SUATU malam di tahun 1993, di Desa Aloe Sane, Kecamatan Bandar Dua, Kabupaten Pidie, Aceh. Seorang bocah bernama Munawar bermain-main bersama sang bapak, Muhamad Hamzah (37 tahun), di jalan kampung. Tiba-tiba serombongan tentara datang dan menangkap sang bapak. Di depan mata Munawar sendiri, tentara itu kemudian menembak kepala ayahnya. Si bapak kontan tumbang bersimbah darah. Munawar tertegun dan tak bersuara.
Peristiwa mengenaskan itu melekat terus dalam ingatan Munawar, bahkan sampai enam tahun kemudian. Dan ini menyisakan bekas dendam tak berkesudahan. "Saya marah dengan tentara yang membunuh bapak saya. Kalau bisa, saya akan membunuhnya," tekad Munawar.
Kini, dalam usia 12 tahun, Munawar menjadi anak yang lain. Raut muka bocah kelas enam SD itu tampak lebih keras ketimbang teman-teman sebayanya. Pandangannya selalu curiga kepada setiap orang asing yang mendekatinya. Munawar bahkan tampak sangat kaku sampai harus menepiskan tangan sewaktu pundaknya hendak dipegang sebagai tanda keakraban. Uniknya, ia juga merasa perlu mandi dan ganti baju ketika hendak menemui TEMPO.
Syaifuddin Ayyub, murid kelas satu SD di Ulee Gle, Kabupaten Pidie, Aceh, nyaris tak beda. Ayahnya tewas dibantai serombongan orang berseragam hijau pada suatu malam 1994. Mayatnya digeletakkan begitu saja di pinggir jalan, seperti binatang. Entah ada kaitan dengan itu, kini Syaifuddin, sebagaimana dituturkan gurunya, Nurmala Ahmad, jadi anak yang bandel dan cenderung suka mengganggu teman-teman sekelasnya. Bahkan ketika hendak difoto, bocah berusia delapan tahun ini langsung maju ke depan dengan gaya gagah berani, sementara kawan sepermainannya berpose malu-malu.
Begitulah potret kehidupan anak-anak di Serambi Mekah yang terpaksa menjadi yatim gara-gara ayahnya hilang atau terbunuh di tangan aparat. Sekretaris Komisi Hak Asasi Manusia Daerah Aceh (Koshamda), Hasballah M. Saad, punya kisah, ketika beberapa anak dari sana dibawa ke Jakarta. Beberapa di antaranya mengeluarkan ungkapan-ungkapan dalam bahasa daerah yang mencerminkan kebencian pada tentara. "Umpamanya, maaf ya, seperti bui tentra nyan. Kugilhe ma jih. Kugilhe ulee jih meunyo meurumpek. Artinya, 'babi tentara itu. Kuinjak ibunya. Kuinjak kepalanya kalau ketemu'," kisah Hasballah.
Jumlah anak-anak seperti Munawar dan Syaifuddin itu tidak sedikit, sejak ABRI menetapkan provinsi di ujung barat Indonesia itu sebagai daerah operasi militer (DOM) pada 1990. Menurut Hasballah, angkanya sekitar lima ribuan. Ia jadi khawatir kalau anak-anak yatim itu kelak tumbuh menjadi generasi pendendam apabila pemerintah tidak menanganinya secara serius. Alasannya, setelah DOM dicabut, dan mereka didata, sampai hari ini belum ada satu pun tindakan konkret dari pemerintah. Tim pencari fakta ke Aceh sudah melapor, Komnas HAM sudah melapor, tapi ABRI hanya sekadar meminta maaf. "Ini kan sepertinya tidak sungguh-sungguh melihat persoalan," tutur Hasballah.
Psikolog pemerhati anak Seto Mulyadi pun punya kekhawatiran yang sama. Dalam suatu acara di Ujungpandang ia menyatakan bahwa anak Indonesia yang tumbuh dengan melihat kekerasan di luar batas, seperti anak-anak di Aceh dan Irianjaya, bisa menjadi generasi pendendam.
Itu sebabnya ia menyarankan agar bocah-bocah itu mesti mendapat pendampingan dan terapi agar perkembangan jiwanya tidak terganggu. "Ini harus dilakukan sejak dini untuk menyeimbangkan perkembangan mereka," kata Seto, seperti dikutip harian Kompas. Soalnya, anak-anak akan sangat mudah mencetuskan apa yang dilihatnya dalam bentuk emosi dan tindakan. Mereka bisa mengidentifikasi diri sebagai pelaku tindak kekerasan dan beranggapan untuk mencapai sesuatu harus dengan kekerasan pula.
Psikolog anak lulusan UI itu wanti-wanti agar para orang tua memberikan kompensasi untuk menetralisasi berbagai peristiwa kekerasan yang disaksikan anak-anak, baik secara langsung maupun melalui media massa seperti televisi, dengan mengajarkan pentingnya saling menyayangi. Di sekolah, guru-guru juga diharapkan lebih banyak menyelipkan pesan moral dan bijaksana saat menjelaskan kondisi negara.
Kalau tidak, akan tumbuh berjuta-juta anak pendendam.
Wicaksono, Mustafa Ismail, Setiyardi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini