SAYA salah seorang pengagum Gus Dur, tokoh yang senantiasa memperhatikan cita-cita perjuangannya. Popularitasnya hampir tanpa batas, dikenal di dalam dan luar negeri, baik kalangan muslim maupun nonmuslim. Pemikiran-pemikiran Gus Dur kadang mengentak kita semua. Tidak salah bila dia terpilih sebagai Man of The Year oleh sebuah penerbitan.
Beberapa waktu lalu Gus Dur membuat acara spektakuler, Open House, di rumahnya, Ciganjur, Jakarta Selatan. Gus Dur menyampaikan pemikiran, sikap, dan perasaannya melalui acara ini. Salah satu ide yang dilontarkan adalah "dialog nasional" yang melibatkan empat tokoh, masing-masing Presiden Habibie, Pangab Jenderal Wiranto, mantan presiden Soeharto, dan Gus Dur. Menurut saya pembatasan terhadap empat tokoh ini menunjukkan egoisme, ambisi, dan sempitnya rasa nasionalisme Gus Dur, walaupun akhirnya penunjukan itu ditentukan oleh Soeharto, sebagaimana pengakuan Gus Dur.
Sebagai generasi muda Islam, saya sangat kecewa dengan ulah Gus Dur. Tawaran dialog nasional hanyalah taktik politik Gus Dur untuk memperjuangkan kepentingan kelompok politik tertentu.
Sikap lain yang tidak pantas diperlihatkan oleh mereka yang hadir di Open House adalah rasa bencinya terhadap beberapa menteri dan seorang tokoh proreformasi yang lain. Saya hampir tidak percaya bahwa tokoh seperti Gus Dur sampai hati melecehkan bahkan menghujat seorang menteri dan tokoh lain sebegitu rupa.
Keinginan Gus Dur cuti dari PBNU selama dua bulan dengan tujuan memenangkan PKB dalam pemilu nanti mengundang pertanyaan. Kalau Gus Dur cuti hanya untuk kepentingan politik PKB, lalu bagaimana dengan partai yang memiliki basis NU lainnya? Mengapa hanya PKB yang dijadikan anak emas, sementara lainnya dianaktirikan? Mana peranan Gus Dur sebagai pengayom warga nahdliyin?
Abdul Rachmat Noer
Jalan Baji Ati 13A, Ujungpandang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini