Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dr. Nurcholis Madjid (Cak Nur) serta beberapa kiai lainnya menanggapi rencana rnahasiswa mengadakan salat tarawih di Semanggi (Republika, 4 Desember 1998) sangat rnenggelitik saya untuk rnenyampaikan tanggapan. Karena ada beberapa pernyataan yang membingungkan dan tidak konsisten dengan yang dilakukan Cak Nur sendiri terhadap Yayasan Paramadina-nya.
Menanggapi rencana mahasiswa (KB-UI) menyelenggarakan salat tarawih di Semanggi, Cak Nur menyatakan bahwa salat tarawih selain di masjid, itu bidah dan semua tindakan bidah itu adalah sesat. Padahal, sementara ini ada kegiatan-kegiatan keagamaan yang dilakukan Cak Nur di hotel-hotel sementara masjid yang seharusnya diperankan sebagai pusat kegiatan dakwah Islamiah--seperti yang dicontohkan Rasul--beliau tinggalkan, sementara di sisi lain masih banyak bertebaran masjid yang dapat digunakan untuk kegiatan itu. Apakah ini juga dapat dikategorikan bidah?
Dalam bulan Ramadan ini juga saya membaca iklan di Republika, Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) bekerja sama dengan Ikatan Pembimbing Rohani Karyawan Hotel dan Restoran (IPERKAI IRI), serta majalah Amanah menyelenggarakan salat tarawih dari hotel ke hotel. Kalau argumentasinya bidah, sebagaimana dikemukakan Cak Nur, karena Rasul tidak pernah mencontohkan salat tarawih di hotel dan di jalanan, kenapa tidak ada reaksi dari Cak Nur dan ulama-ulama lain. Karena dalam mengomentari rencana mahasiswa tarawih di Semanggi ini Bapak Kiai llyas Ruhiat juga mengemukakan bahwa salat bersama itu sebaiknya dilakukan di masjid saja. Sebab saat ini masih tersedia tempat cukup banyak di masjid. Upaya salat di luar masjid ini, menurut beliau, baru bisa dilakukan kalau memang tempat yang tersedia di masjid sudah benar-benar penuh. "Tapi sekarang ini kan masih banyak masjid yang kosong, mengapa tidak itu saja ditempati," demikian komentar Pak Kiai Ilyas Ruhiat. Lagi-lagi, pertanyaan saya, kenapa Pak Ruhiat tidak pernah
berkomentar tentang kegiatan salat tarawih dan pengajian yang dilakukan di hotel-hotel? Ada kesan bahwa komentar-komentar tersebut tidak konsisten. Saya sependapat dengan Bapak K.H. Shiddiq Amien dalam mengomentari kasus yang sama bahwa kemurnian ibadah itu harus dijaga sebaik-baiknya. Namun, kenapa tatkala dilangsungkan doa istighosah di Senayan (bukan di masjid) tidak pernah ada komentar? Padahal ada sementara orang yang berpendapat secara diam-diam (tidak diekspos di media massa) bahwa ada indikasi kegiatan itu mengandung unsur politik dan ada kesan pengerahan masa untuk menunjukkan eksistensi kekuatan elit politik tertentu. Menurut saya, kalau alasan pelarangan terhadap mahasiswa yang akan menyelenggarakan salat tarawih di Semanggi itu semata-mata karena sangat potensial untuk mengganggu ketertiban umum (ini tentunya harus argumentatif), mungkin akan banyak diterima oleh khalayak ketimbang mengeluarkan alasan bidah, tapi tidak konsisten dengan kegiatan yang dilakukan sendiri oleh tokoh agama yang sangat dihormati itu. Sekali lagi pernyataan seperti itu yang justru potensial untuk mengundang perdebatan dan cemoohan. Karena dalam suatu hadis dikemukakan bahwa "Setiap bagian dari bumi Allah adalah tempat sujud (masjid)" (hadis riwayat Muslim). Pada hadis yang lain Rasulullah S.A.W. bersabda, "Telah dijadikan bagi kita bumi ini sebagai tempat sujud dan keadaannya bersih" (hadis riwayat Muslim). Jadi setiap muslim boleh melakukan salat di wilayah manapun di bumi ini terkecuali di atas kuburan, tempat yang bernajis, dan tempat yang menurut ukuran syariat Islam tidak memenuhi syarat (Drs. Moh. E Ayub dkk, Manajemen Masjid, 1997).
Ketua Majelis Taklim An-Nuur Bintaro Jaya
Jalan Gelatik No. 13 Blok V.2
Bintaro Jaya Sektor II
Jakarta Selatan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo