PENGAMATAN orang luar biasanya obyektif. Maka, dalam semangat ini, pidato perpisahan Duta Besar Amerika Serikat Paul Wolfowitz, di Pusat Kebudayaan Amerika Serikat Rabu dua pekan lalu, layak disimak. Apalagi ia memang memiliki segudang bekal sebagai pengamat politik. Selain mengantungi ijazah doktor di bidang ilmu politik dan pernah mengajar di universitas, Wolfowitz juga pernah menyandang sejumlah jabatan tinggi di Departemen Luar Negeri serta Departemen Pertahanan (Pentagon) Amerika. Bahkan, sepulang dari Jakarta, Wolfowitz akan menjabat sebagai undersecretary for policy di Pentagon. Jabatan itu, menurut Wakil Presiden Dan Quayle, "adalah kedudukan nomor tiga di Pentagon." Nah, menurut Wolfowitz, Indonesia telah menggelarkan sejumlah jurus yang tepat dalam menjalankan sistem kenegaraannya selama Orde Baru. "Dalam 20 tahun terakhir ini, Indonesia dengan tepat mengkonsentrasikan diri pada perbaikan nasib rakyatnya dan bukan merebut pentas dunia," katanya. Wolfowitz juga memuji tindakan deregulasi yang telah membuat Indonesia berhasil mengatasi krisis ekonomi akibat jatuhnya harga minyak dunia. "Dalam masa tugas saya di sini, ekonomi Indonesia berhasil menghindar dari ramalan suram para pakar ekonomi," katanya. Ia menambahkan tindakan deregulasi itu bukanlah tindakan yang mudah diputuskan. Soalnya, dengan deregulasi ekonomi, berarti semakin terbuka perekonomian Indonesia terhadap kekuatan pasar. Dengan demikian, pihak yang selama ini diuntungkan oleh adanya regulasi tentu dirugikan. Wolfowitz menambahkan, masih banyak rangkaian deregulasi yang harus dilakukan Indonesia, karena kehadiran "ekonomi biaya tinggi" masih terasa. Wolfowitz berpendapat, keterbukaan sistem ekonomi ini harus pula diikuti dengan keterbukaan dalam sistem politik. Keterbukaan sistem politik ini diperlukan jika kelanjutan penembanan sistem ekonomi ingin dipertahankan. "Tanpa keterbukaan, justru dapat mengakibatkan sistem tidak stabil," katanya. Kaitan keterbukaan ekonomi dan politik ini terutama karena perkembangan ekonomi modern sangat tergantung teknologi informasi. Penguasaan teknologi informasi tak dapat dilakukan dalam negara yang tertutup. Buktinya, Uni Soviet dan Cina harus menyibakkan tirai mereka dengan perestroika dan liberalisasi. Pendapat Wolfowitz itu didukung Menko Polkam Sudomo. "Keterbukaan itu mutlak perlu dalam Demokrasi Pancasila," katanya. Hanya saja, tuturnya lagi, penerapannya tidak bisa disamakan seperti yang dilakukan di Amerika. Sedangkan Mendagri Rudini menyebut pidato Wolfowitz itu sebagai kritik yang membangun. "Kita harus mengakui bahwa Wolfowitz bisa mendalami dan menghayati cara berpikir dan cara hidup bangsa kita," kata Rudini, memuji duta besar yang populer di berbagai kalangan tersebut. Di mata Ketua MPR/DPR Kharis Suhud Wolfowitz dikenal sebagai orang yang dengan caranya sendiri berupaya keras mengangkat harkat para wakil rakyat Indonesia. "Ia adalah duta besar yang pertama kali mengupayakan kunjungan senator atau congressman ke DPR," kata Kharis Suhud. "Dulunya DPR tidak dianggap. Congressman datang, ke menteri, lalu ke Presiden, dan terus pulang." Kini, berkat Wolfowitz, DPR selalu masuk dalam agenda kunjungan tamu penting dari Negara Paman Sam. Diah Purnomowati, Sidartha Pratidina, Liston P Siregar dan Bambang Harymurti (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini