DI bawah tahun 1900, sebelum agama Kristen masuk kawasan Mori,
ada tradisi di kalangan penduduk yang sekarang termasuk dalam
wilayah kabupaten Poso Sulawesi Tengah itu. Yakni menyimpan
tulang-belulang keluarga yang meninggal, di dalam gua, beserta
harta bendanya.
Upacara memasukkan kerangka tulang-belulang ke dalam gua itu
diberi nama tasima, atau puasu. Dilakukan dengan upacara adat
yang serba unik dan seronok. Nyanyi-nyanyi doa mengiringi acara,
dikaitkan dengan pantun-memantun, disertai mabuk-mabukan. Bak
pesta gembira saja layaknya -- ketimbang pesta dukacita yang
diiringi ratap tangis.
Sebelum beranjak ke acara tasima mayat disimpan di sebuh rumah
kecil bernama tombea sampai menjadi busuk dan tinggal
tulang-belulang. Kemudian tulang-tulang itu dikumpulkan oleh
beberapa petugas yang turun-temurun berprofesi demikian, untuk
dibawa ke upacara mepobinu -- yang mempunyai makna: masa
terakhir untuk bersuka ria dengan si mati. Tulang-tulang
kemudian dibungkus dengan tikar berwarna keputih-putihan, dan
diberi pakaian seperti manusia serta segala jumbai-jumbai
kebesaran. Upacara memberi pakaian itu disebut misa. Untuk
membedakan tulang-tulang pria dan wanita, dipasanglah gelang
mitungke di pergelangan tangan pria dan jumbai lumense yang
panjang pada tengkorak wanita. Kerangka-kerangka yang sudah
didandani kemudian didudukkan berjejer dalam satu pesta woke.
Dan inilah puncak acara besar-besaran yang berlangsung sampai 30
hari.
Didudukkan Berjejer
Semua penduduk di sekitar kampung secara langsung -- tanpa
diundang -- datang berbondong-bondong memenuhi lapangan. Semua
kegiatan termasuk berladang, terhenti. Setiap hari dilakukan
pemotongan kerbau -- dan darahnya dibiarkan menceret pada empat
helai papan yang disilang segi empat, ditaroh di tengah lapangan
dan merupakan panggung untuk acara dopi. Di atas papan yang
penuh darah itu, penduduk yang berpesta disuguhi arak dan boleh
minum sekuat tenaga sampai mabuk, sambil berloncat-loncatan
seenaknya seperti orang histeris (mirip gerak cakalele
Minahasa). Ketika mabuk-mabukan mencapai puncaknya, dan nyanyi
doa sudah tidak terdengar, acara berobah. Kumpulan-kumpulan
kelompok maju ke panggung dopi -- dan saling sindir-menyindir
dengan pantun. Kelompok yang tersudut, dan tidak dapat
menyambut dengan cekatan sindiran pantun lawan, harus segera
angkat kaki dari panggung.
Obrak-abrik
Pantun-pantun itu isinya cukup tajam menyindir lawan kelompok.
Bahkan terkadang nadanya tidak humor lagi -- sudah bercampur
porno. Dalam suasana demikian, duka keluarga yang ditinggalkan
berobah jadi gelak-tertawa diiringi teriakan histeris. Sesudah
itu tulang-belulang diberi sesajen makanan, sementara peserta
pesta menghabiskan juga makanan yang disediakan oleh keluarga
yang meninggal. Kemudian tulang-belulang diangkut beramai-ramai
ke Soliku (rumah besar). Akhirnya digotong ke tempat
peristirahatannya yang terakhir di dalam gua, bersama tumpukan
tulang-tulang yang terdahulu.
Nah. Makam leluhur orang Mori ini, dalam gua-gua yang banyak
bertebaran di sepanjang kawasan ujung timur Kabupaten Poso
rupanya sudah tidak tenteram lagi, ini tak lain akibat ulah
pencuri benda purbakala. Husni Alatas dari TEMPO yang sengaja
berkunjung melihat beberapa gua, menyaksikan tumpukan
tulang-tulang yang berceceran sampai di luar mulut gua.
Menurut Ahmad Ali, pembantu Bupati Poso untuk kawasan Mori, gua
itu terbongkar setelah datang beberapa orang yang mengaku
petugas Dinas Purbakala Jakarta dan berniat melakukan
penyelidikan di sana. Orang itu sampai-sampai membawa surat
tugas dari Dirjen Purbakala, dan malah tanpa mengandalkan
fasilitas Pemerintah Daerah secara diam-diam pergi ke gua-gua
itu. Ahmad Ali baru menyadari ini setelah ia membaca di salah
satu suratkabar tentang adanya beberapa pedagang benda purba
kala yang beroperasi di daerah-daerah, dengan mempergunakan
surat tugas palsu Dirjen Purbakala. "Sekarang, jika ada yang
datang lagi, saya akan minta Bupati cek dulu ke Jakarta", ujar
pembantu Bupati itu dengan menyesal.
Pemerintah Belanda dahulu memang melarang siapa saja mendekati
gua-gua tempat penyimpanan itu. Siapa yang berani melanggar
kontan dapat hukuman berat. "Rupanya penjajah lebih menghargai
makam leluhur kita daripada bangsa sendiri", ujar A. Tumakaka,
seorang pensiunan guru suki Mori di Kolonedale. Adapun Tumkaka
kini bersibuk-sibuk mengumpulkan segala kisah lama dari masa
kejayaan suku bangsa itu. Boleh ditunggu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini