Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Bung Gus, Tamu Kita

Petikan wawancara g.h. mantik dengan wartawan tempo. ia adalah bekas pangkowilhan i yang eks laskar kris. programnya: tata niaga cengkih disempurnakan & memberantas sistem ijon.

22 Maret 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

OLEH kalangan Manado yang sebaya ia dipanggil "Bung Gus". Gustaf Hendrik Mantik kini mungkin akan terkenal dengan nama itu. Dalam rapat kerja para gubernur dan bupati/walikotamadya di Balai Sidang Senayan Jakarta pekan lalu, ia buat pertama kalinya muncul sebagai pejabat sipil. Pakaiannya seragam safari, meskipun rambutnya tetap dipotong pendek militer -- dengan uban di sana-sini. Dalam forum itu kedudukan Mantik unik. Ia boleh disebut "si bungsu," karena baru saja dilantik sebagai Gubernur/KDH Sulawesi Utara, 3 Maret. Tapi di antara para gubernur asal ABRI dari Sulawesi Utara, dialah satu-satunya yang pangkat militernya tertinggi letnan jenderal. Dia bekas Pangkowilhan I/Sumatera-Kalimantan Barat. Tegap tinggi (170 cm, berat 70 kg), dalam usia 52 tahun, ia mengesankan wibawa yang muncul wajar. Di rumahnya yang besar berpekarangan luas dan sejuk, Jalan Mangunsarkoro Jakarta, suatu sore pekan lalu TEMPO hari setelah dilantik sebagai Gubernur Sul-Ut -- Mantik menerima wartawan TEMPO. Petikan interpiunya: Sebelumnya Anda pernah menolak "diarahkan" sebagai gubernur dan sekarang menerima. Apa yang menarik dari kedudukan baru ini? Ketika masih berbintang satu, kemudian dua, saya memang masih ingin mencapai karir militer tertinggi. Ketika Pak Lasut dicalonkan sebagai Gubernur Sul-Ut, Pak Amirmachmud juga minta agar saya bersedia dicalonkan bersama-sama. Tapi ketika itu saya minta, kalau boleh, untuk tetap diizinkan mengabdi di bidang hankam. Mungkin banyak orang menyayangkan. Sebagai pangkowilhan saya memegang komando operasional tertinggi di bawah Menteri Hankam/Pangab. Daerah yang saya tangani sangat strategis penghasil devisa terbesar pula, meliputi 9 provinsi, 6 kodak, 5 kodam, 2 daeral, 1 kodam dengan penduduk 25-30 juta. Sekarang sebagai gubernur sebuah provinsi dengan 4 kabupaten, 2 kotamadya dan 1 kota administratif berpenduduk cuma sekitar 2 juta. Dibanding dengan Sumatera Utara saja, Sul-Ut itu kecil. Tapi membanding-bandingkan begitu kan tidak kena. Lagi pula tugas pokok sebagai gubernur meliputi semua bidang kehidupan -- bukan hankam saja jadi saya tidak merasa dirugikan. Masyarakat Sul-Ut ingin maju, lalu memilih saya, sementara pemerintah pusat juga merestui. Lagi pula secara pribadi, pengganti saya sudah ada. Dua dari ketiga putri saya menikah dengan anggota ABRI: seorang dengan pamen AD, yang lain dengan pati Polri. Yang menarik dari jabatan gubernur ialah sebagai "bapak rakyat" yang menangani pembangunan secara langsung. Di Sul-Ut nanti kan banyak yang jadi kikuk, karena sebagai anggota Muspida anda berbintang tiga. Ingat, sejak 3 Maret saya bukan lagi tentara tapi sipil. Bukan lagi letnan jenderal tapi Gubernur/KDH Sul-Ut. Saya tidak merasa rendah berada di bawah Pak Rudini, Pangdam XlII/Merdeka, yang berbintang satu. Pak Rudini yang menjadi Ketua Muspida di sana juga tidak perlu merasa kikuk atau rikuh. Semua itu harus disesuaikan dengan fungsinya. Waktu menjadi Pangdam V/Jaya, (1973 - 1977), dan masih berbintang dua saya juga tidak menjadi rikuh sebagai Ketua Muspida, sementara Pak Ali Sadikin, Gubernur DKI waktu itu, berbintang tiga. Dua hari sebelum dilantik, Mantik memperkenalkan diri di kalangan aparat pemerintahan di Sul-Ut. Ia juga mendapat beberapa penjelasan dari Pjs. Gubernur Sul-Ut Erman Harirustaman. Dan dua hari setelah dilantik, Menhankam/Pangab Jenderal M. Jusuf mengirim sebuah pesawat Cassa untuk membawa Mantik memperkenalkan diri kepada 3 di antara 4 kelompok rakyat Sul-Ut: Gorontalo (90% Islam), Sangir-Talaud (Kristen), Bolaang-Mongondow (60% Islam). Ia sendiri keturunan Minahasa. Meskipun berdarah Minahasa, Anda ternyata lahir di Bandung, bukan "putra daerah" benar. Tidak ada kamus "putra daerah" bagi saya. Di kalangan ABRI kan juga tidak ada pengertian semacam itu -- kalau mau ditugaskan ke mana saja tidak ada lagi tawar-menawar, apalagi yang menyangkut "putra daerah". Orangtua saya pindah dari Tondano ke Depok, 1916. Saya sendiri -- anak ke 4 dari 6 bersaudara -- lahir di Bandung, 1928, tepat ketika Sumpah Pemuda dicetuskan (yang rupanya menjiwai hidup saya sekarang). Saudara saya, dan saudara terdekat dari kedua orangtua saya juga sudah tidak ada lagi di Sul-Ut. Bahwa rakyat minta gubernur "putra daerah" itu wajar sebagai kebanggaan. Tapi faktor "putra daerah" saja kan tidak menjamin keberhasilan sebagai gubernur. Ketika menjadi Pangdam IX/Mulawarman (1971-1972) saya diangkat nenjadi warga kehormatan oleh DPID Ja-Tim. Ketika itu saya menjelajah Sungai Mahakam, membuka isolasi daerah terpencil. Di Su-Mut saya juga "ditabalkan" oleh masyarakat Batak Karo di Kampung Lingga, dekat kabanjahe diberi marga Sinulingga. Apa gambaran Anda untuk membenahi Sul-Ut, termasuk mengatur kembali tata-niaga cengkih? Setelah 2 pelita, setiap daerah punya "pola dasar pembangunan". Pola yang sudah ditanda-tangani Willy Lasut pada Mei 1979 itu sudah saya pelajari. Itu merupakan hasil kerja Worang (10 tahun), Lasut (1 tahun) dan Erman (beberapa bulan). Saya rasa seluruh aspirasi rakyat sudah tertampung. Pola itu sebagai pedoman saya tinggal mengembangkannya, disesuaikan kebutuhan, dengan penyempurnaan-penyempurnaan. Tahun ini akan terjadi panen besar cengkih. Saya lihat di Sul-Ut beberapa hari yang lalu sudah tampak kegiatan menyongsong panen besar itu. Dalam tata-niaga cengkih, yang penting pembelian harus dilakukan langsung dari rakyat petani lewat KUD. Kemudian para pengusaha membeli kepada KUD dalam sebuah lelang. Saya juga berharap, SRC (sumbangan rehabilitasi cengkih) bisa masuk lebih besar lagi ke kas Pemda. Dan dana SRC itu harus dikembalikan kepada rakyat petani, misalnya untuk memelihara dan meremajakan perkebunan cengkih. Pokoknya rakyat petani harus mendapat penghasilan yang wajar. Dan selangkah demi selangkah sistem ijon harus diberantas. Kalau ada hambatan, itu wajar. Tapi jauh sebelumnya harus mulai kita atasi. Misalnya dengan menyediakan uang yang cukup bagi KUD untuk membeli cengkih rakyat. Dalam sejarah hidupnya, rupanya Mantik punya kebanggaan tersendiri. Di ruang tamunya terpampang lukisan karya Henk Ngantung menggambarkan 3 anggota lasykar KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi). Di depannya tersandar potret Mantik kini. Ketika revolusi pecah, pelajar Mantik yang berusia 17 tahun mengangkat senjata di front Jawa Barat. Akhir 1945 bergabung dengan KRIS, setahun kemudian masuk TNI. "Yang terlukis itu gambaran saya dulu yang di potret itu saya sekarang," katanya sore itu. Dengan lukisan dan potret itu ingin digambarkannya bahwa ia adalah ABRI yang berasal dari rakyat pejuang. Bahkan suatu saat ia pernah mengungkapkan sehagai "anggota ABRI yang bukan berasal dari bekas KNII atau tentara Jepang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus