BUKAN perdamaian yang muncul dalam tubuh PPP. Tapi, beredarnya surat keputusan DPP PPP yang diteken Sudardji dan Ismail Mokobombang, Sabtu pekan lalu, di DPR. Isinya, pembekuan semua keputusan Muktamar I PPP Agustus tahun lalu yang tak sesuai dengan ketetapan MPR, haluan negara, dan perundang-undangan yang berlaku. Dan, perubahan yang akan dilakukan harus lewat muktamar. Maka, hingga pekan lalu sudah lima surat diteken DPP PPP yang "baru". Surat-surat itu mencabut keputusan-keputusan yang ditandatangani ketua umum PPP H.J. Naro dan Sekjen Mardinsyah sebelumnya. Dan, sekaligus merehabilitasikan empat anggota FPP yang di-recall. Keempat surat yang pertama berkop "Dewan Pimpinan Partai". Yang kelima, berubah menjadi "Dewan Pimpinan Pusat" - ini yang lazim. Tapi kelima surat itu tetap tak bertanda gambar bintang - tanda gambar PPP yang baru, sebagai ganti gambar ka'bah. Ini berarti upaya Mendagri Soepardjo Rustam merujukkan PPP tampaknya masih perlu usaha keras. Kelompok Sudardji, yang membuat surat-surat itu, malamnya - tepatnya Jumat malam pekan lalu - baru saja ketemu Soepardjo selama tiga jam. Dan Sabtu siangnya, ketika surat kelima beredar di DPR, kelompok Naro-lah yang ganti bertemu dengan Mendagri. Sebuah sumber yang dekat dengan orang-orang DPP PPP mengatakan, Sudardji dan kawan-kawan mengadakan aksi karena menghendaki perubahan. Mereka, kelompok Sudardji, menganggap bahwa di bawah Naro partai berjalan tidak pada relnya. Ismail Mokobombang, wakil sekjen yang berpihak ke Sudardji, tak mengiyakan ataupun menyalahkan endapat itu. "Kesalahan Naro bukan kesalahan administratif, tapi menyangkut kebijaksanaan politik," katanya kepada A. Luqman dari TEMPO. Sebaliknya, kelompok Naro mengesankan selalu mencoba bertahan dan menahan diri. "Kami tetap pada pendirian semula, bahwa kami menghormati keputusan muktamar dan anggaran dasar serta anggaran rumah tangga partai," kata Mardinsyah, sekjen yang masuk kelompok Naro. Lebih jelas lagi adalah penjelasan Zamroni, yang berada di pihak Sudardji. "Rekrutmen yang dilakukan Naro tak jelas dasarnya. Ini membahayakan pemilihan umum 1987 nanti," katanya. Jadi, tampaknya ada kekhawatiran, bila DPP PPP masih dipimpin oleh Naro dan Mardinsyah, dalam pemilu nanti PPP akan banyak rugi. Dan mengingat massa terbesar PPP dulunya dari NU, tak adakah kemungkinan NU bermain lagi? Adalah K. H. Achmad Siddiq, rais am NU, yang berkata kepada Choirul Anam dari TEMPO, "Masalah recalling, fraksi, dan tanda gambar itu kini semakin tidak penting. Yang penting itu masalah kepemimpinan." Yang dimaksudkan Kiai Achmad Siddiq, kepemimpinan yang bisa mengembalikan kepercayaan rakyat kepada PPP. Jelasnya, menurut pendiri pesantren Assiddiqiyah Putra dan Assiddiqiyah Putri di Jember, Jawa Timur, ini, sejak muktamar tahun lalu pamor PPP merosot terus. "Pamor itu harus dikembalikan. Bukan untuk apa-apa. Semata-mata untuk keseimbangan kekuasaan," katanya. Maka, agak mengherankan bila Kiai Achmad Siddiq ternyata berterus terang bahwa keterlibatan NU dalam PPP masih kuat. Sebab, bukankah NU sudah kembali ke khitah 1926, kembali menjadi organisasi massa, bukannya partai politik? Apakah ini juga berarti bahwa NU berambisi memegang tampuk pimpinan PPP lagi? "Itu terserah," jawab Achmad Siddiq. Jika memang benar begitu, jalan ke arah rujuk agaknya makin tak terduga. Kecuali ada pihak ketiga yang cukup kuat ikut bermain. Dan itu, siapa pun tahu, memang ada. Soal rujuk, kata Mardinsyah, "Terserah kadinya." Siapa lagi "kadi" itu bila bukan pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini