Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 7 November 2013, saya diberi PPJB. Saya menolak karena perjanjian banyak merugikan pembeli. Tapi saat itu saya terpaksa menandatanganinya setelah 15 hari menunda karena developer menyatakan uang muka 30 persen serta cicilan tiga kali senilai kurang-lebih Rp 220 juta akan hangus.
Saya membayar sampai lunas. Pada 7 Januari 2015, dalam surat identitas debitor saya terdata mutasi kredit di Bank Artha Graha setiap bulan. Saya mengunjungi Artha Graha pusat meminta salinan mutasi kredit, tapi sampai kini tidak pernah diberi baik oleh bank maupun PT Bina Berkat dan notaris pembuat akta pengalihan piutang, Mariana Subagia, SH.
Sebab, pengalihan piutang tak sesuai dengan jumlah piutang jatuh tempo lunas, yang seharusnya 15 Mei 2015 tapi oleh Bank Artha Graha dinyatakan lunas Juni 2015. Saya melapor ke Otoritas Jasa Keuangan. Tapi, oleh Direktur Pelayanan Konsumen, setelah saya bersurat dua tahun, tindakan bank itu dinyatakan sesuai dengan hukum. Saat ini saya telah melaporkan tindakan itu ke Ombudsman. Saya juga telah melapor ke Kepolisian Daerah Metro Jaya, yang kemudian melimpahkan laporan ke Kepolisian Resor Metro Jakarta Barat. Sampai sekarang, kasus tak berlanjut.
Persidangan berlangsung selama sebelas bulan. Hakim bertemu dengan saya di luar persidangan dan meminta uang. Di tingkat banding, Pengadilan Negeri Tangerang menerima gugatan melewati tenggang waktu dan dalam salinan resmi putusan menghilangkan dua surat alat bukti serta terdapat kesalahan amar putusan. Saat saya melapor ke Komisi Yudisial, keberpihakan bukan kepada saya.
Sekarang harapan saya adalah kasasi serta Badan Pengawasan Mahkamah Agung dan Ombudsman untuk tegaknya keadilan dan berjalannya hukum di Indonesia. Saya berharap, dengan dimuatnya surat ini, kejadian seperti itu tidak terulang dan para korban ikut berbicara. Agar rakyat Indonesia, juga dunia, tahu bahwa kolusi dan nepotisme terjadi di negeri ini.
Mangala Iddhi Chandra
Tangerang, Banten
Sampah Plastik
SEBAGAI orang Bogor, saya merasakan akhir-akhir ini siang lebih panas dengan cuaca yang gerah. Bogor sudah tak dingin lagi. Ketika sore dan hujan, curahannya terasa lebih deras dengan petir yang besar. Mungkin ini yang disebut dengan dampak perubahan iklim. Saya baca di berita bahwa Indonesia adalah produsen sampah plastik terbesar setelah Tiongkok. Saya kira kita semua harus memikirkan soal ini. Sampah plastik itu merusak lingkungan. Lingkungan yang rusak membuat cuaca bisa berubah karena suhu menjadi bertambah panas, yang akibatnya hujan menjadi lebih deras.
Saya kira bencana banjir, juga badai topan yang macam-macam namanya itu, tak lepas dari soal kerusakan lingkungan tersebut. Mungkin benar industrialisasi yang menjadi biang keroknya. Tapi gaya hidup kita setidaknya juga mempengaruhi. Majunya bidang kuliner akibat ekonomi dan daya beli yang naik membuat problem lain yang merusak lingkungan: sampah. Tapi manusia memang tak bisa menghilangkan sampah. Yang bisa kita lakukan adalah menguranginya, terutama sampah plastik.
Sebab, plastik susah diurai oleh alam. Bahkan paus bisa terbunuh akibat kita membuang sampah sembarangan. Jadi mungkin perlu kampanye besar untuk mengurangi sampah karena dampak buruknya kelak menimpa kita sendiri. Sayangnya, soal serius ini tak menjadi bahan perdebatan calon presiden kita. Tidak terlihat apa agenda para calon presiden membasmi sampah, terutama sampah plastik. Sebaiknya ini menjadi bahan kampanye yang riil sehingga kita punya harapan: pada masa depan, Indonesia bisa mengurangi sampah plastik.
Hj Dewi
Bogor, Jawa Barat
MRT Jakarta
MODA raya terpadu (MRT) diresmikan pekan ini. Semoga tak ada halangan sehingga kita benar-benar bisa merasakan punya transportasi publik yang bagus dan keren. Para duta besar yang menjajal MRT memuji sarana transportasi ini bagus. Saya setuju karena, mungkin, MRT ini masih baru dan belum serumit di Jerman atau Inggris. Semoga kita bisa terus meningkatkan transportasi seperti ini, mengingat jalanan di Jakarta sudah sangat ruwet.
Ke depan seyogianya pengembangan tak hanya di Jakarta. Berkat otonomi, ekonomi bergerak ke daerah sehingga daerah yang tak siap dengan pendukungnya kini juga macet seperti Jakarta. Padahal kemacetan adalah buang waktu dan buang potensi ekonomi. Jangan sampai potensi ekonomi kita yang besar ini habis hanya karena urusan transportasi yang buruk.
Maman Hermawan
Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo