Sejak 1989, saya selalu menggunakan KA Bima secara rutin. Boleh dikatakan hampir setiap bulan saya mengadakan perjalanan Jakarta-Kertosono PP. Banyak hal yang kurang menyenangkan yang sudah saya alami selama itu. Namun, apa yang saya alami baru- baru ini benar-benar di luar batas. Pada 24 Juni 1991, saya ingin membeli dua tiket KA Bima jurusan Jakarta. Karena tiketnya habis, terpaksalah saya mem- beli dua tiket eksekutif A untuk keberangkatan 30 Juni 1991. Pukul 17.00 WIB, saya siap berangkat ke Jakarta. Namun, pada 17.30 WIB ada pengumuman dari Perumka bahwa KA Bima terlambat sampai di Stasiun Kertosono. Pukul 18.00 WIB terdengar pengumuman lagi dari Perumka bahwa ada perubahan tempat duduk bagi tiket yang sudah dibeli. Lalu para calon penumpang datang ke kantor menanyakan perubahan tempat itu. Ternyata, semua calon penumpang eksekutif A dan B dipindahkan ke gerbong biasa, yang fasilitasnya jauh berbeda dari gerbong eksekutif A dan B. Menurut petugas, gerbong eksekutif B rusak dalam perjalanan Surabaya-Kertosono sehingga penumpangnya dipindahkan ke ek- sekutif A. Akibatnya, calon penumpang yang membeli tiket di Kertosono, Madiun, Solo, dan Yogyakarta ditempatkan dalam ger- bong biasa tanpa AC. Meskipun uang tiket dikembalikan Rp 19.000 dari harga Rp 42.000, saya tetap tidak bisa menerima perlakuan Itu. Ternyata, dalam perjalanan, satu per satu penumpang yang naik di Kertosono pindah ke gerbong eksekutif A dan B dengan cara memberi tambahan Rp 10 ribu sampai Rp 20 ribu kepada kondektur. Praktek semacam ini sudah lama dilakukan. Menurut informasi yang saya terima kemudian ternyata tidak ada kerusakan gerbong KA Bima. Tapi justru yang ada penambahan gerbong sehingga rangkaian KA Bima bertambah panjang dan lam- bat. Hal itu menyebabkan urusan saya terbengkalai.NY. EKA HIKMAWATI Jalan Tirta Melati I/29 Depok Timur 1417 Jawa Barat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini