Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Mencuci Uang, Mencuci Dosa

16 Desember 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rohman Budijanto*

PENCUCIAN uang, yang kian banyak disebut, adalah istilah yang ironis. Tak hanya dijeratkan pada orang yang dituduh melakukan korupsi, tapi juga dibidikkan pada tersangka premanisme (Tempo, 9-15 Desember 2013). Ikhtiar ini dimaksudkan agar pelaku kejahatan kian tak gampang menikmati harta jarahannya.

Letak ironi pilihan kata "pencucian uang" ada pada maknanya. Jika terminologi itu dimaknai secara harfiah, mencuci uang semestinya membuat uang kotor jadi bersih-seperti halnya mobil, baju, sepatu, atau kaus kaki yang menjadi bersih setelah dibasuh. Namun diputarnya uang kotor hasil kejahatan dalam aneka cara pencucian uang tak membuat uang itu jadi bersih, tapi malah menimbulkan kejahatan baru, kekotoran baru.

Seorang koruptor yang menerima suap, misalnya, hanya akan dituduh dengan pasal korupsi jika menyimpan uang sogokan itu di bawah ranjang atau menggunakannya untuk membeli makanan. Tapi pasal tambahan kejahatan pencucian uang akan menghajarnya begitu sang koruptor menginvestasikan uangnya dalam bentuk usaha, seperti jual-beli rumah atau mobil. Pencucian uang dimasukkan ke kejahatan tambahan dari kejahatan pokok atau predicate crime berupa korupsi.

Meski tak sesuai dengan maksud lazimnya, "pencucian uang" menjadi istilah yang sukses "dipasarkan" karena memang gampang diingat. Istilah ini mulai dikenal publik ketika kepala mafia Al Capone di Chicago terbongkar menyamarkan uang kotornya dengan membuka usaha tempat cuci otomatis atau laundromat pada 1930-an. Istilah "money laundering" atau "pencucian uang" lantas saja mendunia karena "dipasarkan" oleh nama besar (atau nama cemar) bos gangster itu. Apalagi kemudian kehidupan penjahat yang mati karena sifilis ini didramatisasi dan diromantisasi dalam berbagai karya pop, termasuk film.

Para pencuci uang sebenarnya mewarisi kelicikan Al Ca–pone. Tapi para penjahat keuangan di negeri kita meluaskan kelicikan itu dengan berusaha menipu diri sendiri juga. Sembari mencuci uang untuk mengelabui aparat hukum, para penjarah kantong rakyat itu juga mencoba membeli pengampunan dosa dengan uang hasil kejahatannya. Sudah banyak kecaman yang muncul ketika orang yang dituduh melakukan korupsi malah berada di Tanah Suci saat dicari aparat.

Melihat gejala yang kian dilumrahkan ini, kita layak melahirkan istilah baru, yakni "pencucian dosa" atau "sin laun­dering". Para tersangka korupsi yang melakukan pelancongan ibadah layak disebut sedang melakukan "pencucian dosa". Sebab, mereka secara kasatmata adalah para pendosa yang sedang dicari aparat untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Selama ini, media tampak enggan menggunakan istilah "pencucian dosa" karena hal itu dianggap wilayah privat. Tapi sebenarnya hal ini absah saja karena mereka dicurigai memakai uang publik untuk peribadatan itu. Lagi pula, di Tanah Suci, mereka bisa diduga sesenggukan mengakui dosanya, meski di depan publik kembali menampakkan ekspresi tak bersalah yang sengit dengan aneka kelit-termasuk ketika mereka mendadak saja menonjolkan bahasa simbolik religius, seperti jilbab, cadar, dan takbir, atau menyelipi percakapan dengan memuji Tuhan, tapi tetap saja kemudian terbukti telak berbohong atas kasusnya.

Mungkin sudah waktunya kita menggunakan istilah "pencucian dosa" bagi para "penjahat religi" karena mereka punya modus yang mirip dengan "pencucian uang". Mereka berupaya mengelabui pihak lain dan diri sendiri bahwa hartanya atau kesalehannya benar-benar dibangun dengan kejujuran. Padahal mereka tahu persis hanya manusia (dan setan) yang saling mengelabui, sedangkan Tuhan mustahil ditipu.

Bukan hanya di Indonesia, pencampurbauran kesalehan ritual dengan kejahatan ini merisaukan Paus Fransiskus. Ada kecemasan yang meluas bahwa para penjahat di Italia kerap menampilkan kesalehannya dengan salib dan patung orang yang disucikan, termasuk mencium rosario sebelum membunuh. Paus pada 8 November lalu blakblakan menegur: "Devotees of goddess of kickbacks (para penyembah dewi korupsi) yang membawa pulang dirty bread (roti kotor) menyebabkan starved of dignity (kelaparan harga diri) pada keluarganya" (www.catholicnews.com). Tentu saja ini titik temu ajaran moral. Yang perlu dipertanyakan hanyalah pemilihan kata "goddess" untuk sesembahan kaum korup, karena tak adil terhadap perempuan (karena lelaki juga melakukan korupsi).

Istilah "pencucian dosa" bersama istilah "pencucian uang" yang populer perlu digencarkan. Berbagai macam cara pembersihan-baik fisik maupun citra-dilakukan agar pelaku tampak bersih dan kantongnya tetap gemuk. l

*) Wartawan Jawa Pos

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus