Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Liku-liku pompa makmun

Makmun al rasyid pemilik spbu di medan mengajukan gugatan ke pengadilan karena pertamina menunjuk pihak ketiga sebagai pengelola. spbu itu masih dalam persoalan dengan kodam ii/bukit barisan.

17 Januari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENGADILAN Negeri JakartA PusaT, bulaN Agustus tahun lalu, telah menghukum Pertamina agar membayar ganti rugi Rp 150 juta -- ditambah membayar Rp 100 ribu setiap hari, jika lalai memenuhi keputusan ini -- kepada seorang pengusaha pompa-bensin di Bogor. Yang hampir ketiban rezeki itu bernama Hamzah, penggugat, yang sebelumnya telah mendakwa Pertamina merampas pompa-bensin miliknya Dan menyerahkannya secara sewenang-wenang kepada pihak ketiga, Tji Pak Hwee (TEMPO, 15 Januari 1975). Syukur bagi Pertamina, karena keputusan yang sedianya dapat dilaksanakan lebih dulu, sementara pihaknya naik banding maupun kasasi, oleh Pengadilan Tinggi diperintahkan unntuk ditangguhkan hingga ada keputusan lain yang lebih pasti. Keputusan pengadilan banding atau kasasi lebih lanjut masih ditunggu hingga kini. Tapi belum lagi beres urusan gugatan yang satu ini, seorang pengusaha pompa-bensin lain di Medan tengah pula mengajukan gugatan ke pengadilan. Pokok tuduhannya hampir sama dengan kasus Hamzah di atas. Kali ini Perusahaan Pertambangan Minyak & Gas Bumi Negara itu dikalahkan agar membayar ganti rugi sedikitnya Rp 225 juta. Di Jalan Imam Bonjol, Medan, ada sebuah pompa-bcniu dengan nomor urut SPBU 13111. Orang mengenal pompa-bensin ini milik seorang pengusaha, veteran, bernama Makmun Al Rasjid. Pada permulaan usahanya. Makmun ada hubungan dengan sebuah badan usaha milik Kodam II/Bukit Barisan -- Bausah Dam II/BB. Sebagai perorangan, tahun 1960, Makmun mendapatkan penunjukan sebagai agen PT Stanvac Indonesia. Usahanya berada dalam badan hukum, sebuah firma bernama Fa. Medan Station Servise. Tahun 1972 timbul persoalan antara Makmun dengan pihak Kodam Bukit Barisan. Karena pompa-bensin milik Makmun ini ternyata berada dalam daftar usaha milik Kodam yang harus 'diselamatkan' maka semua urusan mengenai pompa-bensin SPBU 13111 diambil alih oleh Kodam. Ketika Makmun sedang berurusan dengan Oditur Daerah Militer II, mengenai pemilikan pompa-bensin itu, Pertamina menyerahkan pengegolaannya secara resmi kepada Bausah Dam II/BB pada 11 April 1972. Pihak Kodan harus mengakui: "Bahwa pemeriksaan berbulan-bulan oleh Oditur , Militer atas perintah Pangdam, tidak pernah menghasilkan suatu bukti bahwa, pompa bensin itu menunjukkan milik Kodam. Begitu dinyatakan oleh Makmun dalam suratnya kepada Presiden Suharto bulan Oktober lalu -- dalam rangka pengaduan, tentu. Buktinya, urus punya urus: bulan Mei berikutnya Pangdam, waktu itu Brigjen. Yasir Hadihroto, dalam surat keputusanya menyatakan agar persoalan pompa-bensin segera diselesaikan tanpa mengikuti hak perorangan. Juga pada bulan Maret berikutnya, pihak Bausah Dam II/BB sendiri membuat semacam surat perintah, agar pompa-bensin itu dikembalikan saja kepada pemiliknya Makmun al Rasjid. Namun ternyata surat-surat dari pejabat penting militer daerah itu tak bisa jadi pegangan bagi Makmun. Lihat saja: pada bulan Agustus berikutnya, Kodam mengirim surat yang isinya menyatakan bahwa, penyelesaian pompa-bensin itu dikembalikan kepada pihak Pertamina. Hal itu dinilai oleh Makmun, "tidak saja bertentangan antara surat yang satu dengan yang lain, pula pelaksanaannya tidak pernah berjalan sesuai menurut isinya". Silitonga Persoalan Makmun ini terkatung-katung, menurut Makmun sendiri "sudah 23 bulan." Selama itu pula, katanya kepada Presiden Suharto pula, pihak Kodam telah memperdagangkan 30 ton bahan bakar dan puluhan drum minyak pelumas milik Fa. Medan Service Station. Kerugian Makmun katanya: "Waktu itu dapat menguntungkan sekitar Rp 650 ribu sebulan". Kalau lebih diperinci lagi, inilah kerugiannya tercemar nama baik, kehilangan matapencaharian, pinjaman & bunga bank ketika firmanya masih berjalan tak terbayar karena pompa-bensinnya diambil alih orang lain. Dan terasa pahit juga, karena selama ini tagihan pajak masih ditujukan ke alamatnya walaupun sudah dua tahun hasil pompa-bensin diperas oleh orang lain. Persoalan memang tampak tak kunjung selesai hingga pejabat militer setempat silih bergantian. Ya sejak Pangdamnya Brigjen. Yasir Hadibroto mengikuti Brigjen. Alex Prawira Atmadja hingga yang sekarang menjabat Brigjen. Soekoco. Dalam pada itu Pertamina punya kebijaksanaan sendiri. Kepada Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara -- karena instansi ini juga dilapori oleh Makmun. Pertamina menjelaskan: persoalan hanya berkisar antara Makmun dengan pihak Kodam II/BB. "Dan apabila masih ada persoalan-persoalan perdata di antara kedua belah pihak yang masih tinggal, kiranya kurang layak bagi Pertamina untuk ikut-ikut memperkarakannya". Begitu penjelasan Pertamina, bulan April tahun lalu, yang ditanda-tangani oleh Direktur Perbekalan Dalam Negeri Drs. Joedo Sumbono. Kelihatannya kepentingan segitiga ini tak bisa ketemu lagi: pihak Kodam menyerahkan persoalannya kepada Pertamina (walaupun pernah menganggap SPBU 13111 itu milik Makmun sementara Pertamina menganggap tidak perlu mencampuri urusnl Makmun yang hanya bersangkut-paut dengan Kodam. Dan tinggallah nasib Makmun sendiri yang tak berketentuan. Apalagi oleh karena sengketa ini tidak harus merugikan pengelolaan pompa bensin itu sendiri. Maka seketika Pertamina menunjuk pihak ketiga, EH Silitonga, menggantikan kedudukan Makmun. Begini alasannya: sejak 1 Maret 1974 Pertamina mengambil alih SPBU 13111 dan dilola sendiri. Bagi Makmun hanya diberi kesempatan sebulan untuk segera menyelesaikan persoalannya dengan pihak Kodam. Lewat dari waktu itu, "maka Pertamina akan menunjuk pengusaha baru di luar kedua belah pihak", demikian Joedo Sumbono kepada Menteri PAN. Makmun membantah: ketentuan tenggang waktu sebulan bagi penyelesaian sengketa itu tak berdasar sama sekali. Bahkan seandainya Pertamina mau memberi tempo 10 bulan pun, "jika sebelumnya. kepada saya dimintakan persetujuan, tidak akan terselesaikan", kata Makmun. Sebab: surat-surat Kodam terdahulu, yang simpang siur maksudnya. "cukup memberi kesan tidak ada keinginan untuk menyelesaikannya", katanya. Dengan berdirinya Silitonga di Sana, tentu, membuntukan usaha Makmun untuk memperoleh kembali SPBU 13111-nya. Harapannya, kini, tinggal menunggu kata putus dari Pengadilan Negeri di Medan saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus