Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akhir-akhir ini dialektika tentang pentingnya demokrasi semakin mengemuka. Pernyataan para pakar dan politikus di berbagai media semakin meninggi, sehingga kadang-kadang terasa kebablasan dan membingungkan. Dalam sebuah wawancara atau pertemuan ilmiah, misalnya, seorang pakar menganjurkan agar B.J. Habibie tidak lagi mencalonkan dirinya untuk jabatan presiden pada periode berikutnya. Beberapa alasan yang dikemukakan: tugas Habibie hanyalah mempersiapkan pemilu atau ada kecurigaan bahwa Habibie masih ingin jadi presiden.
Menurut Cak Nur (Nurcholis Madjid), misalnya, "Dia (Habibie) harus menyatakan bahwa dia tidak mau dipilih lagi menjadi presiden. Tugasnya hanyalah mempersiapkan pemilu bulan Mei 1999." Adapun alasan Cak Nur, "supaya penegasan Habibie tersebut bisa sedikit meredakan suasana. Sebab kecurigaan bahwa Habibie masih ingin menjadi presiden itulah yang kini menjadi pendapat umum." (Kompas, 21 November, 1998).
Pandangan Cak Nur sebagai intelektual, budayawan, plus "pejuang demokrasi" tersebut, menurut pengamatan saya, terasa agak janggal--secara implisit tidak selaras dengan nilai-nilai atau kaidah yang melekat pada ketiga atribut tersebut.
Sebagai intelektual, Cak Nur tidak mengemukakan alasan yang bernafaskan keilmuan tapi berdasarkan pada praduga--yang bersandarkan pada anggapan beliau terhadap "pendapat umum" (ini pun kalau benar). Pendapat umum yang mana, tidak jelas. Jumlahnya berapa, juga tidak jelas.
Seharusnya--agar bisa dipertanggungjawabkan--argumen yang dikemukakan mengacu pada konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sampai saat ini, saya tidak melihat satu pun ketentuan konstitusi dan peraturan perundangundangan positif yang meniadakan hak B.J. Habibie sebagai warga negara untuk memilih dan dipilih sebagai presiden.
Setelah Proklamasi kemerdekaan, kita mempunyai negara dan bangsa yang berdaulat, beralaskan hukum dan konstitusi. Artinya, segala sesuatu yang menyangkut penyelenggara negara dan penyelenggaraan negara harus berdasarkan hukum dan konstitusi, "tidak berdasarkan pada kecanggihan opini orang per orang."
Sebagai budayawan dan pejuang demokrasi, saya merasakan pandangan tersebut melewati batas hak dan kewenangan Cak Nur sebagai warga negara.
Adalah wajar di alam demokrasi kita menemukan pro dan kontra. Namun sebagai masyarakat yang berbudaya, pengelolaan konflik, perselisihan pendapat, perbedaan kepentingan, khususnya pemilihan pemimpin pada tingkat kenegaraan, sudah membudaya penyelesaiannya melalui norma-norma dan peraturan yang terlembaga resmi, yang kita sebut pemilihan umum. Cara pandang inilah yang seharusnya dipublikasikan dalam rangka pendidikan politik yang baik bagi masyarakat luas. Peradaban politik ini harus kita pelihara, dan menjadi acuan bersama agar bangsa ini tidak terjerumus ke dalam perilaku saling jegal, saling hasut, atau perilaku keras yang menjurus pada situasi chaos dan anarki. Setelah itu kita lalui, apa pun hasilnya kita harus menerima dengan lapang dada. Inilah proses demokrasi yang terdidik.
ASADI RASYID, S.H.
Depok
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo