Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

MTV Revolusi Layar Kaca

Lima tahun sudah MTV ASIA menggempur penonton Indonesia. Remaja Indonesia bukan hanya dicekoki musik sehari semalam, tapi juga sebuah gaya hidup. Benarkah kanal televisi ini telah melahirkan sebuah generasi baru atau ini cuma geliat sesaat?

16 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MALAM menggebrak Jakarta. Sepasang anak muda dengan rambut sebahu yang dicat merah bergandeng mesra memasuki sebuah diskotek. Sang gadis bercelana ketat selutut berwarna hijau toska. Yang lelaki berjaket hijau khaki dengan kacamata hitam nangkring di hidungnya.

Penampilan keduanya hampir tak berbeda dengan pengunjung lainnya yang rela membayar tiket seharga Rp 75 ribu untuk sebuah ritual pergaulan. Di tempat yang lebih mirip bangsal itu, mereka akan menyaksikan kelompok musik ska asal California, Amerika Serikat, Save Ferris, berjingkrak. Inilah acara yang menyambut peluncuran sebuah stasiun radio baru, MTV on Sky.

Sejurus kemudian, pasangan berpakaian funky abis itu—begitu istilah remaja untuk menyebut busana yang nyaman dipandang—pun berbaur dengan penonton lainnya. Mereka menggoyang-goyangkan tubuh mengikuti rentak musik yang menggelegar. Suasana ingar-bingar ini melarutkan kedua sejoli itu. Sesekali si cowok yang punya tampang lumayan keren itu merapatkan pelukannya ke tubuh sang gadis. Aha, dunia seolah cuma milik mereka berdua! Sementara itu, di atas panggung, Sarah Sechan, salah satu bidadari MTV, berteriak lantang, "MTV untuk mereka yang funky. Kalau enggak mau ketinggalan, nongkrong terus di MTV."

Kalimat yang diteriakkan Sarah itulah yang membawa Dada, 20 tahun, dan Yaya, 16 tahun—sebutlah begitu nama kedua sejoli itu—datang ke acara tersebut. Mereka mempersiapkan diri betul untuk menghadiri perhelatan itu. Jauh hari sebelumnya, Dada telah mengantongi tiket masuk. Bagi mahasiswa sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta itu, bukan pertunjukan musik yang membuatnya datang, melainkan tiga huruf yang bernama MTV. Sebulan sebelumnya, ia juga ikhlas berdesakan di tempat yang sama hanya untuk menyaksikan penganugerahan MTV Music Award.

MTV (singkatan dari Music Television) tampaknya telah menimbulkan sebuah fanatisme baginya. MTV seolah telah menjadi oksigen baginya. Setiap hari, menurut pengakuannya, ia tak pernah absen menonton siaran televisi itu. Di hari libur, ketimbang pelesir, Dada memilih nongkrong di depan televisi. Bila berada di dalam mobil pribadinya, ia panteng frekuensi MTV on Sky, siaran radio yang berformat MTV. Paling sedikit dua acara kudu dipelototinya setiap hari.

"Kalau terpaksa enggak menonton, waduh, kayak ada yang kurang rasanya," ungkapnya di sela dentuman musik malam itu. Dia pun fasih menyebut program-program yang menayang di televisi itu. Absen menonton MTV berarti tidak ikut trend.

Bagi Dada, dan sebagian besar generasi yang kemudian disebut sebagai generasi MTV, kanal MTV itu menjadi jendela untuk mendapatkan informasi. Ia mengaku mengadopsi banyak hal, mulai kampanye anti-drugs hingga pola pikir remaja MTV, yang disebutnya inovatif. "Gue paling suka dengar gaya para VJ (video jockey)-nya, yang dinamis, enggak lemot (lemah otak, artinya bodoh—Red.) kayak presenter lain yang ada saat ini," katanya.

Dada hanyalah salah satu dari anak-anak muda di pelosok Jakarta dan kota lain di Indonesia yang keranjingan MTV. Tak bisa dimungkiri, gempuran saluran televisi yang selama sehari semalam menyetel videoklip dari berbagai jenis musik ini memang punya daya magis yang kuat bagi remaja. Format siaran radio yang ditransfer ke dalam bentuk visual menjadi daya tarik tersendiri. Alhasil, sajian musik yang ditampilkan terasa begitu hidup. Belum lagi, bumper atau potongan-potongan gambar yang dicuplik dari berbagai video yang atraktif memang menarik dinikmati.

Stasiun televisi dengan segala ciri khasnya ini telah menjadi identitas tersendiri bagi remaja. Simak penuturan Rizal Mantovani, sutradara videoklip yang sering diminta menjadi juri sayembara gadis sampul untuk beberapa majalah remaja. Dari pengalamannya itu, dia mendapat kesan bahwa MTV telah menjadi ikon bagi remaja. "Mereka menyatakan selalu menonton MTV sehari-hari. It's something that says, hey I'm a hip girl, I watch MTV," tutur pria yang sudah meraih berbagai penghargaan untuk karya videoklipnya itu.

Menurut Rizal, MTV memang khas remaja. Itu bisa dilihat dari logo yang dipakai, yang sangat mewakili remaja. "Lihat saja, huruf M-nya mewakili struktur yang established, sementara huruf TV-nya, yang berupa graffiti, wujud dari sikap pemberontakan," katanya. Rizal sendiri bisa dikatakan sutradara yang karyanya banyak dipengaruhi oleh videoklip yang diputar MTV.

MTV adalah pesona tersendiri buat kaum remaja. Di saat televisi lokal menyajikan program yang campur-aduk yang tak sepenuhnya memanjakan anak muda, MTV menyalip di tikungan. Para awaknya tahu betul cara memanjakan kuping dan mata remaja. Klip musik yang diputar selalu yang sedang meledak, sedangkan musik yang meledak pada 1980-an hingga 1990-an disebutnya sebagai lagu-lagu klasik. Di MTV, Duran Duran mendadak menjadi uzur.

Selain itu, veejay (VJ) yang cantik atau ganteng, yang dibalut pakaian mutakhir lengkap, seperti Sarah Sechan, Jamie Aditya, Bellinda, Donita, Shannen, juga si Lili, veejay virtual, menyapa penonton dengan gaya yang yahud. Idiom yang digunakan selalu berbau remaja dan, tak aneh, penonton remaja seperti menemukan oasis di padang gersang. Alhasil, saluran inilah yang paling banyak disimak.

Konsekuensi logisnya, iklan pun bisa meningkat. Produsen berlomba-lomba menawarkan produknya, dari odol, sampo, handphone, sampai kondom. Fulus pun terus mengalir. "Tapi, maaf, saya tak bisa menyebutkan besar angkanya. Yang jelas, pertumbuhan angkanya sangat cepat. Indonesia merupakan pasar kunci bagi kami," tutur Yoong Leong Yan, Group Account Director Regional Advertising Sales MTV Networks Asia.

Namun, sukses ini tidaklah dicapai dalam seembusan napas. Semua berawal pada sebuah hari di bulan Januari 1981, saat Warner Communication dan American Express, perusahaan televisi kabel, mendirikan sebuah saluran video musik. Ide itu tak lepas dari maraknya industri video musik yang berfungsi sebagai sarana promosi penjualan album musik pop saat itu.

Saluran televisi ini resmi mengudara pada 1 Agustus 1981 dan langsung menghunjam dengan menayangkan sebuah acara bertajuk Video Killed the Radio Star. Bak sebuah meteor yang melesat, MTV dapat meraih sukses dengan cepat. Kehadirannya seperti menumpas kejayaan radio, yang ketika itu menjadi media efektif bagi promosi musik pop. Kesuksesan itu bahkan memberikan inspirasi bagi kelompok musik Dire Straits, yang menyelipkan fenomena kanal baru itu dalam lirik sebuah lagunya.

Revolusi pun meledak, seperti kata Tom Preston, Presiden MTV, yang menyatakan saluran televisinya itu merupakan sebuah revolusi yang mengubah gaya orang menyaksikan dan mendengarkan musik. Sukses itu kemudian segera ditiru stasiun Canada's Much Music (1984) dan kanal Music Box (1982).

Di sisi lain, kehadiran saluran musik ini juga menimbulkan kecaman. Di Amerika Serikat, tanah kelahirannya, MTV dicela sebagai babysitting channel. Sebab, banyak anak kecil yang memiliki begitu banyak waktu luang, dan yang tidak memiliki daya pikir kritis akan apa yang disajikan kepada mereka, setia berjam-jam duduk di depan televisi menyaksikan MTV, sehingga orang tua mereka tidak perlu lagi menyewa babysitter.

Namun, hal itu tidak membuat saluran televisi ini mandek. Malah, saluran khusus musik ini pun menjalar ke beberapa pojok dunia. Pada Agustus 1987, MTV Europe didirikan dan ditayangkan di 12 negara Eropa—meski, di Inggris, televisi ini kurang laku karena pelanggan TV kabel di sana belum sebanyak di Belanda atau Belgia.

Pada 1991, stasiun ini akhirnya menclok di Hong Kong. Kala itu, MTV masih menjadi bagian dari seluruh program Star TV, yang memiliki lima saluran. Di tengah jalan, terjadi perbedaan pandangan pengelolaan stasiun antara manajemen MTV dan Star TV. Akibatnya, kontrak kerja sama putus. Pihak MTV kemudian memindahkan stasiunnya ke Singapura. MTV Asia ini—yang dimaksud Asia di sini adalah kawasan Asia Tenggara—merupakan salah satu dari tiga saluran yang dimiliki MTV Networks Asia. Dua saluran lainnya adalah MTV Mandarin dan MTV India. MTV Asia langsung menjotos langit. Nama macam Nadya Hutagalung, Mike Kaseem, Rahul Khana, dan Annu Kotoor tiba-tiba menjadi idola baru bagi remaja Asia Tenggara. Popularitas mereka tiba-tiba sejajar dengan artis dunia.

Kehadiran saluran musik ini makin menancap di bumi Indonesia setelah bekerja sama dengan stasiun TV lokal, Anteve, pada tahun yang sama. Saluran musik ini tidak hanya menyergap kalangan remaja tertentu yang punya antena parabola di atap rumahnya, tapi juga di pedusunan yang jauh dari ingar-bingar kota, melalui siaran tunda yang disiarkan oleh stasiun televisi lokal, Anteve.

Inilah simbiosis mutualisme. Anteve mendapat keuntungan dengan pasokan acara musik yang murah. Mereka cuma membayar hak tayangnya. "Televisi kabel kan lebih banyak mengandalkan pemasukan dari pelanggan. Nah, dengan adanya kerja sama dengan kita, MTV akan mendapat revenue sharing (pembagian keuntungan) dari iklan," kata Omar Luthfi Anwar, chief of officer Anteve. Pembagian keuntungannya, yang berkisar fifty-fifty, sanggup memberikan darah bagi stasiun itu di masa-masa sulit.

Bagi MTV sendiri, siarannya bisa dinikmati pemirsanya tanpa perlu memasang antena parabola di atas genteng rumah. Menurut Frank Brown, Presiden MTV Networks Asia, MTV Southeast Asia telah mengalami perkembangan yang menakjubkan sejak diluncurkan lima tahun silam, pada 5 Mei 1995.

MTV PUN MAKIN MEMBUMI. Dibandingkan dengan saluran televisi sejenis lainnya, seperti Chanel V atau MCM—yang memerlukan decoder—MTV memang meluncur sendirian di negeri ini. Apalagi, belakangan, mereka melakukan sejumlah terobosan dengan membuat program-program yang mengandung muatan lokal, seperti Getar Cinta, MTV Ampuh, MTV 100% Indonesia, dan Salam Dangdut. Selain itu, diam-diam kampanye yang disampaikan secara terus-menerus seperti Nongkrong Terus di MTV rupanya benar-benar mencerucup benak kaum muda.

Sebenarnya, acara-acara yang digelar di stasiun itu hanya memutar videoklip musisi mancanegara yang tengah in. MTV Most Wanted, misalnya, adalah acara yang dipandu secara bergantian oleh Sarah Sechan dan Jamie Aditya yang isinya hanya memutar videoklip yang diminta oleh pemirsanya melalui surat, faksimile, ataupun e-mail. Konsepnya tak berbeda dengan acara permintaan lagu seperti yang sering muncul di radio.

Acara MTV Land juga memutar lagu-lagu yang tengah menjadi trend. Bedanya, acara ini sengaja di-shoot di studio yang ditata secara spesifik. Terkadang studio diset seolah mereka berada di sebuah kamar kos-kosan yang berantakan tapi funky.

Dalam setiap edisi, selalu saja ada tema yang dibahas oleh VJ dengan tamu yang diundangnya. Pembicaraannya, ya, apa lagi kalau bukan soal remaja. Ringan-ringan saja. Dalam banyak jeda, mereka memutar klip musik. MTV Classic lain lagi. Kata klasik di sini tentu tidak merujuk pada lagu klasik karya musisi Beethoven atau Bach, melainkan "klasik" untuk generasi MTV, yakni lagu-lagu yang diproduksi pada 1980-an dan 1990-an tapi masih bertahan dan tetap disukai, misalnya musik Genesis, Queen, atau Duran Duran. "Coba anda rasakan. Musik mereka kan sepertinya telah berlalu cukup lama, tapi video musiknya masih bertahan hingga sekarang, sehingga ada keinginan untuk menampilkan mereka kembali agar pemirsa tahu bagaimana mereka di masa lalu," tutur Yoong Leong Yan.

Kenapa bukan musik klasik dalam pengertian sesungguhnya? Apa tak ada anak muda yang menyukai musik klasik? "Kami sudah melakukan riset yang menjajaki keinginan anak-anak muda terhadap jenis musik. Kami juga punya konsep `berilah mereka apa yang mereka inginkan, sehingga mereka akan mengapresiasinya.' Nah, dalam hal ini, musik klasik jelas memiliki audiens yang kecil," jawab Leong Yan.

Yang agak berbeda adalah beberapa acara yang melakukan turun lapangan. Dalam MTV Kampus, sang VJ harus rela berpanas-panas untuk meliput acara di sebuah kampus. Dan yang paling menarik adalah MTV It's My Life. Program yang menggunakan konsep semidokumenter ini tidak menghadirkan VJ MTV. Acara ini sepenuhnya berkisah tentang hidup sehari-hari seseorang yang tidak melulu harus figur publik. Sosok yang di-"dokumentasi"-kan kehidupannya itu bisa saja seorang koreografer atau seorang pegawai yang bekerja di Hard Rock Café. Tokoh itu juga dipilih dari berbagai negara di Asia Tenggara, sehingga penonton bisa mengenal kehidupan di negara lain. Para tokoh ini akan berkisah dari soal putus pacar, makanan kesukaannya, binatang peliharaannya, hingga rahasia yang paling pribadi dalam hidupnya.

"Kisah-kisah itu begitu nyata dan wajar, sehingga penonton merasa teridentifikasi oleh sosok-sosok yang bercerita dalam acara itu," ujar Dimas Jayadiningrat, sutradara videoklip, dalam diskusi TEMPO tentang MTV. Mungkin karena ada keinginan wajar, acara ini seolah tampil tanpa skenario dan tanpa fokus. Kamera yang begitu sibuk—penonton MTV yang fanatik menyebutnya "gerakan kamera yang dinamis"—bolak-balik menyorot sosok yang cekikikan tanpa sebab, terkadang, membuat penonton (yang sudah lebih berumur, barangkali) agak tak sabar karena adegan-adegan yang ditayangkan tampil tanpa motif. Tapi apa boleh buat. Seperti yang dikatakan Dimas, acara model begitu ternyata sangat disukai pemirsa remaja.

Mungkin karena acara-acaranya memang dibuat lebih berdasarkan "apa yang diinginkan" daripada "apa yang sebaiknya diketahui atau dipahami" generasi muda, generasi MTV memang menjadi generasi yang lincah, ribut, rame, tapi hanya eksis di permukaan hidup. Seperti yang diutarakan Leong Yan bahwa "satu-satunya yang tetap dari anak muda adalah perubahan itu sendiri," semua acara MTV sangat identik dengan perubahan. Isi acaranya yang selalu harus bertempo cepat, sigap, dengan lagu-lagu yang tak terlalu rumit,VJ-VJ yang silih berganti dengan kostum yang juga harus mengikuti trend atau bahkan menciptakan trend, dan istilah-istilah yang berseliweran yang kemudian menjadi "bahasa MTV" ("MTV, I like", "The Coolest Station", "Nongkrong Terus di MTV") seolah mewakili generasi yang—disebut Radhar Panca Dahana—"enggak mau ruwet dan enggak mau susah."

Menurut Radhar, ini memang konsekuensi logis dari segmen yang dipilihnya, yaitu remaja, usia 14-34 tahun, yakni satu generasi yang berada pada masa pancarobanya, pada dinamikanya yang tertinggi. Dengan demikian, segala hal harus berubah dengan cepat. MTV menyadari semua itu, kemudian menyesuaikannya dengan konsumennya yang memang kita sebut pop. Dan karena MTV adalah bagian dari pop culture alias kebudayaan pop, menurut Radhar, kita tak bisa mengharapkan acara-acara dengan pemahaman yang mendalam. Bagi Radhar, fenomena MTV sesungguhnya adalah kelanjutan dari apa yang pada 1930-an disebut sebagai Coca-Cola culture, yang kemudian berlanjut ke Marlboro, McDonald's, CNN, sampai ke MTV.

Tapi apakah ini sebuah revolusi? Tampaknya masih harus diuji dengan waktu. Hingga kini, setelah lima tahun, tanpa kendala bahasa, MTV tak lagi muncul sebagai sekadar sebuah stasiun televisi musik, tapi juga menawarkan sebuah gaya hidup. "Market department kami berusaha menelusuri perilaku anak-anak muda itu, dan kemudian melakukan kampanye, sehingga MTV bisa mempengaruhi perilaku mereka," kata Leong Yan. Kini, dengan munculnya MTV on Sky, radio yang menggunakan format MTV, remaja kian terkepung. Gempuran MTV terasa makin dahsyat saja.

Perilaku yang ikut tersentuh salah satunya adalah gaya berpakaian. Desainer dan pengamat mode Samuel Watimena menganggap bahwa saluran televisi ini berhasil menjadi trendsetter. Samuel menunjuk beberapa model pakaian yang biasa dipakai para VJ yang kemudian menjadi busana anak muda secara luas, yakni cargo pants alias celana lapangan (celana yang memiliki kantong di kanan dan kiri bagian paha), tank top atau baju mini untuk wanita tanpa penutup pada bagian pundak, dan juga T-shirt serta kemeja body fit alias kemeja yang ketat menempel di badan, yang kini tengah digemari remaja pria.

"Dulu, sebelum MTV berkibar, fashion itu dimulai dari kalangan atas, yakni kalangan dewasa dan mapan. Kalangan `bawah' biasanya cuma bisa bermimpi memilikinya. Revolusi terjadi begitu MTV masuk. Trend itu ternyata bisa muncul dari kalangan bawah juga," ujar Samuel. Hal itu, masih kata Samuel, turut menginspirasikan para perancang busana untuk menciptakan desain baru yang senapas dengan gaya MTV yang berupa "busana jalanan" atau streetwear. "Kita bisa lihat sekarang produk Christian Dior yang biasanya classy itu. Kini justru yang paling laku adalah produk-produk streetwear," kata Samuel.

Gaya MTV ini menimbulkan sebuah kutub baru dalam dunia mode. Kutub yang dimaksud Samuel adalah tata busana yang menabrak teori dengan menghalalkan hal-hal yang tidak lazim. Pandangan baru ini menyebabkan perpaduan warna, misalnya, tidak lagi penting, dan jahitan kelihatan tidak rapi serta rancangan baju memang sengaja "dirusak".

Dan dampak MTV juga ikut mempengaruhi para kreator lokal seperti pembuat videoklip dan pemusik. Videoklip pemusik (Barat) dan musik yang ditayangkan telah memberikan referensi yang baik untuk menghasilkan karya yang baik. Dimas Jayadiningrat, misalnya, mengaku mendapat masukan yang banyak dari stasiun televisi ini.

Bahkan, Oleg Sancabakhtiar, yang juga sutradara videoklip, menyatakan MTV telah menjelma menjadi "textbook" buat para sutradara videoklip. "Kalau untuk videoclippers, enggak perlu munafik, pengaruh MTV itu pasti ada dan tak terhindarkan," katanya. Hasilnya memang istimewa. Klip video hasil garapan mereka sungguh berbeda dibandingkan dengan karya pembuat klip sebelumnya, baik dari segi teknik, cerita, maupun tata cahaya.

Tak perlu menunggu pengakuan para sutradara videoklip itu sendiri, karya-karya sutradara videoklip seperti Rizal Mantovani, Dimas Jayadiningrat, dan Richard Buntario jelas mendapatkan pengaruh yang kuat dari videoklip yang ditayangkan MTV.

Begitu pula yang dirasakan Armand Maulana, vokalis kelompok musik Gigi. Kehadiran kanal televisi ini mendorong tingkat apresiasi pendengar musiknya. "Itu bisa terlihat dari sikap mereka yang lebih apresiatif," katanya. Armand menilai hal itu tak lepas dari video musik yang sering diputar di MTV. Alhasil, para pemusik pun tak bisa main-main dalam berkarya karena arus persaingan dan sikap kritis penonton MTV akan menentukan pilihannya.

LANTAS, SEBERAPA KUATKAH PENGARUH MTV BAGI REMAJA INDONESIA? Jangan-jangan apa yang disampaikan televisi ini, baik melalui celoteh para veejay maupun lewat lirik dalam lagu, diam-diam telah merasuk dalam benak remaja kita? Benar pulakah telah terjadi invasi kultural melalui budaya populer yang disemburkan lewat layar kaca itu?

Garin Nugroho melihat pengaruh MTV lebih bersifat pada fisik, yakni pada bahasa tubuh. "Jadi, mereka hanya mentransfer dunia simbol fisik semata, bukannya pada nilai-nilai intrinsiknya. Padahal, di balik MTV, ada filosofinya: menghormati lingkungan hidup, anti-kekerasan, dan sebagainya. Nah, hal-hal ini belum bisa ditransfer," kata sutradara layar lebar yang juga beberapa kali memproduksi videoklip lagu Katon Bagaskara itu.

Radhar Panca Dahana, pengamat budaya populer, mengatakan apa yang disampaikan MTV bukanlah sebuah invasi kultural. Yang dilakukan MTV itu tak berbeda dengan yang sudah dilakukan Marks and Spencer—merek busana yang cukup kondang—atau McDonald's. Menurut dia, seperti yang terjadi pada produk-produk dari Negeri Paman Sam itu, sukses amat dipengaruhi oleh kondisi remaja Jakarta yang labil, sangat mudah dipengaruhi, dan tentu saja konsumtif. Tak pelak, keadaan seperti itu merupakan pasar yang empuk. Sedangkan Sarah Sechan, veejay MTV, dengan tegas membantah bila dikatakan MTV membawa perubahan terhadap kultur remaja.

Ia membantah bila MTV disebut telah ikut mengubah perilaku remaja Indonesia lewat ocehannya. Sebab, untuk itu, MTV Asia melakukan saringan yang ketat. Sarah mengulas sebuah pengalamannya. Saat itu, ketika menutup acara yang dibawakannya, MTV Land, Sarah sempat melontarkan sebuah kalimat yang kira-kira berbunyi, "Lu mau nakal, mau baik, terserah. Yang penting nonton MTV." Tak dinyana, sang pengarah acara langsung memotong ucapannya itu. Hal semacam itulah yang dimaksudnya saringan yang ketat. "Itu mungkin bisa dilakukan di MTV Eropa atau Amerika. Kita lihat Jenny McCarty. Ngomongnya sedikit menyerempet soal seks," katanya.

Segendang sepenarian, begitu pula komentar Jamie Aditya. VJ yang disukai karena kocak dalam membawakan acara ini mengakui adanya lirik-lirik lagu dengan sedikit cerita menyentuh persoalan seks yang ditayangkan di stasiun tempatnya bekerja itu. "Kalau soal seks bebas, itu kan karena pergaulan. Yang penting, sekarang ini, menguatkan iman saja," kata Jamie.

Lalu, apa sih komentar para remaja itu sendiri? Tak semua "termakan" MTV. Mereka memiliki filter sendiri. Aldi, mahasiswa sebuah perguruan tinggi di Jakarta, misalnya, menganggap bahwa saluran televisi ini tak lebih dari sarana hiburan. Baginya, MTV tidak memberikan inspirasi sedikit pun. Sedangkan Dian Sastrowardoyo, fotomodel dan bintang film yang berperan sebagai pemain utama dalam film Bintang Jatuh, mengaku tidak terpengaruh dengan gempuran saluran televisi itu. Bagi gadis yang baru saja lulus SMU itu, MTV bukanlah tempat yang cocok untuk menggali pengetahuan yang diperlukannya.

MTV Asia memang baru berusia lima tahun. Waktu masih akan menantang, apakah MTV telah melakukan sebuah "revolusi", atau gempuran siaran televisi ini cuma geliat sesaat. Jika MTV hanya sekadar geliat anak muda, lambat-laun pesonanya bisa menghilang seperti di tanah kelahirannya. Dan jika memang itu yang terjadi, mungkin para pengelolanya harus mulai berpikir bahwa ada baiknya membuat hiburan yang juga memiliki kedalaman. Pada akhirnya, remaja atau generasi muda juga akan membutuhkan apa yang dianggap sebagai "trendsetter", "cool", atau "funky".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus