SEORANG wartawan pemula biasanya diberi nasihat oleh seniornya. Nasihat itu: jika mewawancarai seseorang, janganlah mengajukan pertanyaan seperti seorang Jaksa. Wartawan memang bukan jaksa. Tugas wartawan adalah mengumpulkan informasi dan kemudian melepaskan ke masyarakat dengan penyajian yang menarik, enak dibaca, dan perlu. Seorang jaksa juga mencari informasi, tapi itu lebih ditekankan untuk bahan pengusutan sesuai dengan fungsinya sebagai penuntut umum di pengadilan. Jika perlu dengan "ancaman" hukuman. Wartawan, tentu saja, tidak bisa dan tidak patut mengancam apa pun. Tapi, seperti halnya aksa wartawan pun dituntut untuk mendapatkan informasi yang lengkap dan akurat. Caranya saja yang berlainan. Dalam mengolah informasi itu juga tak sama. Surat dakwaan jaksa tak dibatasi halaman. Kami di TEMPO, bukan cuma punya batas waktu yang ketat, tapi juga batas ruang. Setiap topik berita yang kami olah menjadi cerita sudah dibatasi oleh "kapling-kapling" halaman. Pembatasan itu memang sering merepotkan, tapi apa mau dikata. Tak jarang informasi yang sudah susah-susah kami kumpulkan -- termasuk wawancara -- akhirnya kena "sunat". Syahdan, Kamis pekan lalu, seorang tamu kami, kebetulan seorang jaksa, "mengusut" kami: "Ketika di Ujungpandang saya diwawancarai TEMPO mengenai masa depan Indonesia yang kita impikan, kenapa tidak dimuat? Kalau tak penting kenapa ditanyakan?" Jaksa itu adalah Sukarton Marmosudjono, S.H., jaksa nomor satu di republik ini, alias Jaksa Agung. Kami jelaskan persoalan tadi. Hilangnya wawancara itu bukan karena tak penting, tapi semata-mata soal teknis. Yang tak termuat bukan hasil wawancara dengan Jaksa Agung saja, tetapi ada yang lain lagi. Tamu kami bisa memahami. Bukan saja karena Jaksa Agung yang satu ini kebetulan juga suami seorang wartawati dan penulis, tapi setelah ia melihat sendiri dapur kami, bagaimana berita itu kami olah sampai ditata. Tampak memang bagaimana ketatnya kami dibatasi halaman. "Pengusutan" yang dilakukan oleh Jaksa Agung yang biasa bekerja keras ini -- ia datang ke TEMPO langsung dari Bandara Soekarno-Hatta sepulang dari kunjungan kerja di Padang -- menggembirakan kami. Persoalan bisa jadi jelas, dan lagi pula kasus ini tak cuma dialami Jaksa Agung Sukarton. Ke dalam, kami sudah menempuh langkah-langkah bagaimana mengatasi masalah ini. Kami tak ingin terus-menerus menyita waktu untuk sebuah wawancara yang tak dimuat. Bagi kami, tamu seperti Jaksa Agung Sukarton adalah perangsang dialog langsung dengan sumber berita. Di ruang perpustakaan, misalnya, Jaksa Agung meminta dicarikan data di komputer. "Apa ada surat masuk yang mengkritik kami ?" tanyanya. Setelah Juliana Surya, Kepala Seksi Layanan Informasi Perpustakaan, pencet-pencet keyboard, ternyata yang dicari tak ada. Jaksa Agung menyatakan bagaimana ia dan stafnya perlu mendengarkan pandangan orang lain. Kata-katanya, "Saya, bagaimanapun, 'kan tidak bisa melihat kuping saya sendiri." Jaksa Agung yang didampingi oleh Kepala Hubungan Masyarakat Soeprijadi, S.H., itu bertukar pendapat TEMPO hampir selama 3,5 jam. Dan itu pun karena Pak Sukarton dibatasi -- bukan oleh halaman, tapi ditunggu rapat staf di kantornya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini