Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Lebih dari Seratus Orang Mati, Dosa…

16 Desember 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kecelakaan kereta api di perlintasan Pondok Betung, Bintaro, pada 9 Desember 2013 mengingatkan kita lagi pada peristiwa 26 tahun silam. Tragedi yang terjadi pada hari yang sama, Senin, di Bintaro itu menyisakan duka mendalam.

Majalah Tempo edisi 31 Oktober 1987 menurunkan laporan utama tentang kecelakaan terbesar kereta di Indonesia. Tabrakan KA 225 dengan KA 220 di Bintaro itu diduga karena masinis salah mendengar instruksi pada 19 Oktober 1987. Tabrakan ini mengakibatkan 139 orang tewas dan 123 terluka berat.

Biasanya, KA 225 rute Rangkasbitung-Tanah Abang itu berangkat setelah menunggu KA 220 rute Tanah Abang-Merak melintas di Sudimara. Pagi itu, sekitar pukul 05.05, kereta api tersebut berangkat dari Rangkasbitung membawa 700-an penumpang dan sampai di Stasiun Sudimara pukul 06.50. Kereta yang menyeret tujuh gerbong penumpang itu penuh sesak oleh penumpang yang menuju Tanah Abang. Banyak penumpang duduk di atap gerbong serta berdempetan di dalam lokomotif dan, seperti biasanya, hal itu didiamkan saja.

Menurut pengakuan petugas pengatur perjalanan kereta api (PPKA), Jamhari, kereta api itu hanya berhenti sekitar lima menit di Sudimara, untuk menurunkan dan menaikkan penumpang. Lalu Jamhari meniup peluit, tiiit…, satu kali dan panjang. Itulah yang disebut semboyan 46, berupa perintah kepada kereta api untuk bergerak melakukan langsir. Perintah diberikan Jamhari karena beberapa saat sebelumnya dia menerima pemberitahuan melalui telepon engkol dari petugas PPKA Stasiun Kebayoran Lama, Umriyadi, bahwa KA 220 sudah berangkat pukul 06.46 dari Kebayoran Lama menuju Sudimara.

Untuk itu, KA 225, yang berada di lintasan 3 atau lintasan utama yang akan dilewati kereta yang datang dari Kebayoran Lama, harus segera dipindahkan ke lintasan 1. Stasiun Sudimara memiliki tiga lintasan. Dua lintasan digunakan untuk kereta api yang melakukan langsir. Pada waktu itu, yang kosong memang cuma lintasan 1. Di lintasan 2, ada kereta api pengangkut semen milik PT Indocement dari Cibinong.

Kalau pernyataan Jamhari itu betul, entah apa yang sedang mengganggu Slamet Suradio, masinis itu. Kereta bukan dilangsirkannya sesuai dengan perintah, malah bergerak terus meninggalkan Sudimara. Itu terjadi pukul 06.55.

Jamhari kalang-kabut mengejar sembari meniup peluit dan mengibas-ngibaskan bendera merah. Selain itu, sinyal atau biasa disebut palang kereta api dinaik-turunkan berkali-kali. "Itu tandanya menyuruh kereta berhenti," kata Wikarma, Kepala Stasiun Sudimara.

Tapi semua upaya sia-sia. Kereta api Slamet seakan-akan sudah dituntun menuju maut. Tanpa sadar, nasib menunggu mereka. Para penumpang yang duduk di atap gerbong rupanya gembira kereta ­berangkat lebih cepat. "Mereka malah menyoraki Bapak sambil tertawa-tawa," kata Jasiah, istri Jamhari, yang tinggal di dekat Stasiun Sudimara.

Setelah berjalan 10 menit atau delapan kilometer meninggalkan Sudimara, di kilometer 17, kereta api itu bertabrakan dengan KA 220, yang tadi dilaporkan sudah berangkat dari Stasiun Kebayoran Lama. Slamet mengaku baru melihat di depannya KA 220 datang dari arah berlawanan setelah jarak tinggal 30 meter. Hal itu bisa dimak­lumi karena jalan di situ menikung. Dalam jarak sedekat itu, upaya mengerem pun sia-sia. Menurut teori, dengan kecepatan 50 kilometer per jam, kereta api itu baru bisa dihentikan setelah 400 meter.

KA 225 melaju dengan kecepatan 45 kilometer per jam, sedangkan lawannya, KA 220, yang dikemudikan Amung Sunarya, diduga bergerak cuma dengan kecepatan 25 kilometer per jam karena baru melintasi pintu kereta api Bintaro dan tikungan tadi.

Slamet merasa telah menerima perintah untuk berangkat dari Stasiun Sudimara karena KA 220 datang terlambat. Dia menduga akan bersilang dengan kereta api itu di Stasiun Kebayoran Lama. Tampaknya, Slamet begitu yakin bahwa perintah yang diterimanya itu bukanlah untuk langsir. Katanya, "Kan, semboyannya berbeda."

Ketika disebutkan kepada Slamet di rumah sakit bahwa dialah yang disalahkan dalam peristiwa yang menewaskan ratusan orang itu, dia tampak terbengong-bengong.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus