DULU, Biro Medan suka kami juluki"Biro Kriminalitas." Soalnya, hampir tiap minggu kami menurunkan berita, berita mengenai kriminalitas dari daerah-daerah yang dibawahkan biro ini -- Sumatera Utara dan Aceh. Tapi bukan berarti tingkat kejahatan di kedua provinsi itu tinggi. Itu semata-mata karena kuping wartawan kami yang bertugas di sana peka bila mendengar info-info tentang kejahatan. Minggu lalu, misalnya, kami menugasi Sarluhut Napitupulu, 29 tahun, meliput kasus seorang abang membunuh adiknya di Desa Blang Siguci. Aceh Timur. Meski tidak bisa berbahasa Aceh, Sarluhut tak kekurangan akal untuk mengorek cerita dari pelaku. Ia memakai seorang penerjemah buat mendapatkan bahan tulisan. "Kalau tak pakai akal, aku bisa pulang tak bawa apa-apa," katanya. Laporan Sarluhut merupakan bahan yang memperkaya Laporan Utama pekan ini. Sebetulnya kami punya wartawan asli Aceh: Makmun Al Mujahid. Tapi minggu lalu Makmun, yang berasal dari Blang Siguci, ada tugas lain. Kalau Sarluhut tak segera kami tugasi, bisa-bisa berita pembantaian yang cukup sadistis itu (leher korban putus dan tangannya terpotong empat) kehilangan, aktualitasnya. Sudah jadi motto kami: semua wartawan TEMPO harus bisa meliput semua berita. Karena itu, sejak dua tahun lalu, daerah liputan Biro Medan kami perluas -- meliputi Sumatera Barat dan Kiau. Di Padang kami menempatkan Fachrul Rasyid dan Elprisdat -- keduanya asli Minang. Di Pakanbaru, kami menugasi Affan Bey Hutasuhut. Affan, 35 tahun, meski asli Batak, pernah menjadi wartawan di berbagai kota di Jawa hampir selama 10 tahun. Tak heran bila ia paham bahasa Jawa bahasa yang banyak membantunya dalam mewawancarai pejabat atau anggota masyarakat yang berasal dari Jawa. Karena daerah liputannya luas, sudah tentu "sumbangan" Biro Medan tiap minggu cukup besar Karena itu tak cuma Sarluhut yang mangkal di kantor Biro Medan. Di situ juga ada Bersihar Lubis, yang sering kami tugasi meliput berita ke pelosok-pelosok yang cuma bisa dijangkau dengan ojek, perahu atau jalan kaki. Maka, Bersihar suka dipanggil teman-temannya di Biro Medan: "Pak Bupati". Soalnya, pengetahuannya tentang keadaan di daerah-daerah terpencil sama baiknya dengan bupati setempat. Wartawan Biro Medan yang lain adalah Mulchlizardy Mukhtar. Sarjana kimia lulusan Universitas Sumatera Utara ini sering meliput hal-hal yang berkaitan dengan rubrik ilmu dan Teknologi serta Lingkungan. Di samping itu juga ada Irwan E. Siregar, yang sebelum bergabung dengan kami pernah menjadi wartawan Bisnis Indonesia di Jakarta. Wartawan yang gemar menulis cerita pendek ini (karyanya pernah dimuat di berbagai media) rupanya tak betah di Jakarta, lalu pindah ke Padang, dan kemudian ke Medan. Mau tahu "komandan" Biro Medan? Dialah: Monaris Simangunsong. Ia adalah Kepala Biro Medan yang ketiga setelah Zakaria M. Passe dan Agus Basri -- dua nama terakhir sekarang kami tempatkan di Jakarta. Monaris, yang dibantu seorang sekretaris, Komaria, menyebut ada satu hal yang sejak dulu tak berubah di Biro Medan: "tradisi kekerabatan". Dengan tradisi itu Monaris menggerakkan rekan-rekannya dari berbagai etnis tersebut. Horas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini