OLEH kalangan Manado yang sebaya ia dipanggil "Bung Gus". Gustaf
Hendrik Mantik kini mungkin akan terkenal dengan nama itu. Dalam
rapat kerja para gubernur dan bupati/walikotamadya di Balai
Sidang Senayan Jakarta pekan lalu, ia buat pertama kalinya
muncul sebagai pejabat sipil. Pakaiannya seragam safari,
meskipun rambutnya tetap dipotong pendek militer -- dengan uban
di sana-sini.
Dalam forum itu kedudukan Mantik unik. Ia boleh disebut "si
bungsu," karena baru saja dilantik sebagai Gubernur/KDH
Sulawesi Utara, 3 Maret. Tapi di antara para gubernur asal ABRI
dari Sulawesi Utara, dialah satu-satunya yang pangkat militernya
tertinggi letnan jenderal. Dia bekas Pangkowilhan
I/Sumatera-Kalimantan Barat.
Tegap tinggi (170 cm, berat 70 kg), dalam usia 52 tahun, ia
mengesankan wibawa yang muncul wajar.
Di rumahnya yang besar berpekarangan luas dan sejuk, Jalan
Mangunsarkoro Jakarta, suatu sore pekan lalu TEMPO hari setelah
dilantik sebagai Gubernur Sul-Ut -- Mantik menerima wartawan
TEMPO. Petikan interpiunya:
Sebelumnya Anda pernah menolak "diarahkan" sebagai gubernur dan
sekarang menerima. Apa yang menarik dari kedudukan baru ini?
Ketika masih berbintang satu, kemudian dua, saya memang masih
ingin mencapai karir militer tertinggi. Ketika Pak Lasut
dicalonkan sebagai Gubernur Sul-Ut, Pak Amirmachmud juga minta
agar saya bersedia dicalonkan bersama-sama. Tapi ketika itu saya
minta, kalau boleh, untuk tetap diizinkan mengabdi di bidang
hankam.
Mungkin banyak orang menyayangkan. Sebagai pangkowilhan saya
memegang komando operasional tertinggi di bawah Menteri
Hankam/Pangab. Daerah yang saya tangani sangat strategis
penghasil devisa terbesar pula, meliputi 9 provinsi, 6 kodak, 5
kodam, 2 daeral, 1 kodam dengan penduduk 25-30 juta.
Sekarang sebagai gubernur sebuah provinsi dengan 4 kabupaten, 2
kotamadya dan 1 kota administratif berpenduduk cuma sekitar 2
juta. Dibanding dengan Sumatera Utara saja, Sul-Ut itu kecil.
Tapi membanding-bandingkan begitu kan tidak kena.
Lagi pula tugas pokok sebagai gubernur meliputi semua bidang
kehidupan -- bukan hankam saja jadi saya tidak merasa
dirugikan. Masyarakat Sul-Ut ingin maju, lalu memilih saya,
sementara pemerintah pusat juga merestui. Lagi pula secara
pribadi, pengganti saya sudah ada. Dua dari ketiga putri saya
menikah dengan anggota ABRI: seorang dengan pamen AD, yang lain
dengan pati Polri.
Yang menarik dari jabatan gubernur ialah sebagai "bapak rakyat"
yang menangani pembangunan secara langsung.
Di Sul-Ut nanti kan banyak yang jadi kikuk, karena sebagai
anggota Muspida anda berbintang tiga.
Ingat, sejak 3 Maret saya bukan lagi tentara tapi sipil. Bukan
lagi letnan jenderal tapi Gubernur/KDH Sul-Ut. Saya tidak merasa
rendah berada di bawah Pak Rudini, Pangdam XlII/Merdeka, yang
berbintang satu. Pak Rudini yang menjadi Ketua Muspida di sana
juga tidak perlu merasa kikuk atau rikuh. Semua itu harus
disesuaikan dengan fungsinya.
Waktu menjadi Pangdam V/Jaya, (1973 - 1977), dan masih
berbintang dua saya juga tidak menjadi rikuh sebagai Ketua
Muspida, sementara Pak Ali Sadikin, Gubernur DKI waktu itu,
berbintang tiga.
Dua hari sebelum dilantik, Mantik memperkenalkan diri di
kalangan aparat pemerintahan di Sul-Ut. Ia juga mendapat
beberapa penjelasan dari Pjs. Gubernur Sul-Ut Erman
Harirustaman. Dan dua hari setelah dilantik, Menhankam/Pangab
Jenderal M. Jusuf mengirim sebuah pesawat Cassa untuk membawa
Mantik memperkenalkan diri kepada 3 di antara 4 kelompok rakyat
Sul-Ut: Gorontalo (90% Islam), Sangir-Talaud (Kristen),
Bolaang-Mongondow (60% Islam). Ia sendiri keturunan Minahasa.
Meskipun berdarah Minahasa, Anda ternyata lahir di Bandung,
bukan "putra daerah" benar.
Tidak ada kamus "putra daerah" bagi saya. Di kalangan ABRI kan
juga tidak ada pengertian semacam itu -- kalau mau ditugaskan ke
mana saja tidak ada lagi tawar-menawar, apalagi yang menyangkut
"putra daerah". Orangtua saya pindah dari Tondano ke Depok,
1916. Saya sendiri -- anak ke 4 dari 6 bersaudara -- lahir di
Bandung, 1928, tepat ketika Sumpah Pemuda dicetuskan (yang
rupanya menjiwai hidup saya sekarang). Saudara saya, dan saudara
terdekat dari kedua orangtua saya juga sudah tidak ada lagi di
Sul-Ut.
Bahwa rakyat minta gubernur "putra daerah" itu wajar sebagai
kebanggaan. Tapi faktor "putra daerah" saja kan tidak menjamin
keberhasilan sebagai gubernur.
Ketika menjadi Pangdam IX/Mulawarman (1971-1972) saya diangkat
nenjadi warga kehormatan oleh DPID Ja-Tim. Ketika itu saya
menjelajah Sungai Mahakam, membuka isolasi daerah terpencil. Di
Su-Mut saya juga "ditabalkan" oleh masyarakat Batak Karo di
Kampung Lingga, dekat kabanjahe diberi marga Sinulingga.
Apa gambaran Anda untuk membenahi Sul-Ut, termasuk mengatur
kembali tata-niaga cengkih?
Setelah 2 pelita, setiap daerah punya "pola dasar pembangunan".
Pola yang sudah ditanda-tangani Willy Lasut pada Mei 1979 itu
sudah saya pelajari. Itu merupakan hasil kerja Worang (10
tahun), Lasut (1 tahun) dan Erman (beberapa bulan). Saya rasa
seluruh aspirasi rakyat sudah tertampung. Pola itu sebagai
pedoman saya tinggal mengembangkannya, disesuaikan kebutuhan,
dengan penyempurnaan-penyempurnaan.
Tahun ini akan terjadi panen besar cengkih. Saya lihat di Sul-Ut
beberapa hari yang lalu sudah tampak kegiatan menyongsong panen
besar itu. Dalam tata-niaga cengkih, yang penting pembelian
harus dilakukan langsung dari rakyat petani lewat KUD. Kemudian
para pengusaha membeli kepada KUD dalam sebuah lelang. Saya juga
berharap, SRC (sumbangan rehabilitasi cengkih) bisa masuk lebih
besar lagi ke kas Pemda. Dan dana SRC itu harus dikembalikan
kepada rakyat petani, misalnya untuk memelihara dan meremajakan
perkebunan cengkih.
Pokoknya rakyat petani harus mendapat penghasilan yang wajar.
Dan selangkah demi selangkah sistem ijon harus diberantas. Kalau
ada hambatan, itu wajar. Tapi jauh sebelumnya harus mulai kita
atasi. Misalnya dengan menyediakan uang yang cukup bagi KUD
untuk membeli cengkih rakyat.
Dalam sejarah hidupnya, rupanya Mantik punya kebanggaan
tersendiri. Di ruang tamunya terpampang lukisan karya Henk
Ngantung menggambarkan 3 anggota lasykar KRIS (Kebaktian Rakyat
Indonesia Sulawesi). Di depannya tersandar potret Mantik kini.
Ketika revolusi pecah, pelajar Mantik yang berusia 17 tahun
mengangkat senjata di front Jawa Barat. Akhir 1945 bergabung
dengan KRIS, setahun kemudian masuk TNI.
"Yang terlukis itu gambaran saya dulu yang di potret itu saya
sekarang," katanya sore itu. Dengan lukisan dan potret itu ingin
digambarkannya bahwa ia adalah ABRI yang berasal dari rakyat
pejuang. Bahkan suatu saat ia pernah mengungkapkan sehagai
"anggota ABRI yang bukan berasal dari bekas KNII atau tentara
Jepang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini