NASIONALISME dalam pengertian cinta tanah air, negara, dan bangsa tengah memudar di sebagian masyarakat Indonesia. Ironisnya, ini justru ditunjukkan oleh kalangan elite politik dan mahasiswa. Gejala denasionalisasi ini bisa ditengarai dari sinyalemen yang dilontarkan Menteri Pertahanan Prof. Dr. Juwono Sudarsono bahwa berbagai gonjang-ganjing politik nasional dan kerusuhan di beberapa tempat di-remote oleh mantan pejabat di era Orde Baru. Belum lagi anarkisme yang menggejala dalam demo-demo mahasiswa. Carut-marut republik ini lebih diprovokasi oleh dinamika wacana publik yang membingungkan awam.
Kalau sinyalemen ini benar, betapa naifnya elite politik kita yang berdiri di belakang segala kekisruhan ini. Merekalah yang dulu mengajarkan kepada kita untuk selalu bersatu dengan slogan persatuan dan kesatuan. Namun, mengapa setelah tidak berkuasa lagi justru mereka pula yang mengoyak rasa persatuan dan kesatuan bangsa?
Memang, sulit untuk tidak mempercayai sinyalemen Pak Juwono. Sebodoh-bodohnya sebagai wong cilik, kita pasti bisa membaca bahwa dalang segala instabilitas politik dan keamanan di negeri ini adalah orang-orang yang terdidik, terlatih, berpengaruh, dan memiliki uang. Karena itu, tidak mengherankan bila guncangan stabilitas nasional ini sifatnya sangat simultan dan gerakannya sistematis.
Kekisruhan negeri ini semakin diperparah oleh clometan-nya para politisi, aktivis LSM, atau kalangan pakar dalam wacana perpolitikan nasional. Simpang-siur isu yang diwacanakan selalu diklaim sebagai wacana demokrasi. Saya khawatir, klaim wacana demokrasi tersebut bukan malah mendewasakan masyarakat dalam berdemokrasi, tapi malah membingungkan rakyat.
Kekhawatiran saya sesungguhnya juga merupakan kerisauan awam. Pada titik tertentu, apabila masyarakat banyak sudah tak dapat lagi menahan diri, negeri ini akan dilanda kemarahan rakyat. Kalau hal ini terjadi, chaos pun tak bisa dihindarkan lagi. Saya mengetuk hati nurani pemilik tangan-tangan kotor yang bermain di balik kekacauan negeri ini, termasuk mereka yang suka melantunkan retorika kosong dalam debat publik, sudilah kiranya Tuan-Tuan menghentikan nafsu kekuasaan dan provokasi yang meluluh-lantakkan persatuan dan kesatuan bangsa. Negeri ini bukan hanya milik Tuan semata. Negeri ini adalah milik lebih dari 200 juta penduduk yang menghuninya.
A.G. PUTRANTO
Pasarminggu, Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini