Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said pekan lalu mengatakan telah memperpanjang izin ekspor PT Freeport Indonesia. Perpanjangan izin ekspor itu berlaku sampai enam bulan ke depan. Pemerintah pun batal mencabut izin ekspor Freeport. Pembatalan diputuskan setelah Freeport dianggap mulai berkomitmen membangun smelter pemurnian konsentrat.
Rencana pembangunan smelter sebenarnya terungkap sejak 1990-an. Majalah Tempo edisi 20 Januari 1990 mengulas upaya ekspansi Freeport dengan mengolah konsentrat yang mereka hasilkan menjadi tembaga, emas, dan perak.
Dalam laporan itu disebutkan Freeport Indonesia, perusahaan Amerika Serikat yang menambang tembaga di Pegunungan Jaya Wijaya, Irian Jaya, siap-siap melipatgandakan kapasitas produksinya dari 20 ribu ton menjadi 40 ribu ton. Untuk itu, sampai 1992, Freeport sudah menganggarkan US$ 511 juta (Rp 900 miliar lebih). Menurut Presiden Direktur Usman Pamuntjak, pada 1990 saja anggaran pembangunan Freeport mencapai US$ 125 juta (sekitar Rp 225 miliar).
Jumlah itu hampir sama dengan anggaran sektor pertambangan (Rp 213 miliar) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 1990-1991. Hanya, uang sebanyak itu hampir semuanya akan dibelanjakan di luar negeri. Memang Freeport juga berusaha mencari kontraktor nasional. Usman Pamuntjak, misalnya, sudah menyerahkan proyek bernilai US$ 2,5 juta kepada PT Arcon Prima Indonesia, yang memenangi tender pengadaan 2.000 ton baja konstruksi.
"Ini merupakan tantangan bagi Arcon Prima. Omzet kami per tahun baru US$ 10 juta. Kami tentu tak akan menyia-nyiakan peluang ini. Apalagi bahan baku baja akan diimpor langsung oleh Freeport. Jadi patronnya sudah ada dan kami tinggal menjahitnya," ujar Presiden Direktur Arcon Prima Machnan R. Kamaluddin.
Menurut Usman, pihak principal Freeport International sangat setuju jika Freeport Indonesia menggunakan suplai yang ada di Indonesia, asalkan sesuai dengan pesanan. Pada masa itu, pemasok lokal yang masuk ke Freeport Indonesia baru bernilai Rp 50 miliar setahun. "Jumlah itu sangat kecil untuk anggaran Freeport," kata Usman.
Sebelum kepada Arcon Prima, pada 1987, Freeport mempercayakan pesanan konstruksi baja senilai Rp 2 miliar kepada PT Trans Bakrie. Mutunya bagus, tapi pelaksanaan konstruksinya terlambat beberapa bulan, sehingga Freeport kecewa.
Waktu itu Freeport sedang memperluas kapasitas produksi bijih tembaga dari 16 ribu ton menjadi 20 ribu ton per hari. Akibat keterlambatan tadi, Freeport kehilangan peluang menangkap keuntungan, justru ketika harga tembaga berkibar mendekati US$ 2 per pon tahun lalu. Sedangkan pada 1990 harga itu turun lagi menjadi US$ 1,15 per pon.
Kendati prospek tembaga diduga tak akan begitu cerah-mengingat kemungkinan resesi di Amerika dan Inggris-Usman Pamuntjak tetap optimistis. "Restrukturisasi ekonomi yang sedang berlangsung di negara-negara Eropa Timur setidaknya akan membawa dampak positif bagi pasar tembaga di tahun-tahun mendatang," ucapnya.
Hingga kala itu Freeport hanya mengolah bijih tembaga menjadi konsentrat untuk kemudian diekspor ke Jepang, lalu di sana diolah lagi hingga menghasilkan tembaga, emas, dan perak. Sebenarnya Freeport Indonesia bisa mengolah sendiri konsentrat itu. "Yang penting pemerintah mau mendukung," ujar Usman.
Soalnya, bersaing dengan Jepang tidaklah mudah. Kapasitas pengolahan konsentrat di Jepang sekitar 2,4 juta ton per hari. Industri mereka juga sudah lama, sehingga beban penyusutan sudah habis. Kalau mau membangun industri pengolahan (smelter), menurut Usman, sebaiknya dibangun pabrik berkapasitas 100-200 juta ton konsentrat per hari.
Itu berarti pemerintah harus bersedia membuka peluang impor konsentrat. Dan pemerintah juga harus siap menerima kemungkinan menyusutnya pembayaran pajak Freeport, yang sekitar Rp 85 miliar setahun.
Biaya pembangunan smelter itu diperkirakan US$ 200-400 juta. Untuk menghimpun dana sebegitu besar, Freeport tak sampai harus mengandalkan Bursa Efek Jakarta. "Untuk apa kita mencari dana di Indonesia jika bisa mengambil devisa dari luar negeri?" kata Usman. "Anda bisa membeli saham Freeport di Wall Street, New York."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo