BUKAN karena gemar bekerja jika redaksi TEMPO ngantor di hari besar Waicak Senin lalu. Selain hari Senin adalah hari dead line majalah, ada perkembangan penting yang memaksa sebagian anggota redaksi masuk kantor lebih pagi: Berita ditembak matinya Hendro Sucipto alias Eddy Gombloh, salah seorang gembong dalam kelompok Kwini yang lari dari rumah tahanan (rutan) Salemba. Alasan untuk mengangkat peristiwa bobolnya rutan Salemba sebagai laporan utama pun menjadi lebih kuat. Adalah Bunga Surawijaya yang pertama kali mendengar berita matinya Hendro di daerah Klender, Jakarta Timur, dan Penjambret Manik, yang tertangkap hidup di Cakung, Jakarta Utara. Wartawati ini, yang berhasil menjalin lobby di kalangan kepolisian, mendapat telepon sekitar pukul 04.00, Senin, selepas makan sahur, tentang Hendro yang "sudah disukabumikan". Ia pun segera menelepon Amran Nasution, kepala Biro Jakarta, atasan langsungnya, lalu meluncur ke RS Cipto Mangunkusumo. Di kamar jenazah RS itu, ia, antara lain, bertemu dengan Kolonel Usman Ibrahim, kepala Ditserse Polda Jakarta, yang dengan suara berat berkata, "Hei, kau pasang besar-besar itu foto Hendro. Biar yang lain menyerahkan diri." Sudah menjadi keputusan yang berwajib untuk "mensukabumikan" alias menembak mati setiap pelarian yang tak mau menyerahkan diri. Seharian Bunga mencari bahan tentang latar belakang matinya Hendro, dan antara lain berhasil mewawancarai Usman alias Asnan. Orang inilah yang memberi tempat berlindung pada Hendro, Manik Wilutomo, dan Bambang Heru, pelarian Salemba dari kelompok Kwini yang sampai turunnya tulisan ini Selasa pagi masih terus dikejar oleh polisi. Laporan utama ini jadi diperkuat dengan wawancara Reporter Didi P. dengan Tony Ferdiansyah, pelarian Salemba yang dihukum 7 tahun karena kasus narkotik. Didi juga berhasil mewawancarai Edy Mulyadi, pelarian Salemba yang lain, yang kena hukuman 15 tahun, dan kini menghuni rutan Tanjung Priok. Dari Semarang, Reporter Yusro M.S. melaporkan profil Rudy Ambon, salah seorang komplotan perampokan berani diJalan Kwini itu yang juga lari dari Salemba. Dan bagi pembaca yang ingin mengetahui lebih jauh mengapa rutan Salemba sampai bisa bobol, ada wawancara Erlina Agus dengan kepala Rutan Salemba, Djamaris, yang kini sudah dibebastugaskan. Laporan utama yang kemudian ditulis oleh Surasono, penjaga gawang rubrik Kriminalitas, dan Amran Nasution tak akan kuat kalau tidak disertai serentetan wawancara oleh tim reporter TEMPO. Tapi berhasilnya sejumlah wawancara dengan pelarian Salemba itu adalah berkat lobby yang selama ini dibina dengan pihak kepolisian. Tanpa lobby yang baik, sulit rasanya menembus sumber berita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini