Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Muktamar tanpa 'Sense of Urgency'

16 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Azyumardi Azra
Guru besar sejarah Fakultas Adab dan Rektor IAIN Jakarta

BUSINESS as usual. Itulah kesan terkuat yang saya tangkap dari Muktamar Muhammadiyah ke-44 yang berakhir pekan lalu. Tidak ada kejutan—apalagi kontroversi—muncul dari Muktamar Muhamadiyah yang sering disebut sebagai salah satu dari dua organisasi terbesar Islam di Indonesia ini. Seperti sudah diduga, Ahmad Syafii Maarif dikukuhkan dari sekadar pejabat ketua menjadi Ketua PP Muhammadiyah periode 2000-2005. Juga sudah diantisipasi sebelumnya jika Muhammadiyah—seperti banyak ormas dan orpol Islam lainnya—kembali menjadikan Islam sebagai asas organisasi. Kemudian, ada reafirmasi "Pedoman Kehidupan Islami Warga Muhammadiyah", yang tidak lain sekadar kerangka normatif ajaran Islam dalam perspektif Muhammadiyah.

Walhasil, saya gagal melihat sense of urgency Muhammadiyah dalam merespons masalah-masalah yang kian berat dihadapi Indonesia dewasa ini. Muktamar Muhammadiyah memang mengeluarkan sejumlah rekomendasi berkenaan dengan perkembangan politik dan sosial Indonesia terkini. Tapi mereka gagal memberikan visi, misi, dan aksi untuk ikut menyelamatkan bangsa dan negara Indonesia yang secara agak dramatis disebut koran Inggris The Guardian edisi akhir pekan lalu sebagai berada on the brink of melting down, pada tubir kemelelehan.

Ketiadaan atau kurangnya sense of urgency Muhammadiyah itu bisa dilihat dari rekomendasi muktamar yang hanya mengulangi pernyataan atau imbauan yang sudah kerap kita dengar. Misalnya, agar elite politik menghentikan konflik vertikal dan horizontal, dan agar Presiden Abdurrahman Wahid mengurangi atau menahan diri dari mengeluarkan kebijakan dan pernyataan kontroversial.

Namun, muktamar itu bukan tanpa harapan sama sekali. Setidaknya dari sudut internal organisasi, Muktamar Muhammadiyah merupakan konsolidasi yang amat berhasil. Muktamar itu berlangsung nyaris tanpa persaingan, pertarungan, dan intrik di antara para kandidat ketua PP, seperti dalam muktamar-muktamar sebelumnya. Bahkan, dua kubu kepemimpinan yang dulu sering disebut sebagai "kubu Jakarta" versus "kubu Yogyakarta" atau "kubu Minang" dan "kubu kauman" kini nyaris tak berbekas.

Dengan kepemimpinan yang kita harapkan cukup solid itu, Muhammadiyah pascamuktamar memiliki peluang besar untuk menyalakan sense of urgency menghadapi masalah-masalah mendesak bangsa dan negara. Di bawah kepemimpinan Syafii Maarif yang cukup akomodatif, Muhammadiyah seyogianya mengusahakan aktualisasi peran sosial-politiknya secara lebih konkret dan efektif.

Sebagai sebuah organisasi besar yang mempunyai sejarah panjang, Muhammadiyah turut memainkan peran penting bagi penyemaian benih dan pembentukan masyarakat madani. Dengan meminjam kerangka antropolog Amerika, Dale Eickelman (1996), tentang "masyarakat madani", Muhammadiyah sejak masa kolonial Belanda merupakan institusi sosial (keagamaan) yang otonom dari negara, yang memfasilitasi aktivitas sosial, pendidikan, keagamaan, dan politik, yang membantu the better ordering of society—pengaturan masyarakat secara lebih tertib dan lebih baik.

Sekali lagi, meminjam kerangka Eickelman yang pernah meneliti perkembangan "masyarakat madani" di kalangan komunitas-komunitas muslim di Timur Tengah, Muhammadiyah dengan struktur-struktur organisasinya yang luas dan berurat akar (pervasive) telah berperan besar sebagai kerangka dan basis bagi aksi keagamaan, sosial, pendidikan, dan politik yang cukup efektif. Dan melihat prestasi Muhammadiyah dalam lapangan keagamaan, sosial, dan pendidikan, sulit dibantah bahwa organisasi ini telah memainkan peran cukup efektif dalam pembinaan dan pengembangan masyarakat madani.

Tetapi situasi sosial-politik Indonesia dewasa ini menuntut peran lebih besar lagi dari Muhammadiyah. Indonesia sekarang ini bukan hanya berada di ambang krisis ekonomi gelombang kedua dalam tiga tahun terakhir, tetapi juga ancaman krisis pemerintahan dan kelembagaan birokrasi. Pemerintah dan lembaga negara semakin tidak efektif. Bahkan majalah Newsweek pekan lalu menyebut pemerintahan Presiden Abdurrahman sebagai bizarre government, pemerintahan yang aneh, tidak lazim karena berbagai kebijakan dan kontroversi yang dimunculkannya. Sebelumnya, majalah Time menyebut pemerintah Indonesia sebagai feeble government, pemerintahan yang sangat lemah dan tidak efektif sama sekali.

Situasi seperti ini—dalam kerangka transisi menuju demokrasi—mencerminkan bahwa Indonesia masih berada dalam tahap yang disebut Georg Sorensen sebagai tahap unconsolidated democracy—demokrasi yang belum terkonsolidasi. Beberapa elemen demokrasi memang muncul lebih jelas sejak jatuhnya Presiden Soeharto. Tetapi, pada saat yang sama, sejumlah perkembangan demokratis yang terjadi belakangan justru kontraproduktif bagi konsolidasi demokrasi. Termasuk di antaranya, fragmentasi dan konflik di antara parpol, para elite politik, yang diikuti dengan breakdown of law and order, seperti terlihat dengan meningkatnya tindakan anarki dalam masyarakat. Kembalinya ancaman krisis ekonomi hanya membuat demokrasi akan semakin tidak terkonsolidasi.

Muhammadiyah sebagai organisasi besar masyarakat madani, sekali lagi, memiliki potensi besar dalam merespons kondisi Indonesia yang jauh dari menggembirakan itu. Potensi itu bisa diwujudkan dengan lebih memainkan peran sosial-politiknya, tentu saja tanpa harus menjadi partai politik. Dengan anggota yang terbesar di dalam berbagai parpol, tidak hanya PAN, tetapi juga Golkar, PPP, PDI-P, dan lain-lain, Muhammadiyah dapat menjadi faktor rekonsiliatif dan integratif. Di sini Muhammadiyah selayaknya merumuskan platform dan manifesto yang menugaskan para anggotanya yang menjadi pemimpin dan aktivis parpol agar menjalankan misi rekonsiliasi dan integrasi.

Lebih dari itu, PP Muhammadiyah hasil muktamar lalu dapat pula secara formal-organisatoris lebih aktif dan proaktif melakukan rescue mission terhadap kapal yang bernama "Indonesia", yang tengah mengalami Titanic syndrome. Sudah saatnya Muhammadiyah meninggalkan kesungkanannya memainkan peran sosial politiknya dengan dalih "Muhammadiyah merupakan organisasi nonpolitik". Jika tidak demikian, berarti Muhammadiyah membiarkan Indonesia terperosok ke dalam apa yang sering disebut Syafii Maarif sebagai "limbo sejarah".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum