Pada minggu pertama Juni 1991, di Jakarta diadakan atraksi bes- ar pacuan sapi. Atraksi yang berasal dari Madura ini dikenal dengan sebutan karapan sapi. Pertunjukan itu ternyata banyak peminatnya. Penonton dan pesertanya kebanyakan datang dari Madura. Di Bali pun ada atraksi seperti itu, yang disebut mekepung. Bedanya, pada karapan sapi, sapinya berpacu lurus ke depan. Sedangkan pada mekepung, sapinya berlari mengelilingi arena. Untuk memenangkan pacuan ini, sang pengendali berusaha dengan segala cara agar sapinya berlari dengan kencang. Nah, bila kita lihat perlombaan ini dari dekat, kemudian kita renungkan dalam- dalam, yang kita dapatkan bukanlah kebanggaan atau kesenangan, tapi suatu ironi. Mengapa? Karena, secara implisit, kita sudah melegalkan penyiksaan terhadap makhluk Allah, dalam hal ini binatang sapi. Ini terlihat pada waktu pacuan akan dimulai. Kadang-kadang sapinya dimandikan lebih dulu dengan air lombok atau dioles dengan sejenis remason pada pangkal pahanya. Sewaktu berlari, sapi dicambuk kuat-kuat dan ditusuk-tusuk dengan benda tajam seperti batang kayu yang dilingkari paku sambil menarik-narik ekornya. Karena itu, kita perlu meninjau kembali kegiatan karapan sapi tersebut, apakah masih relevan menjadi tontonan masyarakat modern seperti sekarang ini. DRS. DELLY YUSAR Denpasar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini