Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Kerangka leluhur yang hilang

Suku mori didaerah poso (sul-teng) memiliki tradisi menyimpan tulang belulang keluarga yang meninggal beserta harta bendanya di dalam gua. kini makam itu telah digerayangi pencuri.

17 Januari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI bawah tahun 1900, sebelum agama Kristen masuk kawasan Mori, ada tradisi di kalangan penduduk yang sekarang termasuk dalam wilayah kabupaten Poso Sulawesi Tengah itu. Yakni menyimpan tulang-belulang keluarga yang meninggal, di dalam gua, beserta harta bendanya. Upacara memasukkan kerangka tulang-belulang ke dalam gua itu diberi nama tasima, atau puasu. Dilakukan dengan upacara adat yang serba unik dan seronok. Nyanyi-nyanyi doa mengiringi acara, dikaitkan dengan pantun-memantun, disertai mabuk-mabukan. Bak pesta gembira saja layaknya -- ketimbang pesta dukacita yang diiringi ratap tangis. Sebelum beranjak ke acara tasima mayat disimpan di sebuh rumah kecil bernama tombea sampai menjadi busuk dan tinggal tulang-belulang. Kemudian tulang-tulang itu dikumpulkan oleh beberapa petugas yang turun-temurun berprofesi demikian, untuk dibawa ke upacara mepobinu -- yang mempunyai makna: masa terakhir untuk bersuka ria dengan si mati. Tulang-tulang kemudian dibungkus dengan tikar berwarna keputih-putihan, dan diberi pakaian seperti manusia serta segala jumbai-jumbai kebesaran. Upacara memberi pakaian itu disebut misa. Untuk membedakan tulang-tulang pria dan wanita, dipasanglah gelang mitungke di pergelangan tangan pria dan jumbai lumense yang panjang pada tengkorak wanita. Kerangka-kerangka yang sudah didandani kemudian didudukkan berjejer dalam satu pesta woke. Dan inilah puncak acara besar-besaran yang berlangsung sampai 30 hari. Didudukkan Berjejer Semua penduduk di sekitar kampung secara langsung -- tanpa diundang -- datang berbondong-bondong memenuhi lapangan. Semua kegiatan termasuk berladang, terhenti. Setiap hari dilakukan pemotongan kerbau -- dan darahnya dibiarkan menceret pada empat helai papan yang disilang segi empat, ditaroh di tengah lapangan dan merupakan panggung untuk acara dopi. Di atas papan yang penuh darah itu, penduduk yang berpesta disuguhi arak dan boleh minum sekuat tenaga sampai mabuk, sambil berloncat-loncatan seenaknya seperti orang histeris (mirip gerak cakalele Minahasa). Ketika mabuk-mabukan mencapai puncaknya, dan nyanyi doa sudah tidak terdengar, acara berobah. Kumpulan-kumpulan kelompok maju ke panggung dopi -- dan saling sindir-menyindir dengan pantun. Kelompok yang tersudut, dan tidak dapat menyambut dengan cekatan sindiran pantun lawan, harus segera angkat kaki dari panggung. Obrak-abrik Pantun-pantun itu isinya cukup tajam menyindir lawan kelompok. Bahkan terkadang nadanya tidak humor lagi -- sudah bercampur porno. Dalam suasana demikian, duka keluarga yang ditinggalkan berobah jadi gelak-tertawa diiringi teriakan histeris. Sesudah itu tulang-belulang diberi sesajen makanan, sementara peserta pesta menghabiskan juga makanan yang disediakan oleh keluarga yang meninggal. Kemudian tulang-belulang diangkut beramai-ramai ke Soliku (rumah besar). Akhirnya digotong ke tempat peristirahatannya yang terakhir di dalam gua, bersama tumpukan tulang-tulang yang terdahulu. Nah. Makam leluhur orang Mori ini, dalam gua-gua yang banyak bertebaran di sepanjang kawasan ujung timur Kabupaten Poso rupanya sudah tidak tenteram lagi, ini tak lain akibat ulah pencuri benda purbakala. Husni Alatas dari TEMPO yang sengaja berkunjung melihat beberapa gua, menyaksikan tumpukan tulang-tulang yang berceceran sampai di luar mulut gua. Menurut Ahmad Ali, pembantu Bupati Poso untuk kawasan Mori, gua itu terbongkar setelah datang beberapa orang yang mengaku petugas Dinas Purbakala Jakarta dan berniat melakukan penyelidikan di sana. Orang itu sampai-sampai membawa surat tugas dari Dirjen Purbakala, dan malah tanpa mengandalkan fasilitas Pemerintah Daerah secara diam-diam pergi ke gua-gua itu. Ahmad Ali baru menyadari ini setelah ia membaca di salah satu suratkabar tentang adanya beberapa pedagang benda purba kala yang beroperasi di daerah-daerah, dengan mempergunakan surat tugas palsu Dirjen Purbakala. "Sekarang, jika ada yang datang lagi, saya akan minta Bupati cek dulu ke Jakarta", ujar pembantu Bupati itu dengan menyesal. Pemerintah Belanda dahulu memang melarang siapa saja mendekati gua-gua tempat penyimpanan itu. Siapa yang berani melanggar kontan dapat hukuman berat. "Rupanya penjajah lebih menghargai makam leluhur kita daripada bangsa sendiri", ujar A. Tumakaka, seorang pensiunan guru suki Mori di Kolonedale. Adapun Tumkaka kini bersibuk-sibuk mengumpulkan segala kisah lama dari masa kejayaan suku bangsa itu. Boleh ditunggu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus