negarawan Tiongkok
4 abad sebelum Masehi: "Jika rakyat lemah pastilah pemerintah
kuat. Dan jika rakyat kuat, pastilah pemerintah lemah. Karena
itu pemerintah suatu negara, jika mau lama bertahan di atas
tahta mesti berusaha keras bagaimana akal supaya rakyat
senantiasa dalam keadaan lemah. Dan jika pemerintahan negara
sudah terlanjur kuat, satu-satunya upaya yang mesti jadi
pemikirarmya adalah bagaimana membikin rakyat lemah, makin
lemah, sampai tak sanggup tegak berdiri seperti kehabisan
sumsum."
Begajul juga Tionghoa satu ini, pikirku. Setan mana yang jadi
sponsornya sehingga dia bisa membikin rumusan yang begitu gila?
Krannenburg bilang Shang Yang itu Macchiavellinya timur, oleh
satu dan lain sebab yang belum pasti, memiliki persamaan dasar.
Kalau tidak karena pertalian famili, atau tidak karena satu
sekolahan, atau bukan partner dalam satu perseroan terbatas
impor rempah-rempah, pastilah sama sponsor. Bukankah
pemerintah itu jauh sebelum ada kapal uang sudah punya
pengalaman dalam hal sponsor-sponsoran sepanjang menyangkut
kepentingan hidupnya?
Petuah Shang Yang -- walau saya bukan pegawai negeri -- saya
baca terus sambil menggigil. Sesudah proses melemahkan rakyat
mulai berjalan, lakukanlah langkah-langkah yang sistematik.
Bikin bodoh mereka, bikin mereka mati kemauan sehingga tidak
rewel dan berisik dengan rupa-rupa keluhan dan tuntutan yang
bisa mengganggu tidur. Tapi, sedikit-sedikit ala kadarnya perlu
juga dihibur, karena hiburan itu bukanlah semata-mata karena
dorongan sayang dan membikin mereka terbahak-bahak, melainkan
supaya pikirannya dibelokkan dan tidak ngelantur. Tradisinya
harus dihancurkan, sejarah dan kenangan masa lampaunya harus
disapu bersih, pengertian moral dan immoral harus
dikacaubalaukan supaya bingung dan terbalik sungsang.
Sesudah itu? Sesudah itu -- kata Shang Yang -- baru buat
nilai-nilai baru tak ubahnya seperti kita buat kue talam dan
jejalkan ke tenggorokan mereka. Baru bukan sekedar baru,
melainkan nilai-nilai baru yang sesuai dengan arah kemauan
penguasa. Kalau misalnya mereka ogah-ogahan, maklum manusia itu
bukan anjing, itupun tidak perlu jadi pikiran benar. Berikan
mereka hadiah-hadiah ala kadarnya, manik-manik atau liontin batu
giok, atau boleh juga sedikit gelar-gelar supaya lubang hidung
mereka jadi mekar dan lebih gampang mencucuknya dan melluntun ke
mana pergi. Bukankah begitu terjadi pada kerbau?
Buku tipis Tolchah Mansoer itu ternyata tidak dimakan rayap.
Rupanya rayap zaman sekarang sudah tambah pengalaman, tahu mana
yang mesti digerogot dan mana yang tidak. Tampaknya mereka sudah
punya dugaan suatu waktu buku ini perlu dibaca lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini