Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kecap Politik

16 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Zaim Saidi
Penulis bekerja di PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center), sebuah lembaga independen

MENDEKATI bulan Agustus 2000, saat akan berlangsungnya sidang umum MPR, wajah media kita kembali dihiasi oleh sejumlah iklan politik atau advokasi. Pihak pemasang serta isi dan penampilannya beraneka ragam. Maraknya iklan jenis baru yang berlangsung sejak menjelang Pemilu 1999 ini sungguh menarik diperhatikan. Sebab, kehadirannya tentu akan memperkaya khazanah dunia kehumasan, ilmu komunikasi massa dan politik, juga periklanan kita. Rupanya, selain kecap asin dan manis, kini telah bermunculan penjaja kecap politik.

Ada iklan yang mengampanyekan dan mencari dukungan untuk sistem pemilihan presiden secara langsung. Ada yang menjajakan "MPR Baru" dengan menawarkan model parlemen bikameral, dengan memperkenalkan dewan utusan daerah (DUD), yang anggotanya dipilih langsung oleh masyarakat daerah dan memiliki kedudukan setara dengan DPR. Ada iklan yang "jualannya" lebih spesifik, seperti agar UUD 45 diamendemen dengan pasal-pasal yang menjamin kesetaraan pria dan wanita.

Penampilan iklan-iklan politik itu, baik grafis maupun copy writing-nya, tidak kalah dari dua jenis iklan lainnya yang sudah lebih dulu ada, yaitu iklan komersial dan layanan masyarakat. Tokoh penting masyarakat—bukan kaum selebriti dari dunia showbiz sebagaimana lazimnya—acap ditampilkan sebagai bintang iklannya. Iklan politik ini tentu telah menambah tantangan bagi para perancang iklan untuk mengadu kreativitas.

Bagi biro iklan dan media secara umum, iklan jenis ini juga bakal semakin penting, terutama dilihat dari nilainya. Taruhlah dari ukurannya, yang bisa + hingga 1 halaman penuh, baik di majalah maupun koran, nilai tiap kali pemasangannya Rp 5 juta hingga Rp 100 juta per media. Kalau iklannya dibuat berwarna, nilainya bisa dua kali lipat. Belum lagi bila dikombinasi dengan media elektronik, radio, dan televisi. Itu baru penempatan, belum lagi biaya produksi pracetak atau pratayangnya.

Seperti lazimnya iklan jenis lainnya, penayangan iklan politik umumnya juga dilakukan secara serentak dan berulang-ulang di sejumlah media. Karena itu, anggaran beriklan politik bagi suatu pihak pastilah relatif besar. Maka, masuk akal bila Indra Abidin, seorang praktisi periklanan, pernah memperkirakan nilai iklan politik yang diproduksi dan ditayangkan sekitar Pemilu 1999 lalu saja mencapai angka Rp 600 miliar. Tentu, seusai pemilu angkanya tidak sebesar itu lagi, tapi iklan politik akan terus mewarnai media kita dan pihak atau lembaga yang menggunakan cara ini untuk kepentingannya masing-masing pun terus bertambah.

Tujuan iklan politik jelas berbeda dari iklan komersial karena yang dijajakan adalah ide, gagasan, atau lebih tepatnya posisi atau kepentingan tertentu. Sejumlah partai politik kita, misalnya, mengiklankan dirinya agar dicoblos pada Pemilu 1999 lalu. Dengan sendirinya partai yang memiliki anggaran iklan besar akan lebih berpotensi menggaet lebih banyak "pembeli". Artinya, meskipun di Indonesia hal ini masih perlu dibuktikan lewat penelitian, boleh jadi media iklan ikut mempengaruhi kompetisi politik—khususnya dalam pemilu.

Dibandingkan dengan iklan layanan, iklan politik juga berbeda, setidaknya, karena dua hal. Pertama, iklan layanan sifatnya imbauan untuk persoalan sosial kemasyarakatan, tidak untuk kepentingan tertentu. Kedua, iklan layanan acap menjadi bagian dari kontribusi dan tanggung jawab sosial media, karena itu pemasangnya tak dipungut biaya atau diberi diskon sampai 90 persen. Sedangkan untuk iklan politik, seperti halnya iklan komersial, pemasangnya harus membayar media yang dipilihnya. Kalaupun ada diskon, tidaklah sebesar iklan layanan.

Pada titik inilah ada kemungkinan muncul persoalan yang patut kita pikirkan sejak dini. Karena tujuannya untuk mengadvokasikan kepentingan atau posisi tertentu, dan itu dilakukan dengan cara membayar, mungkin terjadi konflik kepentingan, terutama bagi perusahaan periklanan dan media. Bagaimana kalau kepentingan, ide, atau gagasan itu ternyata bertentangan dengan kepentingan umum? Kepada siapa perusahaan periklanan dan media akan berpaling, pembayar dan pemesan iklan, atau publik? Atau, bagaimana seandainya pihak tertentu, karena memiliki uang, menjajakan kepentingannya atau mendiskreditkan kepentingan pihak lain dengan cara membayar iklan politik? Kepada siapa dunia periklanan dan media akan berpihak? Belum lagi, kalau ada yang berpikiran dan berkeberatan, bila pihak asing ikut bermain, terlepas dari posisi dan kepentingan yang dimainkannya.

Untuk iklan komersial telah tersedia rambu etika, sebagaimana dirumuskan dalam Tata Krama Periklanan Indonesia, terlepas bahwa kode etik ini pada prakteknya banyak dilanggar. Selain itu juga ada lembaga konsumen yang rajin mengamati dan mengawasi iklan komersial. Agaknya, munculnya iklan politik atau advokasi ini sudah sepatutnya menjadi perhatian lembaga pengawas media yang bermunculan akhir-akhir ini. Jangan lupa, beberapa waktu lalu telah ada tokoh-tokoh politik dan berduit yang disinyalir memanfaatkan media—dengan membeli ruang iklan ataupun block time—untuk mempromosikan posisi dan kepentingannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum