Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Kritik untuk A.A. Baramuli (II)

25 Januari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketika menyimak ucapan A.A. Baramuli di televisi (7/1), ada sesuatu yang terasa mengganjal di hati dan tenggorokan saya, yakni sikapnya yang begitu gencar mengampanyekan Golkar (belum waktunya kampanye), sementara dia masih menjabat Ketua DPA. Dia mengatakan bahwa peranan yang dimainkan dapat dilihat dari baju yang sedang dikenakan. "Kalau pakai baju kuning, ya Golkar; kalau keren begini, sebagai Ketua DPA." Luar biasa! Ternyata Ketua DPA kita begitu terbuka mengakui dia memainkan dua lakon ganda. Lebih hebat lagi, dua "kepribadian" itu bisa berganti-ganti dengan gampangnya hanya dengan mengganti-ganti baju! Saya jadi teringat akan seorang tokoh zaman Orde Baru yang juga menganggap tak masalah memiliki peran ganda sebagai menteri penting dan sekaligus sebagai ketua Golkar. Berganti peran itu ternyata mudah sekali, semudah ia berganti peran dari tokoh dan mesin "penggalang" menjadi "pengganjal" terhadap tokoh yang dipujanya sekaligus dikhianatinya dalam jangka waktu yang sangat singkat. Rasanya masih ada tokoh yang suka berganti-ganti baju di masa lalu yang kini hampir tak muncul lagi di pentas politik, mungkin sibuk atau bingung memikirkan baju apa yang semestinya dipakai saat ini, yang mungkin saja lupa atau belum sempat dipersiapkan. Maklumlah, situasi berubah dan bergerak begitu cepat sehingga mereka yang suka berganti baju menjadi serba terlambat. Hanya mereka yang selalu memakai bajunya sendiri?bukan pinjam dari organisasi?yang bisa kita lihat tetap tegar dan tenang di tengah badai politik saat ini. Begitu pula ketika A.A. Baramuli berkata bahwa ia sudah berkiprah di politik 40 tahun, sementara pengkritiknya belum apa-apa. Rasanya, panjang dan lamanya jangka waktu pengalaman tidak otomatis jaminan akan pendalaman terhadap pengalaman itu sendiri. Bukankah orang bijak mengatakan, "Kita belajar dari sejarah bahwa kita tidak pernah belajar dari sejarah?" Bukankah sejarah Orde Baru nyaris hanya memperbarui kesalahan Orde Lama? Adakah A.A. Baramuli pun sedang mengulangi sejarah arogansi antikritik rezim sebelumnya dan menganggap rakyat begitu saja bisa dibodohi dengan jawaban-jawaban enteng dan sangat dangkal seperti soal berganti baju? Usia saya jauh di bawah Pak Baramuli, tetapi hanya dengan membaca dan memahami sejarah serta melihat tingkah pola tokoh-tokoh dahulu dan sekarang, saya sudah bisa menangkap betapa kompleks sesungguhnya kepribadian seorang manusia beserta jaringan kepentingan-kepentingannya, sehingga baju boleh berganti, tetapi relung hati tetap menjadi misteri. Jauh sebelum Soeharto turun, saya sudah mengatakan kepada teman-teman, nasib Soeharto akan sama seperti Julius Caesar, yang terkaget-kaget ketika pisau orang kepercayaannya menancap di punggungnya dan bertanya pedih, "Engkau juga Brutus?" Itulah kehebatan sekaligus kesalahan Soeharto, menempatkan orang-orang yang gampang dikendalikan melalui tali-temali kepentingan lalu bisa disuruh berganti-ganti baju pinjaman "daripada"-nya. Ketika DPR/MPR pada masa sidang istimewa lalu diadakan voting dengan cara mengangkat tangan, ketua dewan terhormat itu dengan bangga mengatakan, itulah demokrasi sesungguhnya: serba sangat terbuka. Aneh, saya malah melihat tangan-tangan itu diacungkan oleh orang-orang yang sudah terpasung atau dengan penuh kesadaran memasungkan diri dalam suatu kerangka kepentingan-kepentingan entah siapa, yang jelas bukan rakyat. Sebab, kalau betul untuk rakyat, tentunya tahun ini kini memiliki banyak kepastian, bukan malah kekhawatiran. Maka di tengah kepentingan bangsa kita masih belum bisa membedakan barang pinjaman dengan barang pemberian, milik publik dengan milik pribadi, kepentingan pribadi (dan kelompok) dengan kepentingan umum, sebenarnya justru makin diperlukan kejelasan dan aturan yang lebih tegas. Lakon para pemain perlu dipandu tidak hanya oleh kehendak baik yang sering rapuh. Kiranya, antara lain, perlu penegasan agar tokoh-tokoh yang sangat penting posisinya seperti Pak Baramuli cukup memiliki satu "baju" dengan satu lakon. Dengan demikian Pak Baramuli menjadi negarawan yang utuh, pengayom semua golongan yang punya hak yang sama untuk ambil peranan. Negarawan saat ini sungguh makhluk langka, karena umumnya orang terperosok dalam perjuangan sektarian. Pertimbangan lain, di masa lalu banyak pejabat memang memiliki?atau dipinjami?banyak sekali "baju" di panggung politik, seakan Indonesia kekurangan pemain. Padahal itu terjadi karena baju tersebut hanya dibagi-bagi di antara satu kelompok kecil, sementara yang di luar kelompok dianggap tak layak ikut naik pentas dan cukuplah jadi penonton. Anton Magosurya Jalan Kemuning 11, Jakarta 13120

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus