Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di sana ada foto dengan keterangan “mantan Direktur Utama Petral, Bambang Irianto”. Saya sangat keberatan karena foto tersebut adalah foto saya. Saya meminta Tempo mengklarifikasi, mengoreksi, dan menyatakan permintaan maaf untuk memulihkan nama baik saya.
Nawazir
Bekasi, Jawa Barat
Terima kasih atas surat Anda. Kami mohon maaf atas kekeliruan pemuatan foto tersebut. Foto Bambang Irianto yang benar dimuat dalam halaman ini. Surat ini sekaligus meralat pemuatan foto pada edisi tersebut.
Mantan Dirut Petral, Bambang Irianto. bumn.go.id
Keberatan Wahyu Muryadi
DALAM surat pernyataan keberatan Kementerian Pertanian yang dimuat majalah Tempo edisi 16-22 September 2019 disebutkan bahwa saya menginisiasi dan memfasilitasi, termasuk dalam penyediaan helikopter, peletakan batu pertama pembangunan pabrik gula PT Pratama Nusantara Sakti (PNS) di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, pada 22 Mei 2017.
Frasa “menginisiasi dan memfasilitasi” tersebut sama sekali tidak benar. Saya hanya memperkenalkan teman lama saya, Yohanes Hardian Widjanarko, komisaris di perusahaan tersebut, kepada Menteri Pertanian Amran Sulaiman. PT PNS sedang menggarap proyek guna meningkatkan produksi gula nasional sehingga patut didukung pemerintah: perkebunan tebu pertama di Indonesia yang memanfaatkan lahan rawa secara bertahap seluas 30 ribu hektare.
Saya tak tahu-menahu ihwal teknis pelaksanaan acara tersebut yang secara langsung diatur kedua pihak. Saya datang ke acara tersebut atas undangan Menteri Pertanian dan Pak Yohanes Hardian untuk melakukan peliputan jurnalistik secara profesional.
Wahyu Muryadi
Bekasi, Jawa Barat
Sulitnya Membayar PBB
DARI 33 perusahaan yang hengkang dari Tiongkok karena imbas perang dagang Amerika Serikat-Tiongkok, 23 masuk ke Vietnam dan 10 ke Kamboja, Thailand, serta Malaysia. Tidak ada satu pun perusahaan masuk ke Indonesia antara lain karena Indonesia berisiko, complicated, dan proses perizinan lama. Bagi saya, hal tersebut tidaklah mengherankan. Untuk membayar pajak bumi dan bangunan saja, saya mengalami kesulitan yang nauzubillah. Setidaknya ada lima kesulitan:
1. Pembayaran PBB rumah saya di Cisarua, Kabupaten Bogor, hanya bisa lewat dua bank: BRI dan BJB. Jelas sekali ada praktik duopoli di sini. Untuk melindungi BJB? Ini bukan cara sehat untuk melindungi sebuah bank! Komisi Pengawas Persaingan Usaha harus menelaah praktik duopoli yang jelas merupakan persaingan tidak sehat dengan bank lain, seperti BCA, ini. Dan ini jelas menyusahkan pembayar pajak.
2. Tidak semua kantor cabang kedua bank tersebut bisa menerima pembayaran PBB Kabupaten Bogor. Di BRI Taman Galaxy, Bekasi, saya tidak bisa membayar PBB tersebut. Di mana teknologi informasi era 4.0 yang digembar-gemborkan Joko Widodo?
3. Di BJB Taman Galaxy, saya tiba pada pukul 12.00 lewat sedikit. Ternyata tidak ada layanan perbankan karena jam istirahat pukul 12.00-13.00. Terpaksa saya menunggu bersama beberapa nasabah lain. Hari gini perbankan masih tidak memberikan layanan pada pukul 12.00-13.00? Sudah tahunan bank-bank global, seperti Citibank dan HSBC, tetap melayani nasabah pada pukul 12.00-13.00. Bahkan banyak nasabah memanfaatkan waktu istirahat tersebut untuk melakukan transaksi perbankan. Bagaimana mau masuk pasar global kalau layanan perbankan saja masih pakai istirahat makan siang segala? Ini mah gaya perbankan 1970-an.
4. Pembayaran PBB harus dilakukan secara tunai. Di BJB Taman Galaxy dan BRI Summarecon, Bekasi, saya diberi tahu hanya bisa membayar secara tunai, tidak dapat menggunakan kartu kredit. Hari gini masih pakai tunai? Perbankan kita masih dalam era 1.0 kali, ya?
5. Saya tidak bisa menarik uang tunai di kedua bank tersebut. Padahal kartu debit/ATM saya punya jaringan Cirrus dan Prima. Mana interkoneksi antarbank di era 4.0? Saya harus berjalan ratusan meter ke ATM BCA untuk mengambil uang sekitar Rp 5 juta guna membayar PBB.
Di negeri ini mau membayar pajak/melaksanakan kewajiban warga negara saja susahnya minta ampun, apalagi untuk mendapatkan hak-haknya. Pak Jokowi jangan bicara muluk-muluk tentang visi Indonesia dan era industri 4.0. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan karena ketidakberesan dalam hal-hal mendasar.
Hadi Satyagraha
Petamburan, Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo