Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setujukah Anda terhadap penghentian privatisasi air dan pengembalian pengelolaan air kepada pemerintah?
|
||
Ya | ||
79,1% | 577 | |
Tidak Tahu | ||
3,5% | 25 | |
Tidak | ||
17,4% | 127 | |
Total | (100%) | 729 |
MAHKAMAH Agung membatalkan privatisasi air di DKI Jakarta. Dalam putusan tertanggal 10 April 2017 yang dipublikasikan pada 10 Oktober 2017 itu, MA memerintahkan pemerintah DKI menghentikan penswastaan air minum yang dijalankan badan usaha milik daerah PT PAM Jaya bersama pihak swasta, yaitu PT Aetra Air Jakarta (Aetra) dan PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja). "Menyatakan para tergugat melawan hukum karena menyerahkan kewenangan pengelolaan air Jakarta kepada pihak swasta," demikian bunyi putusan itu. Kasasi diajukan oleh Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta. Majelis hakim kasasi yang dipimpin Nurul Elmiyah juga memerintahkan pengelolaan air minum di Jakarta disesuaikan dengan Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 1992. Peraturan itu memberikan kewenangan kepada PAM Jaya untuk menyediakan dan mendistribusikan air minum kepada masyarakat. Pengambilalihan kembali pengelolaan air tanah Jakarta dinilai akan menguntungkan pemerintah Jakarta dan pusat. "Pemerintah bakal terhindar dari pembiayaan defisit yang sangat besar akibat kerja sama ini sejak awal," ujar Nila Ardhianie, peneliti air dari Amryta Institute. Selama ini, kerja sama antara Palyja asal Prancis dan Aetra dari Inggris terbukti merugikan PAM Jaya. Audit Badan Pemeriksa Keuangan DKI menunjukkan perusahaan daerah itu merugi Rp 1,4 triliun sejak perjanjian kerja sama dimulai pada Februari 1998 hingga Desember 2015. PAM Jaya berkewajiban memastikan dua perusahaan swasta pengelola air tetap mendapat untung hingga kontrak berakhir pada 2023. Akibatnya, PAM Jaya berkewajiban membayar biaya shortfall atau selisih biaya produksi dan penerimaan. Putusan MA menghentikan privatisasi air bersih sejalan dengan sikap Mahkamah Konstitusi pada Februari 2015, yang membatalkan Undang-Undang Sumber Daya Air. MK menyatakan sumber daya air sebagai hak asasi manusia. Maka pihak swasta tak boleh menguasai sumber air dan sumber daya air, kecuali pengusahaan dalam jumlah atau alokasi tertentu. Kepala Biro Hukum DKI Yayan Yuhanah mengatakan pemerintah Jakarta masih mengkaji kerugian dan keuntungan putusan MA. Pemerintah DKI juga memikirkan kemungkinan Palyja dan Aetra menggugat ke arbitrase internasional jika kontrak diputus. "Kalau mereka ke arbitrase, DKI mengeluarkan biaya lagi, dan waktunya lebih lama," ucapnya. Hasil jajak pendapat pembaca Tempo.co menunjukkan mayoritas sepakat mengembalikan pengelolaan air tanah kepada pemerintah. |
Indikator Pekan Ini Setujukah Anda dengan rencana polisi membentuk Detasemen Khusus Antikorupsi yang berbiaya Rp 2,6 triliun?www.tempo.co. |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo